Ketua KPK Agus Rahardjo: Kami Tidak Menzalimi Setya Novanto

Di bawah pimpinan Agus Rahardjo, KPK ada dalam pusaran konflik dengan DPR, persis ketika kasus e-KTP bergulir. Bagaimana KPK bersikap?

oleh Yus AriyantoMufti SholihGde Dharma Gita Diyaksa diperbarui 26 Jul 2017, 22:20 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2017, 22:20 WIB
Wansus Ketua KPK
Agus Rahardjo Ketua KPK (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Jakarta - Dua gambar bernada protes terhadap KPK diunggah dalam akun resmi Instagram DPR, @dpr_ri. Salah satu gambar itu diunggah Rabu, 19 Juli 2017, mengutip ucapan Koordinator Komite Aksi Pemantau Angket KPK (Kompak) M Amin Fahrudin.

"KPK Kerjanya Nguping. Kerja KPK hampir semua bergantung pada alat sadap. Kemudian ditindaklanjuti OTT. Maka sudah pasti yang didapat nilainya kecil. Coba KPK bekerja dengan nalar hukum yang canggih dengan mendasarkan pada hasil audit BPK, pasti (korupsi) yang dibongkar nilainya ratusan miliar bahkan triliunan," tulis Amin.

Posting-an tersebut menambah riuh "perseteruan" DPR dengan KPK. Dua hari sebelumnya, KPK menetapkan orang nomor satu DPR, Setya Novanto, sebagai tersangka kasus e-KTP.

Beberapa pekan sebelumnya, DPR membentuk Pansus Hak Angket KPK. Ini bermula dari protes sejumlah anggota Komisi III DPR lantaran KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani dalam kasus e-KTP.

Di bawah pimpinan Agus Rahardjo, KPK ada dalam pusaran konflik, persis setelah kasus e-KTP bergulir kencang. Bagaimana KPK bersikap? Apakah pertimbangan politis masuk dalam kerangka kerja mereka? Simak wawancara khusus Liputan6.com dengan Agus di kantornya, Selasa, 25 Juli 2017.

Apakah ada keraguan saat mengerjakan kasus e-KTP? Ini kan menyangkut orang-orang penting...

Kasus e-KTP sudah dinaikkan sejak komisioner yang sekarang belum menjadi pimpinan. Sebelum kami masuk, sudah dinaikkan. Kami kemudian melihat apa yang masih menjadi utang kami. Kemudian kami evaluasi dan kami kerjakan. Sebetulnya masih banyak utang lain. E-KTP itu cuma salah satunya. Saya masih mendorong teman-teman untuk menyelesaikan utang-utang itu.

Tapi kasus e-KTP ini kan menyeret nama-nama besar. Apakah hal itu tidak menjadi pertimbangan?

Pasti jadi pertimbangan. Tapi sebagaimana lambang Dewi Keadilan yang matanya ditutup dan membawa timbangan dengan posisi sejajar, tidak njompang, kami tidak membeda-bedakan orang di depan hukum. Semoga kami bisa menyelesaikan dengan baik nanti

Publik terkejut juga saat KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka...

Mestinya dengan surat dakwaan (Irman dan Sugiharto, red.), orang sudah bisa menduga. Jadi, tidak perlu menjadi kejutan karena arahnya akan ke sana. Yang penting, seperti sering saya sampaikan, kami tidak serampangan dan mempunyai alat bukti yang kuat. Insyaallah, itu nanti akan dibuktikan di pengadilan.

Di sisi lain Setya Novanto merasa dizalimi KPK. Apa tanggapan Anda?

Tidak sama sekali menzalimi. Selalu setiap kami melangkah, melakukan tindakan, jauh sekali dari niat zalim. Tapi, ada yang sangat basic dalam pandangan saya, mbok orang itu jangan bohong. Mohon maaf kalau saya menyebutkan, Pak Setya Novanto kan mengatakan tidak mengenal Andi Narogong. Kenalnya hanya waktu yang bersangkutan suplai kaus. Kalau menurut saya, itu bohong sama sekali. 

Apa KPK bisa membuktikan kebohongan itu?

Ya.

Saat penetapan Setya Novanto sebagai tersangka, Anda mengacungkan tinju. Apa maksudnya?

Sebetulnya saya hanya menggelorakan semangat. Mari kita bangkit, mari segera mengatasi permasalahan seperti ini. Jadi saya hanya memberi semangat. Sama sekali tidak ada maksud untuk menghina, merendahkan. Saya ingin membangkitkan semangat rakyat untuk bersama menuntaskan kasus seperti ini.



Selanjutnya...


Bagaimana tanggapan Anda terkait Pansus Hak Angket KPK?

Pada waktu itu proses rapat dengar pendapat (RDP) di Senayan sudah sampai kesimpulan. Ada empat poin. Nomor satu, dua, dan tiga, KPK sepakat. Nomor empat, mereka minta rekaman pemeriksaan Miryam Haryani.  Kami tidak sepakat kalau (rekaman ) itu ditunjukkan pada saat RDP. Dari sana saya tahu pansus yang dibentuk ternyata berkaitan dengan poin ke-4.

Untuk poin ke-4, kami diberi waktu 10-15 menit untuk berdiskusi dengan internal KPK. Namun hasil akhirnya kami  tetap tidak setuju jika dibuka di RDP karena itu melanggar undang-undang.

Sempat beredar kabar ada intimidasi dalam pemeriksaan terhadap Miryam. Apa benar?

Nanti dilihat saja pada rekamannya. Ini pengadilan sudah mulai berjalan. Dari rekaman gambar dan suara, apa memang betul ada intimidasi jika suasananya seperti itu? Itu akan dibuka saat proses peradilan. Semoga dalam waktu dekat, supaya rakyat bisa mendengarkan.

Apa ada antisipasi dari KPK jika ada serangan balik? Misalnya, kriminalisasi

Antisipasinya bagaimana? Kemungkinan serangan balik itu ada. Yang penting kan kami menjaga kekompakan di dalam. Kami juga akan mempercepat langkah supaya rakyat bisa menilai sendiri. Saya percaya itu saja, di samping juga perlindungan terbaik datang dari Allah SWT.

Tentang penyerangan terhadap Novel Baswedan, bagaimana penyikapan KPK?

Itu sangat kita sesali kenapa harus terjadi. Karena itu dalam penanganannya kami kemudian mengusahakan perawatan terbaik.


Apa konkretnya langkah-langkah KPK?

Kami bertemu banyak pihak, antara lain menghubungi Menteri Keuangan, Presiden, lewat Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet, kemudian Wakil Presiden. Sehingga alhamdulillah Pak Novel bisa dikirim ke Singapura. Tapi itu pun tidak cukup ya. Kami menginginkan teman-teman kepolisian bisa mengungkap kasus ini dengan jelas.

Kami sudah melakukan dua kali pertemuan. Pertama, dengan Direktur Kriminal Umum Polda Metro. Kedua, dengan Pak Tito (Kapolri Tito Karnavian, red) sendiri. Kemudian nanti juga ada pertemuan lagi. Kita kan menagih janji ya, mudah-mudahan nanti menjadi perhatian yang lebih khusus.

Kabarnya akan dibentuk tim gabungan?

Pak Tito minta supaya kami bergabung. Tapi saya tidak tahu juga bantuan apa yang dibutuhkan dalam hal seperti itu. Masih kita diskusikan. Sebetulnya itu kewajiban dari teman-teman polisi supaya kemudian bisa diungkap.

Pencegahan Vs Penindakan


Belakangan ini semakin banyak orang tertangkap karena melakukan korupsi, apakah itu berarti KPK gagal membendung di hulunya?

Kami tidak hanya melakukan penindakan, tapi juga pencegahan. Bisa dilihat, anggaran KPK untuk pencegahan lebih besar daripada anggaran untuk penindakan. Kami juga memberi masukan kepada pemerintahan, mengamati kebijakan pemerintah dan memberikan masukan untuk penyempurnaan. Banyak sekali yang kami beri masukan. Misalnya terkait dengan beras, terkait dengan pemilu, dan penyaluran bantuan ke partai.

Hari ini kami juga ada program untuk dunia perusahaan supaya mereka menerapkan sistem perusahaan yang antikorupsi. Kemudian kami juga memperkenalkan apa yang namanya jaga. Jaga perizinanku, jaga sekolahku. Di samping itu kami juga membentuk komunitas-komunitas. Salah satunya ada Sayap Perempuan Anti Korupsi, ada Tunas Integritas. Kemudian kami mendekati kelompok kelompok Nahdliyin, Muhammadiyah. Semua kita lakukan, termasuk ke perguruan tinggi.

Melalui itu kami menanamkan pelajaran antikorupsi supaya masuk ke pelajaran sekolah. Memang sudah banyak yang kami lakukan, tapi itu tidak cukup ternyata.

Lalu harus bagaimana?

Perlu saya garis bawahi, menangani korupsi perlu kontribusi seluruh elemen bangsa. Karena korupsi bukan hal yang tiba-tiba. Korupsi itu berproses dari tingkah laku sehari-hari. Apalagi kita belum punya undang-undang antikorupsi di ranah privat. Ini penting sekali. Salah satu yang bisa membentuk karakter bangsa ini mungkin undang-undang di ranah privat ini. Makanya, saya berkali-kali menyarankan, sementara undang-undang KPK biar seperti ini, sudah cukup. Tapi Undang-Undang Tipikor yang perlu diperbaiki. Banyak hal yang bisa kita lakukan itu kalau menerapkan Undang-Undang Antikorupsi di sektor privat.

Contohnya?

Contoh seorang guru membuat bimbingan belajar. Kemudian murid memberikan sesuatu pada gurunya itu. Padahal, guru itu menentukan nilai pelajaran di sekolah, itu seharusnya tidak boleh. Itu namanya sudah conflict of interest. Kemudian sekarang banyak dilakukan kredit mobil. Penjual penjual itu lebih senang kredit. Karena dapat dari tiga sumber. Dari dealer, dari pembiayaan, dan dari pihak asuransi. Kalau kita menerapkan undang-undang seperti di Singapura, kena orang-orang ini.

Itu praktik-praktik yang seharusnya diluruskan. Jadi banyak tingkah laku sehari-hari yang perlu diperbaiki karena ada unsur conflict of interest-nya. Kita betul-betul harus melakukan perubahan secara mendasar.

Sejumlah orang membawa poster ungkapan kepedulian saat mengikuti aksi peringatan 100 hari penyerangan Novel Baswedan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/7). (Liputan6.com/Helmi Afandi)


Lalu bagaimana indikator keberhasilan di lini pencegahan?

Memang tidak bisa diukur langsung dari kegiatannya. Tapi paling tidak, kalau kita mengubah tingkah laku dalam sekian dekade, akan berubah. Hal seperti itu kalau kita perbaiki memang tidak seketika kelihatan. Saya yakin Indeks Persepsi Korupsi kita yang bergerak naik menjadi 37 dari skala 100. Dulu waktu Orde Baru 17, bukan hanya karena kerja KPK. Itu kerja banyak pihak. Orang yang memperbaiki perizinannya itu punya efek. Orang yang memperbaiki pemerintahan daerahnya itu juga punya efek. Pada waktunya nanti orang melihat kita sudah membaik.

Kapan itu terwujud?

Harapan saya itu tidak terlalu lama. Itu harus tercapai dalam waktu yang cepat.

Belakangan ini OTT sering menyasar ke kepala daerah, apakah ada pergeseran orientasi?

Kalau pergeseran, tidak. Di pusat juga ada. Teman-teman penegak hukum kan dikendalikan dari pusat. Rata-rata orang pusat. Itu juga sekadar memberikan contoh di daerah. Namanya korupsi itu kebiasaan. Melakukan hal kecil, lama-lama menjadi besar. Kalau kita mengungkap kasus korupsi, misalkan nilainya Rp 10 juta atau Rp 50 juta, mestinya tidak menjadi cibiran. Kecil nilainya tapi tidak benar. Kalau kita biarkan nanti yang bersangkutan pada waktunya akan mencuri yang lebih besar.

Seperti kasus Klaten. Bayangkan saja birokrasi kita dibebani pungutan yang seperti itu. Sekretaris camat untuk menjadi camat harus bayar Rp 200 juta. Staf di SMP menjadi kepala seksi bayar 10 juta atau berapa saya lupa. Mulai yang kecil-kecil ini. Kita mau birokrasi seperti apa kalau melakukan seperti itu?

Saya yakin ini tidak hanya di Klaten sebetulnya. Hal semacam itu mungkin terjadi di tempat lain juga. Itu kami lakukan sebagai peringatan supaya perubahan bisa dilakukan.

Sinergi dengan Lembaga Lain


Polri berencana membentuk Densus Antikorupsi. Bagaimana tanggapan KPK?

Saya termasuk orang yang tidak pesimistis. Karena yang perlu dipahami, KPK sangat terbatas, dari segi personel dan kewenangan. Soal korupsi di daerah, misalnya. Menurut UU, kami hanya boleh menangani kasus yang terkait penyelenggara negara. Di daerah, penyelenggara negara adalah bupati, wakil bupati, dan DPRD. Atau, wali kota, wakil wali kota, kemudian DPRD-nya. Sehingga kemudian pernah, kalau tidak salah, waktu itu kepala dinas mendapat suap dari banyak kepala sekolah. Ternyata setelah kita lihat tidak ada penyelenggara negara, kami serahkan kasusnya ke Polda.

Kalau KPK sendirian, pasti tidak mampu. Karena itu saya tidak antipati terhadap ide tersebut. Yang saya harapkan, bisa bersinergi. Kalau pembentukannya dikomunikasikan dengan baik, saya pikir, akan menghasilkan sinergi yang baik ke depan.  Mereka menggarap yang mana, kami yang mana. Bahkan dari keterbatasan KPK, bisa saja mereka menangani kasus-kasus besar.

Apa harapan Anda ini sudah dikomunikasikan?

Saya sudah mengirim pesan via WA (ke Kapolri) tapi masih hal-hal yang normatif, belum hal-hal yang operasional. Untuk hal-hal yang detail, belum.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengepalkan tangan saat memberikan keterangan pers terkait penetapan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Tidak khawatir Densus Antikorupsi bakal bertabrakan dengan KPK?

APBN itu makin lama makin besar. Waktu berakhirnya Orde Baru hanya Rp 197 triliun, sekarang Rp 2.000 triliun lebih. Kalau ini tidak dibarengi dengan penindakan dan pencegahan korupsi dengan baik, pasti rakyat akan menyaksikan jumlah korupsi makin banyak. Ya, karena uangnya semakin lama semakin banyak. Kita perlu melakukan reorientasi,  juga pada organisasi, bagaimana langkah-langkah koordinasi dengan polisi maupun jaksa, bagaimana supaya KPK lebih sinergis di waktu-waktu yang akan datang.

Pada saat ini, apakah sudah terjalin komunikasi yang baik dengan lembaga lain?

Salah satu prioritas kami sekarang adalah komunikasi harus baik. Komunikasi juga harus selalu dijaga. Bahkan kami juga menyelenggarakan pelatihan di banyak tempat. Hari Senin kemarin, di Kendari, ada pelatihan bagi aparat penegak hukum. Bahkan sekarang teman-teman TNI pun mengirimkan. Nanti kalau koordinasi sudah baik, akan mudah melakukan langkah bersama.

Untuk kondisi internal apa yang perlu dibenahi? Pendanaan atau jumlah personel?

Kalau jumlah personel waktu masuk memang sudah saya rasakan. Bayangkan saja, Hongkong sekecil itu punya 6.000 personel untuk lembaga semacam KPK di sana. Indonesia yang sebesar ini hanya 1.200 personel. Karena itu, begitu saya masuk tambah sekitar 400 personel. Mudah-mudahan tiap tahun bertambah.

Tapi tidak bisa terlalu banyak supaya umur pensiun tidak bersamaan. Nah, itu keterbatasan yang sudah mulai kami benahi. Tapi yang lebih penting lagi juga kemampuan kami menyelesaikan kasus, harus lebih cepat.



Hukuman Ideal bagi Koruptor

Menurut KPK, apakah hukuman bagi koruptor yang berlaku saat ini sudah ideal?

Selalu kita pasang standar. Vonis tidak boleh kurang dari dua per tiga dari yang ada di undang-undang. Kalau kurang dari itu, kami menyarankan jaksa untuk naik banding. Selalu begitu. Tapi sebetulnya saya malah mau menagih, kenapa hukuman sosial tidak diberikan pada koruptor?

Konkretnya bagaimana?

Sekarang masyarakat memperlakukan koruptor besar biasa saja. Tetap menghargai, bergaul seperti biasa. Mestinya hukuman dari masyarakat itu ada. Di samping hukuman negara, kami juga mengusahakan hukuman seperti kerja paksa atau membersihkan pasar. Paling tidak orang itu punya rasa malu. Sekarang kan, meski sudah menjadi tersangka, mereka masih bisa tertawa dan tidak merasa bersalah.

Jadi apa yang harus dilakukan?

Saya tidak tahu apakah perlu seperti pemandangan yang terjadi di Cina. Para koruptor diarak. Ada juga yang dilempar ke tempat sampah.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian berjabat tangan dengan Pimpinan KPK, Agus Rahardjo saat konfrensi pers membahas penanganan kasus teror terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, Jakarta, Senin (19/6). (Liputan6.com/Helmi Afandi)


Berarti harus ada perbaikan Undang-undang Tipikor?

Iya, perubahan di Undang-Undang Tipikornya, bukan Undang-Undang KPK. Selain ganti rugi, mereka juga harus kerja seperti membersihkan pasar atau apa.

Sejujurnya, dalam bekerja, apakah KPK juga mempunyai pertimbangan politik? Misalnya mana kasus yang didahulukan dan mana yang dinomorsekiankan...

Tidak. Yang menentukan bisa maju atau tidaknya suatu kasus adalah kematangan dari alat bukti yang bisa dikumpulkan. Karena itu, banyak kasus yang belum kita teruskan dan belum berhenti.

Terakhir, sampai kapan KPK perlu ada?

Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, tidak ada lembaga antikorupsi yang ad hoc. Singapura bisa taat hukum, taat aturan, karena memiliki Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). CPIB berdiri tahun 1952, sementara Singapura merdeka pada 1965. Negara lain Hongkong, misalnya, mempunyai selama 74 tahun.

Bahkan negara maju sekarang mulai membentuk. Belum lama ini Inggris mempunyai Serious Fraud Office (SFO). Negara maju saja perlu (lembaga semacam KPK). Ini pekerjaan untuk menjaga karakter bangsa, menjaga behaviour supaya tidak korup.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya