HEADLINE: Guncangan Kedua Lebih Kuat, Gempa Lombok Fenomena Luar Biasa?

Hanya berjarak sepekan, lindu kembali mengguncang wilayah yang sama di Lombok. Kekuatannya melebihi gempa pertama, yaitu 7 SR.

oleh RinaldoIka Defianti diperbarui 07 Agu 2018, 00:09 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2018, 00:09 WIB
Bangunan Rusak Gempa Lombok
Bangunan rusak di Universitas Mataram akibat diguncang gempa 7 SR, Minggu (6/8/2018). (Ahmad Nitari Darwis)

Liputan6.com, Jakarta - Kawasan Lombok dan sekitarnya diguncang dua gempa hebat dalam sepekan. Gempa pertama, yang terjadi pada Minggu, 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4 Skala Richter, ternyata bukanlah klimaks. Hanya berjarak sepekan, pada Minggu malam, 5 Agustus 2018, lindu kembali mengguncang wilayah yang sama dengan kekuatan lebih besar, yakni 7 Skala Richter.

Ini fenomena yang jarang terjadi dalam bencana gempa karena kekuatan gempa kedua lebih besar dari gempa pertama. Yang umum diketahui, gempa susulan selalu punya kekuatan lebih rendah. 

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemudian menyatakan gempa berkekuatan 7 Skala Richter yang mengguncang Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada pukul 18.46 WIB adalah gempa utama (mainshock). Sementara gempa 6,4 SR adalah awalan atau foreshock.

"Itu agak luar biasa kalau menurut saya. Memang agak mengejutkan, di tempat yang sama, hanya berjarak satu minggu, antara foreshock dan mainshock berdekatan, dan besarnya (gempa utama) itu 10 kali lipat," ujar mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Surono, di Kantor Redaksi Liputan6.com, Senin (6/8/2018) petang.

Pria yang karib disapa Mbah Rono itu menyebut, gempa pertama Lombok adalah gempa awalan. Sementara gempa utama adalah yang kedua pada 5 Agustus yang diikuti dengan sejumlah gempa susulan yang lebih kecil, untuk menyeimbangkan patahan-patahan.

"Kita memang tidak bisa memprediksi berapa kuat gempa awalan serta jumlah gempa susulan. Yang bisa kita lihat, jika jumlah dan energi gempa susulan sudah menurun, dia sudah mengunci energi untuk dikeluarkan pada gempa lain di masa yang akan datang," jelas mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) itu.

Infografis Gempa Lombok (Liputan6.com/Triyasni)

Hal itu dibenarkan Danny Hilman Natawijaya, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia mengatakan, rentetan gempa yang komplet itu ada foreshock, mainshock dan aftershock. Jadi, ada gempa pembuka atau gempa pendahuluan, gempa utama, lalu gempa susulan.

"Tapi, gempa yang pendahuluan atau foreshock itu tidak selalu ada, jadi langsung mainshock atau gempa utama, terus susulan. Nah, yang kemarin (gempa Lombok 5 Agustus 2018) ini kasusnya lain dari yang lain. Didahului dengan yang pembuka dulu, baru utamanya atau yang besarnya baru keluar," jelas Danny kepada Liputan6.com.

Dengan kata lain, kata dia, mainshock itu umumnya terjadi di gempa pertama yang berkekuatan besar. Dan itu bisa diketahui dari gempa yang terjadi pada titik yang sama. Namun, lagi-lagi kita memang tak bisa mengetahui mana gempa awal atau utama sebelum semua energi dilepaskan.

"Jadi, kita tidak akan tahu bahwa itu foreshock sebelum yang gedenya keluar, jadi kita memang enggak bisa tahu," tegas Danny.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena dua kali gempa di Lombok itu bukan hal yang umum terjadi, kendati bukan berarti tidak pernah.

"Ada gempa pendahuluan dulu kemudian baru ada utamanya. Tapi itu tidak sering, itu lebih banyak terjadi gempa utama kemudian baru ada gempa susulan. Tapi sekali lagi, yang namanya alam itu kita tidak bisa menebak sebelum ada gempa berikutnya, jadi harus menunggu gempa itu terjadi dulu," jelas Dwikorita kepada Liputan6.com.

Dia mengatakan, gempa itu memiliki tiga tipe. Yang paling sering terjadi itu tipe di mana gempa utama tinggi kemudian diikuti dengan gempa susulan. Secara alamiah begitu, semakin mengecil semakin melemah.

"Namun, ada kondisi-kondisi di alam itu tidak semuanya sama dan seragam. Tipe yang kedua adalah tidak ada gempa utama, tapi diikuti gempa susulan. Selang beberapa waktu di lokasi yang sangat berdekatan dan hampir sama di patahan yang sama mengalami penguatan gempa yang kurang lebih sama," jelas dia.

Dia mencontohkan sesar Flores yang sebelumnya mengalami gempa yang lebih kuat terus diikuti dengan gempa susulan yang semakin melemah. Gempa ini baru bisa disimpulkan setelah keseluruhan gempa melepaskan energinya.

"Jadi, itu harus terjadi dulu, baru kita bisa menyimpulkan. Berarti yang kemarin itu (gempa pertama Lombok) masih pendahuluan, karena di lokasi patahan yang sama, kemudian terjadi gempa kuat berikutnya," ucap Dwikorita.

Gempa tipe ketiga, kata dia, adalah gempa yang terjadi di awal dan susulannya punya kekuatan yang sama. "Kekuatan gempa ini biasanya tidak tinggi, skalanya tidak begitu besar," tegas mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Gempa Lombok Tak Terkait Pilpres

Korban Gempa Lombok Dirawat di Luar Gedung Rumah Sakit
Korban gempa menjalani perawatan di bangsal darurat luar Rumah sakit Moh. Ruslan di Mataram, Senin (6/8). Aparat gabungan terus melakukan evakuasi dan penanganan darurat akibat bencana gempa bermagnitudo 7 yang mengguncang Lombok. (AFP/ADEK BERRY)

Gempa Lombok ternyata tak berhenti sebagai bencana alam. Di media sosial, dua kali gempa Lombok juga menjadi topik yang menyerempet ke wilayah politik. Gempa Lombok diseret dan dijadikan pembenar untuk asumsi yang dangkal, jauh dari pemahaman ilmu pengetahuan yang sudah galib diketahui.

Lihat saja, tak sulit menemukan posting-an di media sosial seperti Twitter atau Facebook yang menyebutkan gempa Lombok terjadi karena dampak saling dukung menjelang Pilpres 2019. Posting-an itu hanya menghubung-hubungkan peristiwa, tanpa ada penjelasan ilmiah sama sekali. Namun, fenomena tersebut dianggap biasa oleh Mbah Rono.

"Indonesia itu kalau enggak heboh enggak seru. Ibarat nonton film, kalau enggak ada tembak-tembakan atau perangnya, enggak seru. Pilpres pun kalau enggak heboh ya enggak seru. Kalau bisa diseru-serukan, semua ditarik-tarik," ujar Mbah Rono.

Dia mengatakan, Tuhan itu maha adil. Bencana itu kenyataan dari Tuhan, tapi kita juga diberi akal untuk menganalisis. "Jadi jangan begitulah, kasihan gempa atau gunungnya," ujar dia.

Dia menegaskan, tak ada hubungan antara gempa Lombok atau di mana pun dengan proses politik yang tengah berjalan. Gempa itu adalah isyarat alam yang tak bisa ditolak, sehingga sangat jauh hubungan dengan persoalan politik.

"Apa gara-gara ada kabar itu terus terjadi gempa? Kan, tidak. Memang daerah itu sering terjadi gempa, mau ada pilpres atau tidak, dari dulu ada gempa. Tak usahlah bikin kaya gitu, kasihan masyarakat, sudah sengsara dikaitkan lagi dengan bencana, yang mau nyalon ya nyalon saja," ucap Mbah Rono.

Di sisi lain, dia tak menampik bahwa persoalan politik bisa menjadi topik yang menarik untuk menjadi bahasan, apalagi untuk politikus yang tengah merintis jalan menuju kekuasaan. Dia mencontohkan acara debat di televisi, entah debatnya benar atau salah, dia memastikan ratingnya bakal tinggi.

"Padahal, kadang-kadang isinya entah apa itu, pusing saya. Syukur saya bukan tokoh politik, kalau saya tokoh politik, batuk pun pasti akan dianalisis," gurau Mbah Rono.

Sementara itu, peneliti gempa dari LIPI, Danny Hilman, mengatakan mudahnya menyeret masyarakat dengan pemahaman gempa yang salah karena pengalaman akan proses gempa masih sangat minim.

"Jadi, orang itu masih sangat awam, gempa itu apa sih? Sumbernya apa? Kenapa bisa jadi gempa? Sebagian orang pada enggak ngerti, jadi artinya harus ada edukasi yang lebih mendasar. Mungkin dari SD sudah harus diajarkan gempa itu apa, sehingga semua orang jadi tahu," papar Danny.

Jika masyarakat sudah teredukasi dengan baik soal gempa, kata dia, mereka tak akan mudah lagi terpengaruh dengan asumsi atau analisa dangkal yang menghubungan gempa dengan hal-hal yang non-ilmiah.

"Kalau dibandingkan dengan Jepang, anak-anak SD itu sudah pada paham gempa itu apa, sehingga cerita klenik atau yang dihubungkan dengan politik macam-macam itu tidak ada," cerita Danny.

Sementara, menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, pihaknya tak kurang-kurang selalu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang apa sebenarnya yang terjadi ketika gempa itu terjadi.

"Kami terus menjelaskan sejak tsunami Aceh dulu bahwa pergerakan lempeng itu memang ada, patahan itu memang ada. Dan itu bisa diukur dari sensor-sensor yang mencatat kejadiannya," jelas Dwikorita.

Dengan semua itu, BMKG, menurut dia, ingin memberi pemahaman bahwa gempa adalah proses alam yang tak bisa diprediksi kapan atau di mana akan terjadi, tapi bisa dipahami dengan ilmu pengetahuan yang ada.

"Jadi itu bukan alam gaib, itu alam nyata, karena bisa diukur dengan alat yang kasat mata," ujar Dwikorita.


Riwayat Gempa Lombok

Tim SAR Evakuasi Satu Wisatawan Meninggal ke Pelabuhan Bangsal
Suasana Evakuasi Seribu Wisatawan Usai Gempa Lombok. Foto: Sutopo_pn/Twitter

Wilayah lombok dan gempa sejatinya sudah "berkawan" sejak lama. Sama dengan sebagian besar wilayah Indonesia yang memang rawan gempa. Bahkan, khusus untuk Lombok, catatan menunjukkan wilayah itu memang langganan gempa.

"Lombok itu memang cukup aktif, karena sebetulnya di tahun 1800-an beberapa kali sudah terjadi gempa bumi di patahan yang sama," jelas Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Menurut data BMKG, wilayah Lombok sudah delapan kali diguncang gempa berkekuatan besar. Gempa kerap melanda Lombok lantaran daerah tersebut berada di kawasan seismik aktif.

"Jika kita memperhatikan peta aktivitas kegempaan atau seismisitas Pulau Lombok, tampak seluruh Pulau Lombok banyak sebaran titik episenter. Artinya, memang banyak aktivitas gempa di wilayah ini," kata ‎Kabid Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, Senin (6/8/2018)

Berdasarkan catatan BMKG, terdapat delapan gempa berkekuatan besar yang terjadi di ‎Lombok, yaitu:

1. Gempa disertai tsunami di Labuantereng, Lombok pada 25 Juli 1856.

2. Gempa 6,7 SR mengguncang Lombok pada 10 April 1978. Akibat gempa itu, banyak rumah mengalami kerusakan.

3. Gempa 5,7 SR mengguncang Lombok pada 21 Mei 1979. Banyak rumah rusak akibat gempa tersebut.

4. Gempa Lombok juga terjadi pada 20 Oktober 1979. Gempa dengan kekuatan 6,0 SR itu mengakibatkan banyak rumah rusak.

5. ‎Gempa berkekuatan 6,1 SR kembali melanda Lombok pada 30 Mei 1979. Gempa itu mengakibatkan banyaknya rumah rusak dan 37 orang meninggal.

6. Gempa Lombok pada 1 Januari 2000. Gempa dengan kekuatan 6,1 SR itu mengakibatkan 2.000 rumah rusak‎;

7. Gempa Lombok pada 22 Juni 2013 dengan magnitudo 5,4 SR mengakibatkan banyak rumah rusak.

8. Gempa Lombok pada 5 Agustus 2018 dengan magnitudo 7,0 SR mengakibatkan banyak rumah rusak dan korban meninggal.

Menurut Daryono, gambaran catatan sejarah gempa tersebut sudah dapat mewakili bahwa Lombok memang rawan gempa.

"Kondisi alam semacam ini merupakan sesuatu yang harus diterima, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, semua itu adalah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai penduduk yang tinggal dan menumpang di batas pertemuan lempeng tektonik," ungkap dia.

Secara tektonik, Lombok merupakan kawasan seismik aktif. Lombok berpotensi diguncang gempa karena terletak di antara dua pembangkit gempa dari selatan dan utara. Dari selatan terdapat zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menghujam ke bawah Pulau Lombok. Sedangkan dari utara terdapat struktur geologi Sesar Naik Flores (Flores back arc thrusting).

"Sesar naik ini jalurnya memanjang dari laut Bali ke timur hingga Laut Flores. Sehingga tidak heran jika Lombok memang rawan gempa karena jalur Sesar naik Flores ini sangat dekat dengan Pulau Lombok," ujar Daryono.

Ia melanjutkan, jika kita memerhatikan peta aktivitas kegempaan atau seismisitas Pulau Lombok, tampak seluruh Pulau Lombok memiliki banyak sebaran titik episenter. Ini artinya, ada banyak aktivitas gempa di wilayah tersebut.

Meskipun kedalaman hiposenternya dan magnitudonya bervariasi, tampak jelas wilayah Lombok adalah wilayah aktif gempa yang bersumber dari subduksi lempeng, Sesar Naik Flores dan sesar lokal di Pulau Lombok dan sekitarnya.

Dari sebaran seismitas ini pun cukup menjadi dasar untuk mengatakan bahwa Lombok memang rawan gempa.

"Jalan keluarnya, kita harus terus meningkatkan kapasitas dalam memahami ilmu gempa bumi, cara selamat menghadapi gempa dan bagaimana memitigasi gempa bumi, agar kita selamat dan dapat hidup harmoni dengan alam," pungkas Daryono.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya