Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Agama telah merilis 200 nama para mubalig yang telah terstandarisasi. Jumlah itu akan terus bertambah seiring dengan nama yang terus diajukan oleh masyarakat kepada Kementerian Agama.
Dari rilis nama-nama mubalig, standarisasi tidak dilakukan Kementerian Agama melainkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bagaimana prosedurnya?
Ketua Dewan Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Cholil Nafis menjelaskan, Kementerian Agama terlebih dahulu memberikan nama-nama calon mubalig rekomendasi kepada MUI. Selanjutnya, MUI akan melakukan penilaian terhadap para calon dengan menilai 3 aspek.
Advertisement
Pertama, mubalig memiliki kompetensi ilmu agama mendalam. Kedua, memiliki wawasan komitmen kebangsaan dan ketiga, memiliki komitmen moral dan berpengalaman.
Penilaian tidak dilakukan sendiri oleh MUI. Cholil mengatakan, proses tersebut juga melibatkan organisasi masyarakat dan nama mubalig yang direkomendasikan.
“Ke MUI dulu, makanya insyaallah dalam waktu dekat kami akan rapat dengan ormas-ormas termasuk dengan nama-nama yang sudah masuk ke Kementerian Agama, kita bahas bareng setelah oke, baru kita tulis dan dicatat di Kementerian Agama,” ujar Cholil di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (22/5/2018).
Setelah dipublikasikan, MUI dan Kemenag akan bertanggung jawab terhadap para mubalig tersebut. Jika masyarakat merasa tidak sesuai dengan penyampaian ataupun isi dari ceramah mubalig, Cholil mengatakan rekomendasi akan dicabut.
“Kalau ternyata yang dari Kementerian Agama ada yang tidak sesuai dengan standar, ya kita cabut rekomendasinya,” ujar dia.
Kesenjangan Antarmubalig
Cholil juga menilai kesenjangan di antara mubalig merupakan hal lumrah. Pandangan itu menanggapi adanya pendapat kontra terkait 200 rilis nama mubalig oleh Kementerian Agama.
“Pasti ada kesenjangan. Kalau mereka merasa tidak ini, ya mereka sekolah lagi. Sama dengan kualifikasi orang yang tingkat S1, S2, S3, mana yang disenangi masyarakat, karakter mana yang disenangi. Itu yang akan dikembalikan ke masyarakat,” ujar Cholil.
Dia menambahkan, perlu ada tingkatan di lingkup mubalig agar masyarakat bisa mendapatkan penceramah agama sesuai standar. Sehingga ceramah yang disampaikan mubalig diterima dengan baik oleh jamaah.
“Untuk membedakan sebagai pelayan umat, menurut MUI ini loh tingkatannya,” imbuh Cholil.
Meski demikian, Cholil menuturkan mubalig yang namanya masuk daftar rekomendasi Kementerian Agama berhak menolak tawaran itu. Sebab, rekomendasi tidak bersifat mengikat melainkan alternatif bagi masyarakat dalam mengundang mubalig di setiap kegiatan.
Lebih lanjut, jika masyarakat menemukan ketidaksesuaian penyampaian mubalig yang telah terstandarisasi dan masuk dalam daftar rilis Kemenag, MUI akan turun tangan bertanggung jawab selama ada pengaduan. Sebaliknya, MUI tidak bertanggung jawab terhadap pengaduan jika mubalig tidak masuk dalam daftar.
"Kami akan bertanggung jawab atas itu. Rekomendasi juga bisa dicabut, rekomendasi ini juga tdak mengikat kalau misalnya tidak sesuai dengan kriteria silakan complain ke kami,” tukasnya.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Saksikan tayangan video menarik berikut ini:
Advertisement