PSHK: Putusan Praperadilan Tidak Gugurkan Dugaan Korupsi Setnov

Hakim sidang praperadilan memutuskan penetapan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK tidak sah.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 02 Okt 2017, 06:24 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2017, 06:24 WIB
Sikapi Putusan Setya Novanto, Aktivis Lakukan Aksi Indonesia Berkabung
Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi Indonesia Berkabung di kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (1/10). Aksi ini reaksi atas dikabulkannya permohonan praperadilan Setya Novanto. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Hakim sidang praperadilan memutuskan penetapan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK tidak sah. Meski begitu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menilai, peluang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka masih sangat terbuka.

"Hal itu telah dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016. Sepanjang KPK masih memiliki paling sedikit dua alat bukti yang sah, KPK masih tetap dapat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka," kata Miko melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu, 1 Oktober 2017.

Sebab, kata dia, putusan praperadilan Setya Novanto itu menyangkut aspek formil sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap, bukan aspek substansi apakah dia bersalah atau tidak bersalah. "Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Setya Novanto tidak secara otomatis gugur," kata Miko.

Ia menjelaskan, sidang praperadilan Setya Novanto bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara. Menurut dia, hakim dalam konteks ini menurut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 hanya menguji aspek formil dari minimal dua alat bukti yang sah yang dimiliki.

"Penentuan bersalah atau tidaknya Setya Novanto nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara. Artinya, putusan praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana," jelas dia.

Selain itu, sambung Miko, permohonan praperadilan Setya Novanto jangan dikatkan dengan Panitia Khusus Hak Angket di DPR RI. "Ini penting menjadi catatan bagi Panitia Khusus Hak Angket untuk tidak mengaitkan putusan praperadilan Setya Novanto dengan laporan dan rekomendasi kelak."

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto, tersangka kasus korupsi e-KTP. Penetapan tersangka terhadap Setya Novanto oleh KPK pun dinyatakan tidak sah.

Putusan tersebut dibacakan hakim Cepi Iskandar dalam sidang praperadilan yang berlangsung di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat sore 29 September 2017.

Kejanggalan

Sementara itu, ia juga menilai ada beberapa kejanggalan dari sisi proses pada persidangan praperadilan Setya Novanto. Salah satunya, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara.

"Maupun penasehat hukum Setya Novanto yang membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket, seharusnya menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan praperadilan tersebut," imbuh Miko.

Meskipun Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali, namun peraturan yang sama memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan.

"Begitu juga KY yang juga dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim. Oleh karena itu, MA dan KY seharusnya memberikan respons terhadap putusan praperadilan ini," ia menerangkan.

Dari sisi substansi, Miko menilai salah satu pertimbangan yang mencolok adalah ketika hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain.

"Pertimbangan ini bermasalah karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja. Apabila logika ini digunakan, maka tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain," ungkap Miko.

Kemudian, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Setya Novanto tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan.

"Hal ini menurut hakim menyimpangi Pasal 44 Undang-Undang KPK. Padahal jika dirunut bahwa penetapan tersangka terhadap SN dilakukan melalui pengembangan kasus yang kesimpulannya adalah telah diperoleh minimum dua alat bukti yang sah untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," beber dia.

Oleh karena itu, Miko menyatakan, KPK sah saja menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka sepanjang memiliki kecukupan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti sah.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya