Kasus Suap PLTU Riau 1, Johannes Kotjo Anggap Pemberian Uang ke DPR Wajar

Pada nota pembelaannya, Johannes Kotjo mengaku awam mengenai dunia hukum, sehingga menganggap lumrah pemberian sejumlah uang kepada Eni.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Des 2018, 15:39 WIB
Diterbitkan 03 Des 2018, 15:39 WIB
Kasus PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo Dituntut Empat Tahun Penjara
Terdakwa dugaan suap pembangunan PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/11). Sidang mendengar pembacaan tuntutan dari JPU KPK. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo menyampaikan nota pembelaan atas tuntutan 4 tahun dari jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa menilai Johannes Kotjo terbukti memberi suap kepada Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham sebesar Rp 4,750 miliar terkait pengerjaan proyek PLTU Riau-1.

Pada nota pembelaannya, Kotjo mengaku awam mengenai dunia hukum, sehingga menganggap lumrah pemberian sejumlah uang kepada Eni. Dia menganggap pemberian uang ini sebagai bentuk saling tolong menolong sesama teman.

"Maka ketika Bu Eni minta saya menyukseskan kegiatan partainya dan mendukung suaminya tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh saya bantuan itu. Saya konversi menjadi suatu keuntungan, saya hanya berpikiran kalau Bu Eni minta bantuan karena anggap saya temannya, tidak berpikir jauh, hanya kegiatan seorang teman, terlepas apapun profesinya adalah hal normal bagi siapapun," ucap Johannes Kotjo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (3/12/2018).

Menurut dia, pengalaman bertahun-tahun dalam dunia usaha tidak berbanding lurus dengan pengetahuannya tentang hukum. Dia pun menyesal setelah mengetahui perbuatan itu salah.

Andai tahu pemberian kepada penyelenggara negara adalah bentuk tidak pidana korupsi, dia menegaskan tidak akan pernah ada uangnya yang mengalir ke mantan anggota Komisi VII DPR tersebut.

Kotjo tak menampik ada peran Eni atas terbukanya komunikasi dengan Direktur Utama PT PLN Persero Sofyan Basir. Namun, dia menganggap keterlibatan Eni di situ wajar, mengingat politikus Golkar itu berada di komisi yang membawahi energi, termasuk kelistrikan.

 "Eni tidak pernah menanyakan mengenai komitmen. Lalu kenapa butuh dibuka jalur? Karena saya tidak kenal orang-orang (di PLN) kalau jalur normal pasti panjang dan berbelit saya sebagai wirausaha butuh kepastian dan efisiensi waktu," kata Johannes Kotjo.

"Ketika KPK menerangkan bahwa bantuan saya untuk Eni terkait erat dengan PLTU mulut tambang Riau-1 saya tidak paham karena bantuan tersebut dikaitkan dengan PLTU, benar memang Eni membuka jalan untuk komunikasi (dengan Sofyan Basir)," lanjut dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tuntutan

Kasus PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo Dituntut Empat Tahun Penjara
Terdakwa dugaan suap pembangunan PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/11). Sidang mendengar pembacaan tuntutan dari JPU KPK. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Kotjo dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta atau subsider 6 bulan kurungan karena memberikan suap ke Eni dan Idrus.

Uang-uang tersebut diberikan Kotjo agar Eni mau mengusahakan perusahaannya terlibat menggarap proyek senilai USD 900 juta tersebut. Selain itu, dari pertimbangan jaksa penuntut umum, menyebutkan bahwa uang yang diminta Eni sebagian diperuntukkan untuk Munaslub Golkar dan pilkada sang suami di Kabupaten Temanggung.

"Rp 2 miliar ditujukan Eni untuk munaslub Golkar, Rp 2 miliar untuk pemenangan pilkada suami Eni Maulani Saragih," ujar jaksa.

Jaksa mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yakni tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Sementara hal meringankan, Kotjo bersikap sopan, belum pernah dihukum, sekaligus selama persidangan ia kooperatif dan terus terang.

Perkara ini bermula saat Kotjo mengetahui adanya proyek itu sekitar tahun 2015. Melalui PT Samantaka, anak perusahaan BNR, dia mengirimkan surat ke PT PLN Persero atas keinginannya ikut serta mengerjakan proyek tersebut. Namun surat itu tak kunjung mendapat respon.

Kotjo mengambil jalan pintas dengan menemui Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dan menceritakan permasalahannya. Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih yang menjabat di Komisi VII DPR mendampingi Kotjo memfasilitasi pertemuan dengan Sofyan Basir, Direktur PT PLN Persero.

Setelah beberapa pertemuan antara Kotjo, Sofyan Basir, Eni disepakati perusahaan Kotjo ikut serta menggarap proyek PLTU Riau 1 bersamaan dengan anak perusahaan PLN Persero Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).

Kotjo kemudian menggaet perusahaan asal China, CHEC Ltd (Huading) sebagai investornya. Dalam kesepakatan Kotjo dan Chec menyatakan Kotjo akan mendapat komitmen fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta. Adapun nilai proyek itu sendiri sebesar USD 900 juta.

Dari komitmen fee yang ia terima, rencananya diteruskan lagi kepada sejumlah pihak di antaranya kepada Setya Novanto USD 6 juta, Andreas Rinaldi USD 6 juta, Rickard Phillip Cecile, selaku CEO PT BNR, USD 3.125.000, Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara USD 1 juta, Intekhab Khan selaku Chairman BNR USD 1 juta, James Rijanto, Direktur PT Samantaka Batubara, USD 1 juta.

Sementara Eni Saragih masuk ke pihak-pihak lain yang akan mendapat komitmen fee dari Kotjo. Pihak-pihak lain disebutkan mendapat 3,5 persen atau sekitar USD 875 ribu.

Atas perbuatannya, Kotjo dituntut telah melanggar Pasal 5 ayat 1 atau Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Reporter: Yunia Amalia

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya