Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan 12 warga DKI dari pemerhati, aktivis, dan konsumen air minum. Mereka melakukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI tentang kebijakan swastanisasi air di Jakarta.
Mereka yang tergugat adalah PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta DPRD DKI, dan Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI.
"Menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta," demikian bunyi putusan MA yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nurul Elmiyah, seperti yang diterima Liputan6.com, Kamis 12 Oktober 2017.
Advertisement
Dalam putusan itu dinyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui pada 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.
"Menyatakan para tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta," tulis putusan itu.
Bukan hanya itu, MA juga memerintahkan para tergugat untuk menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI, mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
"Melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," jelas putusan MA.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai dari bukti-bukti dan fakta hukum, Perjanjian Kerja Sama Swastanisasi Air Jakarta telah melanggar Perda Nomor 13 Tahun 1992 dan pasca adanya perjanjian kerja sama swastanisasi itu, pelayanan pengelolaan air bersih dan air minum warga di DKI Jakarta tidak meningkat dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas.
"Bahwa PAM Jaya kehilangan kewenangan pengelolaan air minum karena dialihkan kepada swasta, bahwa pertimbangan dan putusan dari Judex Facti Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar," lanjut dalam pertimbangannya.
Karena itu, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon.
Meski begitu, MA memberi waktu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjalankan putusan ini. Sebab, dengan putusan itu, DKI harus menghentikan swastanisasi air minum yang kini dikelola PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
"Ya tentunya tidak otomatis (swastanisasi air berhenti) begitu ya. Yang melaksanakan putusan harus ada waktu cukup untuk melaksanakan itu," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis 12 Oktober 2017.
Abdullah mengaku pihaknya tidak memberi batas waktu untuk melaksanakan putusan tersebut. Semuanya terpulang kembali kepada Pemprov DKI.
"Ya kita tidak bisa menentukan itu. Semua terpulang kepada pemerintah Provinsi DKI," tegas Abdullah.
Dia juga enggan berandai-andai, jika ada masyarakat yang menilai Pemprov DKI lama menjalankan putusan tersebut. Menurutnya, semua kembali kepada keinginan pemerintah sendiri.
"Ya itu kembali kepada amarnya putusan. Ada enggak amarnya dan sanksi untuk itu. Makanya perlu waktu. Tidak serta merta hari ini A kemudian jadi A. Perlu ada waktu yang cukup melaksanakan putusan. Cepat dan lambat itu tergantung pemerintah DKI sendiri," pungkas Abdullah.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Minta Segera Dieksekusi
Pengacara Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), Arif Maulana, meminta Pemprov DKI segera mengeksekusi putusan Mahkamah Agung.
"Jangan sampai pemerintah membangkang putusan ini," kata Arif, ketika dihubungi Liputan6.com, Kamis 12 Oktober 2017.
Arif mengakui amar putusan MA tidak memberi tengat kapan pemutusan kontrak harus dilakukan. Realisasinya akan tergantung niat baik Pemprov DKI.
Menurut Arif, hal ini menjadi tantangan bagi penegakan putusan itu ke depan.
Ia masih meyakini Pemprov DKI akan mematuhi putusan MA. Arif juga tidak memungkiri pemutusan kontrak bukan persoalan sederhana.
"Kami memahami persoalan ini kompleks, banyak aspek yang harus diperhitungkan," Arif berujar.
Ia berharap proses transisi nantinya berjalan mulus. Yang terpenting, menurut dia, pelayanan air bersih bagi masyarakat menjadi lebih baik.
Arif mengaku KMMSAJ masih mempelajari putusan MA yang memenangkan gugatan mereka. Ia mengaku punya beberapa strategi mendorong Pemprov DKI untuk mengeksekusi pemutusan kontrak pengelolaan air dengan pihak swasta.
"Kami (bisa) meminta permohonan eksekusi ke MA, dalam hal ini melalui Pengadilan Jakarta Pusat," ia menjelaskan.
Pengadilan akan memanggil pihak tergugat untuk menjalankan putusan MA. Pemprov, menurut dia, juga terancam pidana bila tidak mematuhi putusan MA.
"Tapi untuk saat ini kami belum berpikir terlalu jauh, kami masih menunggu," ujar Arief.
Kuasa Hukum dari KMMSAJ dari LBH Jakarta, Alghiffari menginginkan kedua belah pihak tersebut dapat mematuhi putusan dari MA. Sebab, terdapat beberapa penyimpanan dari aset mereka yang menimbulkan kerugian kepada negara.
"Hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2015 negara mengalami kerugian hingga Rp 1,4 triliun dari pernjanjian kerjasama ini," kata Alghiffari di kantor LBH, Jakarta Pusat, Kamis.
Tak hanya itu, kata dia, kebijakan swastanisasi air merugikan masyarakat dengan penjualan air per meter kubik seharga Rp 7 ribu. Harga yang cukup mahal tersebut tidak diimbangi dengan adanya kualitas air yang bagus.
"Privatisasi sangat buruk, kalau orang yang tidak mampu bayar langsung di cut. Padahal kualitas airnya enggak bersih," ujar dia.
Advertisement
Reaksi Djarot
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengaku Pemprov DKI belum bisa mengambil alih pengelolaan air di Jakarta dari dua operator Aetra dan Palyja dalam waktu dekat.
"Enggak (bisa) karena ada perjanjian-perjanjian," kata Djarot di kawasan Ancol, Kamis 12 Oktober 2017.
Kontrak investasi antara Pemprov dengan kedua operator diketahui berakhir pada Februari 2023. Yang bisa Pemprov lakukan saat ini, kata Djarot, adalah mengadakan pertemuan antara PAM Jaya, Aetra, dan Palyja.
"PAM nanti ketemu Aetra sama Palyja nanti solusinya gimana. Tapi yang jelas begini, UU mengatakan bahwa air segala macam itu dikuasai negara, Pasal 33 ayat 3, sebesar besar untuk kepentingan rakyat. Makanya perlu ketemu," jelas dia.
Pemprov DKI, kata Djarot, sejak 2013 ingin mengakuisisi Aetra dan Palyja. Namun hal itu masih terbentur dengan perjanjian kontrak.
"Karena memang prosesnya mau kita ambil alih, tahun berapa 2013-2014, kita masukkan ke Jakpro masih belum ada nego, belum ada deal. Makanya ketiga, saya suruh ketemu," ucap Djarot.
Sementara itu, PAM Jaya selaku BUMD pengelola air di Jakarta enggan menanggapi putusan tersebut. Pihaknya masih akan mempelajari putusan tersebut.
"Kami mempelajari poin-poinnya. Formalnya, saya dan Pemprov DKI harus mengadakan rapat mengevaluasi point by point sebelum menentukan sikap. Kenapa begitu, karena kita sudah tidak termasuk dalam pihak yang banding," kata Dirut PAM Jaya Erlan Hidayat.
Saat ini, lanjut dia, baru dapat memastikan bahwa pada 2023 nanti, PAM Jaya pasti bisa mengambil alih dan menjadi operator pengelola air minum di Jakarta.
"Dengan catatan semua proyek bisa kita bangun. Kalau kontrak 2023 berakhir," tegas Erlan.
Ada Saham Sandiaga?
Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Sandiaga Uno ikut bicara terkait putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan warga negara untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta.
Diketahui bahwa saham PT Aetra Air Jakarta dimiliki oleh perusahaan Recapital yang notabene merupakan milik Sandiaga Uno.
Dulu PT Aetra Air Jakarta merupakan perusahaan Inggris bernama PT Thames Jaya, yang kemudian dibeli sahamnya oleh Recapital pada 2000. Sandiaga bersama Rosan Roeslani adalah pendiri Recapital.
Sandiaga menyatakan, melalui perusahaannya Recapital, telah menjual sahamnya di PT Aetra Air Jakarta. Kata Sandiaga, hal itu dilakukan untuk menghindari kepentingan konflik setelah dia resmi menjabat nanti.
Keputusannya melepas saham di PT Aetra Air Jakarta terkesan bersamaan dengan MA yang baru saja memerintahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memutus kontrak pengelolaan air dengan PT Aetra Air Jakarta demi menghentikan swastanisasi air di Jakarta.
Namun Sandiaga membantah kalau keputusannya menjual saham tersebut ada kaitannya dengan putusan MA.
"Nggak ada sama sekali (kaitannya), saya sudah nggak mengurus perusahaan sudah cukup lama. Tapi saya senang teman-teman di dunia usaha menangkap keinginan saya," ujar Sandiaga di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 12 Oktober 2017.
Sandiaga punya alasan tersendiri mengapa menjual saham PT Aetra.
"Pertama saya ingin tidak ada benturan kepentingan. Saya tahu sistem jual saham itu susah dan repot. Tapi intinya kita tidak ingin potensi KKN," kata Sandiaga.
"Oleh kerena itu saya pastikan supaya seluruh jajaran baik di lingkungan Pemprov maupun di dunia usaha menyadari itu," tandasnya.
Advertisement