Liputan6.com, Yogyakarta - Sebagai kota budaya, masyarakat Yogyakarta akrab dengan sentuhan karya seni. Goresan tangan penuh pesan tergambar jelas di setiap sudut dinding kota.
Seni lukis mural dan grafiti mengisi sejumlah ruang publik di kota ini. Namun, karya seni jalanan ini tak semuanya punya nilai estetika. Coretan cat semprot yang jauh dari kesan apik atau identik dengan sebutan vandalisme bertebaran.
Entah mengapa rolling door toko kerap jadi target untuk memamerkan kreatifitas yang melampaui batas. Padahal, aktivitas tersebut cenderung liar.
Advertisement
Tembok memang bisa jadi media dalam mengekspresikan karya. Sayangnya, aksi vandalisme berbentuk grafiti seperti itu justru memunculkan nilai negatif.
Grafiti vandalisme cukup akrab di komunitas seni jalanan atau street art. Tak sedikit modal yang dikeluarkan untuk berkarya. Butuh belasan kaleng cat semprot sebagai pemuas hasrat pribadinya.
Sementara itu, aksi grafiti vandalisme sendiri sangat lekat dengan dunia malam. Tersedianya media strategis yang pas dan pasokan cat semprot yang mencukupi memuluskan aksi-aksi mereka.
Coretan warna dan bentuk grafiti yang dihasilkan kadang sulit dipahami. Namun, bagi bomber dan komunitasnya, hal tersebut sangat berarti.
Bergerak cepat dan tak terbatas pada satu titik saja. Bergerilya ke titik yang lain jadi prioritas bagi mereka untuk menebalkan kepercayaan diri di dunia ini.
Aksi tamat bila pasokan cat semprot menguap habis ke tembok warga. Lebih dari itu, aspek ilegal tetap jadi tantangan utama yang menambah kepuasan dalam setiap aksinya.
Seni grafiti dibumbui dengan aksi vandalisme memang terkesan negatif. Bukan lebih pada karya seni, justru menggambarkan simbol perlawanan.
Perkara pelanggaran hukum yang disebabkan aksi grafiti dari seniman jalanan masih menjadi PR bagi sebagian bomber dalam berkarya. Sanjaya dan dua rekannya, misalnya, selalu menuntaskan dahaga bergrafiti ria minimal dua pekan sekali yang ditumpahkannya di ruang publik.
Pemilihan warna menjadi faktor penting karena warna mampu mengisyaratkan pesan dan karakter pembuatnya.
Bagi Sanjaya dan komunitasnya, berkarya lewat kata tak memandang ruang kosong. Prinsipnya, di mana ada media yang strategis, apapun risikonya, di situ goresan identitas jati diri diciptakan.
Nge-blok yaitu tahap awal sebelum garis-garis utama tercipta. Berbeda dengan aktivitas nge-bomb di malam hari, aksi ini terlihat lebih terkonsep dan mementingkan kualitas.
Waktu yang dipilih memang lebih masuk akal, sore menjelang petang. Ada maksud di balik pemilihan waktu tersebut. Baginya, selesainya sebuah karya adalah kepuasan. Pantang bagi mereka memutus goresan.
Seni grafiti yang dibalut dengan aksi-aksi vandalisme sampai kapan pun tidak bisa dibenarkan dalam sebuah bingkai seni. Vandalisme hanya memunculkan sisi negatif dalam kehidupan seni jalanan kota.
Untuk itu, pemerintah Yogyakarta serius memerangi aksi vandalisme yang bisa mencoreng predikat Yogja sebagai kota segudang seni. Lewat patroli rutin, Satpol PP pun menyisir setiap sudut kota.
Tim Buru Sergap berpakaian preman dipasang di garda terdepan. Mereka bertugas mengendus keberadaan komunitas vandalisme malam.
Kumpulan anak-anak muda yang nongkrong tak lepas dari sasaran petugas. Kawasan sempit juga ikut masuk dalam rute penyisiran petugas di Yogyakarta.