5 Fakta Setya Novanto Tidak Mau Tunduk KPK

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya sudah 11 kali memanggil Setya Novanto dalam proses penyidikan KPK.

oleh Mevi LinawatiMoch Harun SyahFachrur Rozie diperbarui 16 Nov 2017, 11:00 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2017, 11:00 WIB
Senyum Semringah Setya Novanto di Peresmian Pembangunan Gedung DPP Golkar
Senyuman Setya Novanto saat tiba untuk menghadiri peresmian pembangunan Gedung Panca Bakti DPP Golkar di Jakarta, Minggu (12/11). Mulai Jumat 10 November 2017, Setya Novanto kembali berstatus tersangka. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Ketua DPR Setya Novanto. Sejumlah penyidik langsung mendatangi kediaman tersangka kasus korupsi megaproyek e-KTP itu di Jalan Wijaya Nomor 19, Jakarta Selatan, Rabu, 15 November malam.

"KPK menerbitkan surat perintah penangkapan bagi SN," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kamis dini hari (16/11/2017).

Para penyidik KPK tiba di rumah Novanto sekitar pukul 21.38 WIB. Namun, mereka tidak menemukan keberadaan Setya Novanto di kediamannya. 

Setelah lebih dari lima jam berada di kediaman Setya Novanto, para penyidik KPK pun beranjak meninggalkan tempat tersebut. Sekitar pukul 02.48 WIB, para penyidik meninggalkan rumah tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP itu menggunakan iring-iringan mobil.

KPK menyatakan, Setya Novanto sudah berulang kali dijadwalkan diperiksa, baik sebagai saksi maupun tersangka. Alasannya, mulai dari sakit hingga hak imunitas anggota dewan. Terakhir, dia dipanggil KPK sebagai tersangka pada Rabu 15 November 2017 tetapi mangkir.

Berikut sikap dan niat tak baik Setya Novanto terhadap KPK selama menjadi tersangka kasus e-KTP:

1. Dipanggil 11 Kali

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya sudah 11 kali memanggil Setya Novanto dalam proses penyidikan KPK, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi.

Pemanggilan itu mulai pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Sugiharto, Andi Agustinus, Anang Sugiana Sudihardjo, hingga memanggil Setya Novanto sebagai tersangka.

"Segala semua upaya persuasif sudah kita lakukan," ucap Febri di Gedung KPK, Kamis dini hari (16/11/2017).

Dari 11 panggilan itu, Setya Novanto hanya tiga kali memenuhi panggilan, yakni sebagai saksi untuk Sugiharto pada 13 Desember 2016 dan 10 Januari 2017, serta sebagai saksi Andi Agustinus alias Andi Narogong pada 14 Juli 2017.

KPK berharap Setya Novanto akan menyerahkan diri. "Kami harapkan kalau ada iktikad baik, masih terbuka bagi saudara SN untuk menyerahkan diri ke kantor KPK dan proses hukum ini akan berjalan baik," ujar Febri.

2. Mangkir tapi Pimpin Sidang Paripurna DPR

Ketua DPR Setya Novanto memimpin rapat paripurna pembukaan Masa Sidang II Tahun 2017/2018 pada Rabu 15 November 2017. Pada hari tersebut, sejatinya dia dipanggil KPK sebagai tersangka kasus proyek e-KTP.

Setya Novanto mangkir dari panggilan KPK tersebut. Dia beralasan, sedang menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi UU KPK.

"Saya kan ajukan ke MK (Mahkamah Konstitusi), kita tunggu saja, hormati MK," ujar Setnov di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (15/11/2017).

Pada pemanggilan sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo, Senin 13 November 2017, dia juga mangkir.

Setya Novanto memilih berkunjung ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain mengunjungi para petani di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang, Novanto juga mengunjungi para pemulung dan membagi-bagi sembako di Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang.

"Saya tidak menghindar karena ini tugas kenegaraan, sehingga kita pentingkan dulu tugas kenegaraan," ujar Novanto kala itu.

 

3. Berlindung di Balik UU MD3

KPK berharap Setya Novanto memenuhi panggilan penyidik KPK sebagai tersangka e-KTP. Hal tersebut, menurut Febri, bisa menjadi contoh yang baik untuk masyarakat.

"Tapi saya kira ini seharusnya menjadi bentuk kepatuhan kita terhadap hukum. Kalau kemudian dipanggil oleh penegak hukum sebaiknya datang," terang Febri.

Namun demikian, melalui kuasa hukumnya, Setya Novanto menyatakan ketidakhadirannya. Alasan yang dikemukan oleh kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi, lantaran pihaknya tengah menunggu hasil uji materi UU KPK.

"Betul. Sama juga, kan. Agus (Rahardjo) kan juga menyatakan melalui media bahwa KPK tidak akan hadir panggilan Pansus (Angket KPK), menunggu (putusan) MK. Kan, sama. Kita dalam posisi yang sama," kata Fredrich.

Terdapat dua pasal dalam UU KPK yang dipermasalahkan Fredrich. Dua pasal tersebut yakni Pasal 12 dan Pasal 46 Ayat 1 dan 2.

Dalam Pasal 12, KPK dapat memerintahkan instansi terkait untuk melakukan pencegahan ke luar negeri maupun pencekalan. Menurut Fredrich, pasal itu bertentangan dengan putusan MK tentang gugatan Pasal 16 Ayat 1 huruf b UU Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian.

Sementara dalam Pasal 46 yang berkaitan dengan penyidikan, menurut dia, telah bertentangan dan terkesan mengabaikan UUD 1945‎.

Pihak pengacara Setnov juga selalu berlindung di UU MD3, yaitu Pasal 244 dan Pasal 245 ayat 1. Fredrich Yunadi yang mengatakan pemanggilan terhadap Setnov harus berdasarkan izin presiden.

"Karena alasan imunitas ataupun dibutuhkannya persetujuan tertulis dari presiden sebenarnya kalau kita baca UU MD3 secara hati-hati tidak ada ketentuan seperti itu," ujar Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa 14 November 2017.

Menurut Febri, dua pasal tersebut tidak bisa digunakan oleh anggota DPR yang diduga terlibat kasus tindak pidana korupsi.

"Tentu saja dalam konteks dugaan tindak pidana korupsi, imunitas tidak bisa digunakan di sana. Karena berisiko sekali kalau dengan alasan imunitas seseorang anggota DPR tidak bisa diperiksa dalam kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi," kata Febri.

4. Alasan Sakit Ketika Diperiksa KPK

Ketua DPR Setya Novanto kerap mangkir dari panggilan KPK dengan alasan sakit. Hingga akhirnya dia masuk RS Premier, Jatinegara, pada Minggu, 17 September 2017.

"Menyampaikan bahwa SN (Setya Novanto) tidak bisa hadir karena sakit," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Senin, 18 September 2017.

Kala itu, dokter mendiagnosisnya terkena penyakit vertigo. Dia juga sempat melakukan operasi katerisasi jantung di Rumah Sakit Premier.

Dia meninggalkan rumah sakit pada 2 Oktober 2017. Kepulangannya tidak terpantau media. Pihak KPK pun sempat menyambangi rumah sakit untuk mengecek kondisi Setya Novanto tersebut pada Kamis, 21 September 2017. 

Saat terbaring sakit, sidang praperadilan kasus penetapan tersangkanya juga digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hingga akhirnya dia memenangi praperadilan tersebut.

5. Polisikan KPK dan Pembuat Meme

Pengacara Ketua DPR RI Setya Novanto, Fredrich Yunadi, melaporkan penyidik dan pimpinan KPK. Tindakan itu dilakukan menyusul penetapan kembali Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi e-KTP.

Fredrich melaporkan Ketua KPK Agus Rahardjo, Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dan penyidik KPK A Damanik.

"Karena mereka yang tandatangani surat (sprindik) itu semua," kata Fredrich, di Bareskrim Polri, Jumat (10/11/2017).

Dia menunjukkan surat tanda bukti lapor di Bareskrim Nomor TBL/825/XI/2017/Bareskrim. Laporan terhadap empat orang KPK itu termuat dalam nomor laporan: LP/1192/XI/2017/Bareskrim tertanggal 10 November 2017.

Terlapor diduga melanggar Pasal 414 dengan dugaan melawan putusan pengadilan, diancam hukuman penjara 9 tahun. Selain itu, mereka dilaporkan melanggar Pasal 421 mengenai penyalahgunaan kekuasaan.

Setya Novanto juga melaporkan 32 akun media sosial yang mengunggah meme yang dinilai menghinanya. Puluhan akun itu tersebar di Twitter, Instagram, dan Facebook.

Laporan tersebut tertuang dalam surat laporan polisi nomor: LP/1032/X/2017/Bareskrim tertanggal 10/10/2017. Polisi kemudian menetapkan satu orang sebagai tersangka.

Dyan Kemala Arrizzqi ditangkap di rumahnya di Perumahan Duta Garden, Tangerang, Selasa, 31 Oktober 2017 malam. Namun, dia dilepas Rabu sore dengan status sebagai tersangka.

Perempuan 29 tahun itu dijerat pidana atas dugaan menyebarkan foto Setya Novanto saat terbaring di rumah sakit, yang dibuat mirip karakter Bane dalam film The Dark Knight Rises. Baik Bane maupun sang politikus sama-sama memakai masker. Dyan dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya