Liputan6.com, Jakarta - Skenario Setya Novanto dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kecelakaan pada Kamis malam 16 November 2017, yang menurut pengacara Fredrich Yunadi, bikin mobil hancur...cur...cur dan kepala Ketua nonaktif DPR itu benjol sebesar bakpao hingga nyaris game over, diduga kuat sudah dirancang sebelumnya.
Setelah memeriksa 35 saksi dan ahli, KPK mengaku mendapat bukti skenario pihak Setya Novanto. Mereka yang diduga terlibat, kini ikut dijadikan tersangka.
Komisi antikorupsi menetapkan pengacara Setya Novanto saat itu, Fredrich Yunadi, dan dokter RS Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, sebagai tersangka.
Advertisement
"Penyidik meningkatkan status FY dan BST dari penyelidikan ke penyidikan. FY ini seorang advokat dan BST seorang dokter," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 10 Januari 2018.
Mereka diduga kongkalikong untuk memanipulasi data medis Setya Novanto ketika masuk RS pada Kamis 16 November 2017.
"FY dan BST diduga memasukkan tersangka SN (Setya Novanto) ke salah satu RS untuk dilakukan rawat inap dengan memanipulasi data medis," lanjut Basaria.
Fredrich diduga menelepon dokter Bimanesh untuk memberitahukan soal rencana Setya Novanto masuk ke rumah sakit tempatnya praktik. Dia memesan satu lantai di RS Medika Permata Hijau, sebelum kecelakaan terjadi.
"Dokter tersebut diduga sudah menerima telepon dari pihak pengacara bahwa SN akan dirawat di ruang VIP dan berencana untuk membooking satu lantai VIP itu," kata Basaria.
KPK dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri sudah berkoordinasi terkait penetapan tersangka ke dokter Bimanesh ini. IDI menyerahkan sepenuhnya ke KPK.
"Kami sudah berkoordinasi dengan KPK terkait hal ini. Tentang prosesnya nanti seperti apa, tindak lanjut seperti apa, termasuk apakah nanti dibutuhkan pendampingan hukum dari organisasi profesi," kata Sekretaris Jenderal IDI Adib Khumaidi.
Menurut dia, IDI pun tengah mengusut dugaan pelanggaran etik oleh Bimanesh. Penyidikan tersebut dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI. Apabila terindikasi ada pelanggaran etik, pihaknya akan melakukan pembinaan dan memberi sanksi jika diperlukan.
IDI kemudian mengingatkan agar para dokter bekerja sesuai standar dan etika.
"Kalau kita (dokter) sudah bekerja sesuai standar, SOP, dan etika, tentunya tidak ada upaya-upaya yang dianggap menghalang-halangi proses hukum," kata dokter spesialis ortopedi itu.
Kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi setiap pengacara dan masyarakat agar tidak melindungi orang yang bermasalah dengan hukum, termasuk koruptor.
"KPK mengimbau agar pihak yang menjalankan profesi advokat atau dokter harus menjalankan pekerjaan dan tidak menghambat proses hukum yang berlaku, khususnya upaya pemberantasan korupsi," kata Basaria.
Masih Banyak Tersangka Lain?
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan menegaskan pihaknya tak akan berhenti pada dua tersangka dalam kasus dugaan merintangi penyidikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Masih ada tiga orang yang berstatus sebagai saksi dalam cabang kasus e-KTP ini. Hilman Mattauch, mantan kontributor salah satu televisi swasta; Reza Pahlevi, ajudan Setya Novanto; dan Achmad Rudyansyah, swasta.
Namun, saat ini, mata publik sedang tertuju ke Hilman Mattauch. KPK, kata dia, tengah mengkaji status hukum Hilman dalam kasus tersebut.
Sebab, Hilman diduga sebagai salah satu pihak yang melarikan Novanto saat akan ditangkap oleh penyidik KPK di kediamannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada pertengahan November 2017 lalu.
Hilman juga diduga turut dalam skenario kecelakaan Novanto di daerah Permata Hijau. Sebab, Hilman merupakan sopir mobil yang ditumpangi oleh Ketua nonaktif DPR RI tersebut.
"Penyidik masih mendalami hal tersebut, kenapa kemudian Hilman masih saksi? Kita tunggu saja," ujar Basaria.
Menurut dia, tak menutup kemungkinan Hilman akan turut dijerat setelah Fredich dan Bimanesh.
Tak hanya Hilman, KPK juga mengkaji status keluarga Novanto. Menurut Basaria, pihaknya tengah mencari dua alat bukti untuk menjerat tersangka lainnya.
"Kalau kita bisa buktikan baik itu H (Hilman), baik itu keluarga yang merupakan bagian dari skenario maka yang bersangkutan bisa jadi berikutnya ditingkatkan statusnya jadi tersangka," kata Basaria.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Tama S Langkun, mengatakan, pengembangan kasus Setya Novanto ini merupakan pesan bagi siapapun yang berusaha merintangi penyelidikan dan penyidikan KPK, bisa diganjar hukum.
"Ini norma hukum sudah bertahun-tahun yang lalu. Namun memang, upaya hukum seperti ini tidak sering dilakukan penegak hukum yang lain. Jadi belum banyak masyarakat yang sadar ada pasal yang mengatur tidak boleh melindungi atau menghalangi proses hukum," kata Tama kepada Liputan6.com.
Tama berharap KPK mengusut tuntas upaya menghalangi proses hukum kasus e-KTP ini.
"Kita harus apresiasi KPK dalam konteks pemberantasan korupsi ini. Sebab, di samping perkara pokoknya sendiri, KPK mengusut adanya upaya merintangi perkara. Selanjutnya, KPK harus usut tuntas siapa pihak lain yang membantu Setya Novanto," ujar Tama.
Advertisement
Licin Bagai Belut
Tak hanya sekali Setya Novanto berulah untuk menghindari panggilan KPK dengan masuk rumah sakit. Kecelakaan dan rawat inap pada Kamis 16 November 2017 merupakan kedua kalinya Setya Novanto masuk rumah sakit.
Upaya ini dilakukan untuk mangkir dari panggilan KPK pascapenetapan tersangka kedua kalinya dalam kasus e-KTP pada 10 November 2017.
Sebelumnya, Setya Novanto juga pernah menjalani perawatan di Rumah Sakit (RS) Premier, Jatinegara, Jakarta Timur pada Minggu, 17 September malam.
Awalnya, ia dirawat di RS Siloam. Awalnya, Novanto dikabarkan pingsan saat sedang berolahraga.
Dokter mendiagnosisnya terkena penyakit vertigo. Selanjutnya, ia juga disebut mengidap sakit ginjal, penyakit jantung, hingga tumor di tenggorokan.
Dia juga sempat melakukan operasi katerisasi jantung di Rumah Sakit Premier.
Momentum Setnov dikabarkan sakit kala itu berbarengan dengan surat pemanggilan pemeriksaan perdana sebagai tersangka oleh KPK.
Komisi antikorupsi menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi megaproyek e-KTP. Namun, Novanto menang dalam putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat, 29 September 2017. Status tersangkanya pun dianulir.
Setelah dinyatakan bebas, Setya Novanto meninggalkan rumah sakit pada Senin 2 Oktober 2017 malam, pascasepekan lebih dirawat. Keluarnya Setnov lolos dari pantauan wartawan.
"Benar sudah pulang tadi malam. Kurang lebih pukul 20.00," ujar Humas RS Premier, Sukendar, kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017.
Saat ini, kasus Setya Novanto telah bergulir ke persidangan. Setya Novanto didakwa menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi.
Jaksa menyebutkan, sejak awal proyek e-KTP telah diatur untuk menggunakan anggaran rupiah murni yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tujuannya, agar pencairan anggaran membutuhkan persetujuan DPR RI.
Perbuatan Setya Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1.