BMKG Ungkap Proses Gempa Vulkanik hingga Tsunami di Selat Sunda

Anak gunung Krakatau terpantau erupsi pada Sabtu malam sekitar pukul 21.00 WIB.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 24 Des 2018, 13:39 WIB
Diterbitkan 24 Des 2018, 13:39 WIB
Erupsi, Anak Krakatau Terus Keluarkan Lava Pijar
Meski terus erupsi, status Gunung Anak Krakatau tetap waspada. (dok. Pos Pantau Gunung Anak Krakatau Lampung/Yandhi Deslatama)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyimpulkan bahwa tsunami di Selat Sunda pada Sabtu 22 Desember 2018 lalu disebabkan karena aktivitas vulkanik Anak Gunung Krakatau.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati membeberkan bagaimana aktivitas vulkanik Anak Gunung Krakatau hingga menyebabkan tsunami di Selat Sunda.

Awalnya, kata dia, anak gunung Krakatau terpantau erupsi pada Sabtu malam sekitar pukul 21.00 WIB. Eruspi diikuti dengan tremor dan gempa vulkanik. Ternyata, gempa vulanik ini memicu terjadinya kolaps atau longsoran di bawah laut.

"Setelah dianalisis kekuatan guncangan setara magnitudo 3,4. Epicentrium (titik pusat gempa) nya ada di Anak Gunung Krakatau," kata Dwikorita saat memberikan keterangan persnya di kantor BMKG, Jakarta, Senin (24/12/2018).

Dwikorita engatakan kolaps atau longsor itu ternyata meluas hingga 64 hektare di bawah laut. Akibatnya terjadi pergerakan gelombang air laut hingga menimbulkan tsunami.

Berdasarkan pemantauan citra satelit, tsunami terpantau 24 menit setelah aktivitas vulkanik Anak Gunung Krakatau. Ketinggian tsunami tercatat 0,9 meter.

"Setelah pukul 21.03 WIB kita pantau ada tsunami pukul 21.27 WIB. Terjadi di empat titik, Banten, Serang, Bandar Lampung," ucap Dwikorita.

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Tidak Terdeteksi

Tsunami di Selat Sunda ternyata tidak terdeteksi, sehingga tidak ada peringatan dini yang dikeluarkan BMKG.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan penyebab tidak terdeteksinya tsunami pada Sabtu 22 Desember 2018 itu.

"Apa yang kami sampaikan adalah tsunami yang berkaitan dengan aktivitas vulkanik, oleh karena itu tidak dapat terpantau dengan sensor-sensor gempa tektonik," kata Dwikorita saat memberikan keterangan persnya di kantor BMKG, Jakarta, Senin (24/12/2018).

Menurut Dwikorita, sebagian besar bencana tsunami yang terjadi di Indonesia dikarenakan gempa tektonik. Sedangkan gempa vulkanik jarang sekali terjadi. Sehingga tidak terpantau oleh sensor-sensor gempa yang dimiliki BMKG.

"Karena bukan gempa tektonik, sehingga informasi itu, kita tidak punya akses. Sehingga itulah yang terjadi," ucap Dwikora.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya