Liputan6.com, Jakarta - Tim Satuan Tugas (Satgas) Ketahanan Pangan dan Operasi Penurunan Harga Beras Mabes Polri menggerebek sebuah gudang beras di Jalan Raya Rengas Bandung, Km 60, Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi pada Kamis 20 Juli malam.
Penggerebekan itu dipimpin langsung Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
Gudang milik PT Indo Beras Unggul (IBU) itu, diduga melakukan praktik curang penjualan beras. Caranya, dengan mengganti kemasan beras bersubsidi untuk dikemas ulang menggunakan merek barang yang lebih berkualitas.
Advertisement
"Mereka membeli beras IR 64, beras yang disubsidi pemerintah. Kemudian di poles menjadi beras premium dan dijual dengan harga tinggi" kata Menteri Amran di lokasi.
Dengan adanya praktik curang itu, perusahaan tersebut meraup keuntungan hingga triliunan rupiah dalam sebulan. Sebab, kata dia, beras subsidi IR 64, yang hanya dibeli seharga Rp 7 ribu, dijual tiga kali lipat atau mencapai Rp 24 ribu per kilogramnya.
Pantauan Liputan6.com, merek yang dipalsukan di gudang tersebut di antaranya Maknyus, Cap Ayam Jago, Bunga Ramos Setra, dan Pandan Wangi Cianjur. Di gudang seluas dua hektar itu, sedikitnya terdapat 100 ton beras siap jual yang berjejer rapi.
Kapolri Tito Karnavian menegaskan, pihaknya tidak segan menindak tegas para mafia dan kartel beras yang nekat memainkan harga beras. Sebab, sepertiga uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikucurkan untuk mensubsidi komoditas beras.
"Karena kita lihat potensi pelanggaran hukum dalam komoditas beras ini tidak main-main. Uang yang beredar untuk komoditas paling tinggi dari sembako adalah beras, karena mencapai Rp. 488 triliun, jadi hampir 1/3 APBN kita. Ini upaya menyelamatkan uang negara, seperti dalam penindakan kasus korupsi," jelas Tito, Kamis 20 Juli 2017.
Ia pun mengapresiasi semua pihak yang turut andil untuk mengawasi harga dan distribusi pangan. Pasalnya, tegas Tito, ada ketimpangan kesejahteraan yang diperoleh petani dengan pedagang.
Tito menjelaskan, petani di Indonesia yang jumlahnya 56 juta lebih, hanya mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp 60 triliun atau setiap petani hanya memperoleh keuntungan sekitar Rp 1,3 juta setiap satu periode tanam. Sementara pedagang yang terlibat dalam distribusi beras dengan jumlah sekitar 400.000 orang, memperoleh keuntungan Rp 286 triliun.
"Yang paling menderita, ya konsumen, karena barang pokok. Khususnya masyarakat yang ekonomi bawah. Beda seribu saja per kilo, semakin membuat mereka susah lagi. Itu lah tanggung jawab pemerintah untuk menstabilkan harga," jelas Tito.
Karena itu, kepolisian telah membentuk 33 Satgas Pangan di setiap Polda dan 500 di setiap Polres untuk mengawasi harga dan persediaan komoditas pangan.
Bahkan, Satgas Pangan yang telah dibuat dua pekan lalu bersama Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, KPPU, Bulog, dan Bea Cukai, akan hadir di setiap Polsek dan kecamatan.
"Kita juga memberikan warning, kepada pemain-pemain lain. Kami akan menyasar saudara. Kita punya data saudara. Jadi tolong, segera yang main-main seperti ini, kembali ke jalan yang benar," jelas Kapolri.
Dalam operasi tersebut, 15 karyawan gudang telah diperiksa. Begitu pula pemilik gudang telah diidentifikasi dan tengah dalam perburuan polisi.
Para pelaku akan terancam pidana dengan Pasal 120 ayat (1) juncto Pasal 53 ayat (1) huruf b UU RI No 3/2014 tentang Perindustrian, Pasal 106 juncto Pasal 24 ayat (1), Pasal 107 juncto 29 ayat (1) dan Pasal 113 juncto Pasal 57 ayat (2) UU RI Nomor 7/2014 tentang Perdagangan; Pasal 139 juncto Pasal 84 ayat (1) UU RI Nomor 18/2012 tentang Pangan dan Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 UU RI No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Bohongi Publik
Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengatakan, penggerebekan tersebut mengungkap dua hal sekaligus, yakni pembelian di atas harga ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dan pelanggaran tindak pidana persaingan usaha.
PT IBU sendiri merupakan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera yang juga memiliki anak perusahaan sejenis PT IBU yaitu PT SAKTI.
"Selain melanggar tindak pidana persaingan curang sebagaimana termaktub dalam Pasal 382 BIS KUHP, dua anak perusahaan itu diduga juga melanggar Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yaitu Pasal 141 dan 89 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," kata Ari Dono dalam keterangan tertulisnya, Jumat 21 Juli 2017.
Dari penggerebekan itu juga diketahui, pelaku telah membohongi publik soal nilai gizi beras.
"Dari hasil temuan dan pemeriksaan laboratorium terkait nilai gizi yang tercantum pada label beras kemasan itu, diduga telah membohongi publik khususnya konsumen," ungkap Ari lagi.
Berdasarkan hasil laboratorium, beras merk Ayam Jago mencantumkan kadar protein sebesar 14 persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,73 persen. Kadar karbohidrat tercantum 25 persen, padahal lebih besar yaitu 81,45 persen. Lalu kadar lemak tercantum 6 persen padahal lebih kecil yaitu hanya 0,38 persen.
Sementara untuk beras merek Maknyuss, dalam kemasan dicantumkan kadar protein 14 persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,72 persen. Kadar karbohidrat 27 persen, padahal lebih besar yaitu 81,47 persen. Lalu kadar lemak tercantum 0 persen padahal lebih besar yaitu 0,44 persen.
"Ini mencurigakan. Ada apa dengan perbedaan kandungan nilai gizi itu? Sekadar memainkan mutu beras? Persoalan bisnis semata? Atau merupakan usaha sejenis melemahkan bangsa ini, karena yang dikonsumsi oleh masyarakat selama ini justru mengandung protein, karbohidrat, dan lemak yang justru terindikasi memainkan kesehatan masyarakat melalui pangan," papar Ari.
Ari menegaskan, akan terus mendalami temuan ini untuk mencegah turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ia juga mengingatkan, agar para pengusaha terkait pangan tidak berlaku sesuka hati lagi.
"Sudah ada kepastian hukum di Nusantara ini, harga beras sepatutnya murah. Sesuai harga yang ditetapkan pemerintah agar tercapai kemakmuran bagi petani dan bukan kepada pengusahanya saja," jelas Ari.
Berdasarkan temuan, PT IBU dan PT SAKTI menjual beras yang dioplos tersebut dengan harga berikut:
Merk Ayam Jago Rp 102/5 Kg = Rp 20.400/Kg, Maknyuss Rp 68.500/5 Kg = Rp 13.700/Kg, Jatisari Rp 65.900/5Kg = Rp 13.180/Kg, Rumah Adat Rp 101.500/5 Kg = Rp 20.300/Kg, Desa Cianjur Rp 101.500/5Kg = Rp 20.300/Kg.
Kedua anak perusahaan itu diduga telah melanggar Pasal 382 BIS KUHP, dan Permendag No. 27/M-DAG/PER/2017. Dimana untuk harga acuan pembelian di petani, gabah kering panen Rp 3.700/Kg, gabah kering giling Rp 4.600/kg, dan beras Rp 7.300/Kg. Sedangkan harga acuan penjualan di konsumen untuk beras Rp 9.500/Kg.
Advertisement
Rugikan Triliunan Rupiah
Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan jika kerugian negara terkait dugaan pemalsuan dan pengoplosan beras subsidi di gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) benar mencapai Rp 10 triliun.
"Hitungan kerugiannya seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp 20.000/kg. Jika diasumsikan selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg dengan pengkalian beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir Rp 10 triliun," ujar Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi, Ana Astrid dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 22 Juli 2017.
Ana mengungkapkan ini menanggapi kabar jika ada kebohongan publik perihal kerugian negara terkait penggerebekan gudang PT IBU di Bekasi pada Kamis 20 Juli lalu.
Dia pun menjelaskan, yang dimaksud beras subsidi dimulai saat proses memproduksi beras tersebut. Terdapat subsidi input yaitu subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun. Ini ditambah bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari pemerintah yang nilainya dikatakan mencapai triliunan rupiah.
"Di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) sekitar Rp 19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui BULOG, dan tidak diperjualbelikan di pasar," jelas Ana.
Padi varietas IR64 dikatakan merupakan salah satu benih dari Varietas Unggul Baru (VUB), diantara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya. VUB ini total digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.
"Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya” ungkap Ana.
Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan IR64 baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggu baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya yang sebagian petani menyebut benih jenis IR.
"Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700 per kilogram gabah," terang Ana.
Dari hal ini, menurut Ana, PT IBU diketahui membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama. Selanjutnya diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi.
Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang perusahaan peroleh tinggi bisa hingga 100 persen.
"Mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi," tutur dia.
Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani harga yang sama dan diproses menjadi beras medium dengan harga normal medium.
Lebih lanjut Ana menegaskan negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati.
Produk dari petani diolah perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku.
Terkait kebijakan HET yang dikatakan mendadak, Ana mengatakan harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak berlaku mendadak. Penerbitan HET sudah berlaku sejak tahun lalu.
Ini seiring penerbitan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg.
"Harga beras rerata sekarang Rp 10.500 per kilogram itu kan tinggi, karena terbentuk dari adanya beras yang dijual tinggi selama ini," jelas dia.
Harga acuan dikatakan sudah mempertimbangkan kelayakan usaha tani, biaya distribusi dan keuntungan wajar bagi setiap pelaku. Proses perhitungan harga acuan sudah dibahas bersama para pihak, petani, pedagang, asosiasi dan lainnya.
Janji Kooperatif
PT Tiga Pilar Sejahtera memberi keterangan terkait penggerebekan di gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) selaku anak usaha. Perseroan menyatakan akan kooperatif dan transparan terhadap pihak berwenang yang tengah melakukan verifikasi semua fakta.
Direktur Tiga Pilar Sejahtera Food, Jo Tjong Seng mengatakan, IBU membeli gabah dari petani dan beras dari mitra penggilingan lokal. Perseroan tidak membeli atau menggunakan beras subsidi yang ditujukan untuk program Beras Sejahtera (Rastra) Bulog, bantuan bencana, dan lainnya untuk menghasilkan beras kemasan berlabel.
"PT IBU memproduksi beras kemasan berlabel untuk konsumen menengah atas sesuai dengan deskripsi mutu Standar Nasional Indonesia (SNI)," ujar dia dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat 21 Juli 2017.
Dia menuturkan, IBU memproduksi beras kemasan dengan standar ISO 22000 tentang food safety dan GMP.
"PT IBU mengikuti ketentuan pelabelan yang berlaku dan menggunakan laboratorium terakreditasi sebagai dasar pencantuman informasi fakta nutrisi," ujar dia.
Dia menyatakan perseroan mencantumkan kode produksi sebagai informasi umur stok hasil produksi.
PT Tiga Pilar Sejahtera juga membantah anak usahanya PT Indo Beras Unggul (IBU) menimbun dan menyerap beras bersubsidi atau yang disebut dengan beras sejahtera untuk kemudian dijual ke masyarakat dengan harga tinggi dan memakai merek perusahaan.
"Indo Beras Unggul dalam hal ini tidak menggunakan beras bersubsidi untuk produksi kami. Kami membeli gabah umum dari petani sekitar lokasi produksi kita," kata Jo Tjong Seng.
Dia menilai, pembelian gabah umum dari para petani ini merupakan hal yang lumrah dan juga dilakukan perusahaan lain yang memproduksi beras.
Jo Tjong Seng turut menegaskan jika produk IBU yang dipasarkan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan demikian produksi sudah sesuai dengan standar yang berlaku dan layak untuk dikonsumsi masyarakat.
Selain itu, Indo Beras Unggul ditegaskan tidak melakukan penimbunan beras di gudang miliknya di Bekasi seperti hasil inspeksi aparat kepolisian dan Kementerian Pertanian, yang saat ini sudah diberi garis polisi.
"Sesuai aturan yang kami ketahui, industri diizinkan untuk memiliki stok untuk produksi dan jumlah stok yang diizinkan adalah 3 bulan. Sementara yang diberi police line itu jumlahnya 1.000 ton, untuk seminggu ke depan, jadi tidak ada penimbunan," tutup dia.
Advertisement
Mantan Mentan Menyangkal
Kasus penggerebekan gudang beras di Bekasi, yang diduga memalsukan atau mengoplos beras subsidi menjadi beras premium, menyeret nama mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono.
Anton disebut merupakan Komisaris Utama PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS), yang tak lain adalah induk perusahaan PT Indo Beras Unggul (IBU). PT IBU merupakan pemilik gudang beras yang digerebek Satgas Ketahanan Pangan dan Operasi Penurunan Harga Beras Mabes Polri, karena diduga melakukan praktik kecurangan.
Penelusuran Liputan6.com, dalam situs tigapilar.com, Anton Apriyantono duduk sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Independen. Di laman tersebut, terpampang foto kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi Menteri Pertanian di masa era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
Sementara Wakil Komisaris PT TPS adalah Kang Hongkie Widjaja. Ada juga nama penggiat kuliner Bondan Haryo Winarno sebagai Komisaris Independen.
Namanya dibawa-bawa, Anton pun angkat bicara. Kepada Liputan6.com yang menghubunginya, Sabtu 22 Juli 2017, Anton mengatakan, apa yang dituduhkan kepada perusahaannya itu fitnah besar.
"Itu fitnah besar. Jelas tidak benar. Apa definisi mengoplos? Kami kan menjual merek dengan kualitas tertentu, bukan varietas tertentu," kata Anton.
Varietas IR 64, ujar Anton, merupakan varietas lama yang sudah digantikan dengan varietas yang lebih baru yaitu Ciherang. Kemudian diganti lagi dengan Inpari.
"Jadi di lapangan, IR 64 itu sudah tidak banyak lagi. Selain itu, tidak ada yang namanya beras IR 64 yang disubsidi, ini sebuah kebohongan publik yang luar biasa," ujar Anton.
Dia menambahkan, yang ada adalah beras raskin. Subsidi bukan pada berasnya, tapi pada pembeliannya, beras raskin tidak dijual bebas, hanya untuk konsumen miskin."
Menurut Anton yang mengaku bergabung dengan PT TPS 3 atau 4 tahun lalu, di dunia perdagangan beras dikenal namanya beras medium dan beras premium, SNI untuk kualitas beras juga ada.
"Yang diproduksi TPS sudah sesuai SNI untuk kualitas atas," jelas dia.
Anton juga membantah tuduhan yang menyebut negara dirugikan terkait kasus ini.
"Kalau dibilang negara dirugikan, dirugikan di mananya? Apalagi sampai bilang ratusan triliun, lha wong omzet beras TPS saja hanya Rp 4 triliun per tahun, lagi-lagi pejabat negara melakukan kebohongan publik," ucap Anton, seraya menyebut tuduhan menjual di atas HET itu tidak bijak.
Anton sendiri meminta sebelum pemeriksaan, tuduhan dugaan pemalsuan beras subsidi itu dikonfirmasi dulu.
"Sebelum melakukan itu tolong konfirmasi dulu tuduhannya, dikaji ulang," pinta Anton Apriyantono.