Eddy Sindoro Didakwa Suap Panitera PN Jakarta Pusat Rp 150 Juta dan USD 50 Ribu

Eddy Sindoro didakwa melakukan suap terkait pengurusan dua perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Des 2018, 15:03 WIB
Diterbitkan 27 Des 2018, 15:03 WIB
Senyum Mantan Presiden Komisaris Lippo Group Usai Diperiksa KPK
Mantan Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (22/10). Eddy diperiksa KPK sebagai tersangka kasus dugaan pemberian suap kepada Panitera PN Jakarta Pusat. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro didakwa memberi suap Rp 150 juta dan USD 50 ribu kepada mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian suap terkait pengurusan dua perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Memberi uang sejumlah Rp 150 juta dan USD 50 ribu kepada Edy Nasution selaku panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar menunda proses pelaksanaan Aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh Undang-undang," ucap jaksa Abdul Basir saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).

Dalam surat dakwaan, jaksa merinci pemberian Rp 100 juta terkait eksekusi penundaan aanmaning, peringatan pengadilan kepada pihak berperkara khususnya pihak yang kalah dalam sengketa, terhadap PT MTP.

Perusahaan tersebut menghadapi sengketa dengan PT Kymco. Berdasarkan putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 01 Juli 2013, ARB No 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar USD 11.100.000. Namun PT MTP belum melaksanakan putusan tersebut.

Pada tanggal 24 Desember 2013 PT Kymco mendaftarkan Putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutuskan putusan SIAC bisa dilakukan di Indonesia.

PT MTP kemudian dipanggil aanmaning oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tak kunjung hadir.

"Mengetahui adanya panggilan aanmaning tersebut, terdakwa memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susestyowati untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Menindaklanjuti perintah tersebut, pada tanggal 14 Desember 2015 Wresti menemui Edy Nasution di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan aanmaning PT MTP. Atas permintaan itu Edy Nasution menyetujui menunda proses Aanmaning sampai dengan bulan Januari 2016, dengan imbalan uang Rp 100 juta," jelas dia.

Permintaan Edy disetujui pihak PT MTP. Anak buah Eddy Sindoro, Wresti kemudian memerintahkan stafnya mengambil uang Rp 100 juta di kantor PT MTP untuk diberikan kepada Dody Arianto Supeno, kurir yang akan menyerahkan ke Edy Nasution.

Uang tersebut kemudian diserahkan Doddy kepada Edy pada 18 Desember 2016 di Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat.

Sementara pemberian uang Rp 500 juta diberikan Eddy Sindoro agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima proses upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL), meski telah melewati batas waktu pendaftaran.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pasal Dakwaan

Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor:214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Sejak putusan diterbitkan, PT AAL tidak mengajukan PK sampai batas waktu 180 hari.

Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy kembali memerintahkan Wresti untuk mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali dan melakukan pengecekan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Wresti kemudian kembali menemui Edy Nasution agar mau menerima pendaftaran PK PT AAL meski telah melebihi batas waktu. Edy menyanggupi dengan syarat permintaan uang Rp 500 juta. Wresti kembali melaporkan hal itu kepada Eddy Sindoro dan mengamini permintaan Edy. Uang kemudian diserahkan dalam bentuk USD 50 ribu melalui tim kuasa hukum PT AAL.

Atas perbuatan tersebut, Eddy didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya