Liputan6.com, Jakarta Hapsah asyik menghisap susu kemasan sambil bersenda gurau dengan teman sebayanya. Ekspresinya menutupi rasa trauma yang dialaminya saat bencana gempa dan tsunami terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat 28 September 2018 lalu.
Masih tergambar jelas di pikiran bocah perempuan 8 tahun itu bagaimana gempa memporak-porandakan kota kelahirannya. Bahkan, bocah kelas tiga SDN Inpres 1 Kamonji Kota Palu ini menyaksikan secara langsung reruntuhan bangunan menghantam seorang anak kecil.
Saat itu, Hapsah tengah menemani ibunya yang bekerja sebagai guru Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah, Palu. Anak kecil yang menjadi korban reruntuhan bangunan sekolah itu merupakan murid ibunya.
Advertisement
"Lagi di TK. Mama bacatat (mencatat) nama yang masih (di situ). Saya (sedang) main boneka," kata Hapsah mendadak bercerita kepada Liputan6.com di pengungsian Masjid Agung Darussalam, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (14/10/2018)
Sebelum bencana terjadi, Hapsah ingat anak kecil tersebut belum pulang dari TK. Ibu sang anak tengah berada di luar negeri, dan sang ayah terlambat menjemput sementara malam akan segera tiba.
"Pas gempa papanya baru datang berjalan kaki, pegang sana, sini," kata dia.
Â
Lari Sambil Berpegangan
Namun nahas, si anak yang dijemput ternyata sudah meninggal dunia. Dia menderita luka di bagian kepala, dan kakinya terhimpit pintu yang jatuh. Hapsah cuma bisa berteriak dan berusaha berlari bersama ibunya. Hingga kini bayangan itu masih teringat di benaknya.
"Lari (sambil) pegangan tempat-tempat bermain (saat gempa). Mamaku cuma lari, jatuh, lari, jatuh. Aku bilang pegangan sini, pegangan sini," kenang Hapsah.
Rencananya, Hapsah akan pindah ke Gorontalo bersama kedua orangtuanya dan si adik yang masih berusia satu tahun. Sementara kini sang ayah masih turut membantu mencari korban jiwa korban gempa dan tsunami Kota Palu.
"Papa disuruh bacari (mencari) jenazah," Hapsah menandaskan.
Advertisement