Liputan6.com, Jakarta - Tahapan pemilu 2019 akan mencapai puncaknya pada 22 Mei mendatang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) direncanakan akan mengumumkan secara resmi siapa calon presiden dan wakil presiden terpilih pada tanggal tersebut.
KPU memberi waktu tiga hari, yakni 23 Mei hingga 25 Mei kepada pihak-pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika dalam tiga hari itu tidak ada gugatan, KPU akan mengesahkan capres-cawapres terpilih.
Baca Juga
Semakin dekatnya hari-H pengumuman, suhu politik kian meningkat. Aksi massa yang tak puas dengan hasil pemenang pilpres membayangi. Kondisi ini diperkeruh dengan potensi adanya penghasut dan penyusup di aksi 22 Mei 2019.
Advertisement
Potensi penghasut dan penyusup memanfaatkan pengumuman KPU dilontarkan langsung oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko. Dia mengatakan, ada upaya sistematis dari kelompok tertentu untuk berbuat anarkis dengan memanfaatkan gerakan 22 Mei.
"Ini harus dipahami betul oleh semua pihak. Rencana ini bukan main-main, sungguhan. Ada sekelompok tertentu yang ingin memanfaatkan situasi," ucap Moeldoko, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Tak hanya itu, kata Moeldoko, pihak intelijen berhasil menangkap kelompok yang menyeludupkan senjata untuk mengacaukan situasi pada 22 Mei.
"Intelijen kita sudah menangkap adanya upaya menyelundupkan senjata. Kita tangkap, ada senjata. Orangnya ini sedang diproses," kata Moeldoko.
Penyeludupan senjata itu sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mengacaukan aksi 22 Mei. Caranya, dengan menembak ke kerumunan sehingga seolah-olah tembakan tersebut berasal dari TNI-Polri.
"Itu menjadi trigger berawalnya sebuah kondisi chaos," jelasnya.
Mantan Panglima TNI itu pun meminta masyarakat tidak bergerak ke Jakarta. Sebab, hal itu bisa dimanfaatkan kelompok tertentu untuk hal-hal negatif.
"Ngapain jauh-jauh dari luar kota ke Jakarta, tahu-tahu menghadapi sebuah musibah," kata Moeldoko.
Lantas, seperti apa pengamanan pada 22 Mei?
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menegaskan, pihaknya telah siap dengan segala kemungkinan pada 22 Mei nanti. Dia optimistis, saat KPU mengumumkan hasil Pemilu dan Pilpres 2019, situasi akan tetap aman dan kondusif.
"Sudah kita siapkan semuanya. Sejauh ini, unjuk rasa penyampaian pendapat di muka umum dalam isu pemilu, tidak mempercayai KPU, (dugaan) pemilu curang, dan lain-lain masih dalam taraf aman, relatif aman," ujar Dedi Prasetyo (20/5/2019).
Dia yakin, masyarakat yang aksi 22 Mei nanti akan mematuhi dan menghormati hukum. Polri, kata dia, akan menggunakan berbagai upaya persuasif secara maksimal.
"Prinsipnya kami persuasif maksimal. Tapi kalau ada siapa pun, kelompok mana pun, yang melakukan upaya-upaya melanggar hukum, anarkis, tentunya kami ada mekanisme di lapangan," ujarnya.
Dedi mengatakan, seluruh aparat keamanan telah diinstruksikan tidak boleh membawa senjata api dan peluru tajam saat mengamankan aksi pada 22 Mei 2019. Apabila ditemukan demonstran yang membawa senjata api dan peluru tajam, menurut dia, patut diduga akan melakukan serangan terorisme.
"Apabila nanti 22 Mei ada yang menggunakan peluru tajam maka patut diduga bahwa itu adalah serangan terorisme karena aparat keamanan tidak boleh, ini sudah perintah dari pimpinan," kata Dedi.
Selain itu, Dedi menyebutkan Polri bersama TNI telah mempersiapkan tim anti-anarkis untuk menghadapi kemungkinan adanya anarkisme saat penetapan hasil pemilu.
Dedi menambahkan, lebih dari 34 ribu personel gabungan TNI-Polri diturunkan untuk mengamankan objek-objek vital nasional di DKI Jakarta saat penetapan hasil pemilu pada 22 Mei. Fokus utama sistem pengamanan saat penetapan hasil Pemilu 2019 adalah Gedung KPU dan Bawaslu.
Pengamanan yang akan diterapkan di KPU adalah sistem empat ring, yakni ring satu di dalam Gedung KPU, ring dua di sekitar Gedung KPU, ring tiga area parkir kendaraan, dan ring empat di jalan depan Gedung KPU.
Terkait kemungkinan munculnya penumpang gelap dalam aksi 22 Mei nanti, Dedi menyatakan, Densus 88 sampai hari terus melakukan tindakan preemptive untuk memitigasi serangan terorisme.
"Bisa dilihat dari fakta yang ada, bahwa pelaku sudah dekat dengan kita. Di Bekasi, hari ini juga penegakan hukum di Jakarta. Tidak menutup kemungkinan mereka ini bergabung dengan aksi massa, kan sulit mendeteksi kalau jumlah yang sangat besar," jelasnya.
Itu sebabnya, pihaknya mengimbau setiap korlip yang menggerakkan massa bertanggung jawab dengan massanya.
"Jangan semuanya lepas tanggung jawab, Polri minta harus bertanggungjawab terhadap massanya. Kalau tidak dikenal, tidak boleh ikut, harus dilarang, takutnya nanti jadi 'martir' dan disusupi pelaku terorisme," pungkasnya.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi juga memastikan pihaknya telah menyiapkan antisipasi terburuk pada 22 Mei nanti.
"Kami telah persiapkan. Permintaan dari Polri minta diterjunkan 12 ribu personel. Maka kami terjunkan 12 ribu personel. Tapi kami juga siagakan 20 ribu personel," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (20/5/2019).
Bersama Polri, Sisriadi mengaku sudah sudah memperkirakan kerawanan-kerawanan yang mungkin terjadi saat KPU mengumumkan hasil penghitungan Pilpres 2019.
"Semuanya dianalisis dan disampaikan kemungkinan yang terburuk," tegasnya.
Soal kemungkinan adanya penyusup ikut bermain di aksi 22 Mei nanti, Sisriadi tidak bisa mengungkap. "Belum bisa kami buka, itu untuk internal saja," ujarnya.
TNI, kata dia, sudah punyai rules of engagement dalam hal keterlibatan pengamanan pemilu 2019. "Yang jelas kita mempersiapkan pasukan. Kita antisipasi yang terburuk," tambah dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
TKN Pantau di Posko, BPN Tampung di Seknas
Pengumuman hasil pemilu 2019 pada 22 Mei nanti mendapat perhatian dari masing-masing tim sukses capres-cawapres. Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Usman Kasong menyatakan sejauh ini pihaknya belum ada rencana mengerahkan massa untuk menyambut pengumuman KPU tersebut.
"Kita ikuti apa yang dianjurkan polisi. Kalau pun ada massa dari kita yang turun, tidak akan ke KPU tapi mungkin ke posko," jelasnya, Senin (20/5/2019).
Pihaknya berencana mendirikan semacam posko untuk memantau pergerakan politik pada 22 Mei nanti. "Semacam kayak dulu di Djakarta Theater gitu. Nanti kita pantau dari situ," ucapnya.
Tim Jokowi-Ma'ruf menilai, pengerahan massa saat 22 Mei tidak perlu. Selain berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan, juga rawan disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Kita percayakan saja semua kepada KPU. Aparat keamanan akan menjamin keamanan pengumuman hasil rekapitulasi suara besok," ujarnya.
Hal senada disampaikankan Sekretaris TKN Hasto Kristiyanto. Hasto memastikan tidak ada pengerahan massa saat KPU mengumumkan hasil pilpres.
"Massa riil itu ya rakyat sendiri, itulah kekuatan penopang kekuasaan yang sejati. Puncak rekapitulasi nasional harus jadi instrumen peningkatan peradaban demokrasi Indonesia," ujarnya, Senin (20/5/2019).
Hasto yang juga Sekjen PDIP ini menambahkan, masyarakat telah menunjukkan kedaulatan rakyat berjalan baik dengan ramai-ramai datang ke TPS pada 17 April lalu. Partisipasi pemilih yang mencapai 80 persen lebih, menjadi basis legalitas dan legitimasi tertinggi Jokowi- Ma'ruf Amin.
"Mereka yang mau bertindak inkonstitusional akan berhadapan dengan hukum negara dan kekuatan rakyat itu sendiri," tukasnya.
Sementara itu, Ketua Sekretariat Nasional (Seknas) Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Muhammad Taufik menyatakan, pihaknya tidak pernah memobilisasi massa untuk datang ke Jakarta saat 22 Mei.
Jika ada yang datang ke ibu kota Jakarta, Taufik memastikan itu adalah rakyat yang bergerak sendiri.
"Itu rakyat yang ingin pemilu jangan sampai curang. Ini rakyat yang bergerak, bukan kita lagi," ujar Taufik, Senin (20/5/2019).
Taufik menyatakan, gerakan yang muncul jelang pengumuman pemilu adalah gerakan kedaulatan rakyat. Pihaknya tidak bisa melarang mereka, termasuk ketika ketika mereka bergerak ke Jakarta dan berkumpul di Seknas sebelum melakukan aksinya di KPU.
"Mereka tahu kantor Seknas dengan KPU tidak jauh, ya semua kita terima. Orang tidak ngapa-ngapain juga," jelasnya.
Cawapres Sandiaga Uno mewanti-wanti masyarakat yang ikut aksi pada 22 Mei 2019 tetap berada di koridor hukum.
"Semuanya dalam koridor hukum, taat konstitusi. Aparat jangan terlalu berlebihan karena ini masyarakat yang cinta damai. Mereka semua ingin mengutarakan ekspresi dilindungi undang-undang juga," kata Sandiaga, Senin (20/5/2019).
Dia mengimbau masyarakat tidak bertindak anarkis dan bisa menciptakan suasana damai.
"Untuk para pendemo pastikan kegiatan ini damai, tidak anarkis, provokatif, tidak mengintimidasi. Tapi sampaikan apa yang disuarakan masyarakat yaitu pemilu yang jurdil," tambah dia.
Advertisement
Waspadai Kelompok Siluman
Pengamat intelijen dan terorisme Harist Abu Ulya optimitis, situasi Jakarta dan sekitarnya akan tetap kondusif dan damai saat pengumuman pilpres pada 22 Mei nanti. Format aksi massa yang hanya berkumpul dan berbuka puasa bersama, menjadi indikasi aksi 22 Mei tidak akan berujung pada kericuhan.
"Di samping itu, kita lihat yang terlibat kan orang-orang kelas menengah, baik sisi ekonomi dan cara berpikirnya, jadi tidak mudah untuk diprovokasi di luar format aksi damai," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (20/5/2019).
Harist menyatakan, justru yang perlu diwaspadai saat ini adalah kelompok-kelompok yang ingin mengadu domba antara aparat keamanan dengan massa aksi yang turun pada 22 Mei.
"Bukan terorisme, tapi kekuatan ketiga yang ingin mengadu kekuatan aparat dengan pendemo. Kekuatan ketiga ini siluman, bisa jadi pembisik aparat di lapangan untuk represif. Atau bisa juga menyusup ke keduanya," ujarnya.
Dia menambahkan, kelompok siluman ini bisa saja adalah pihak asing yang bisa mengadu domba atau kelompok oportunistis yang bisa bayar orang-orang tertentu. "Yang jelas mereka ini yang berduit," ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dari CSIS Arya Fernandes meyakini, akan terjadi perubahan narasi dari people power menjadi gerakan 'kedaulatan rakyat' pada 22 Mei nanti.
Menurut Arya, dari sisi legitimasi, aksi 22 Mei memiliki kelemahan karena beberapa hal. Pertama, sikap NU dan Muhammadiyah yang melarang anggotanya dalam ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Kedua, di internal koalisi BPN Prabowo-Sandi yang juga lemah. Hal ini terlihat dari sikap PAN yang mengakui kemenangan pasangan calon 01 Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Indikasinya, ketika Zulhas ketemu Ma'ruf Amin. Juga perubahan sikap Partai Demokrat yang mengindikasikan bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf," kata dia.
Yang ketiga, sambung Arya, potensi kelemahan lainnya adalah gagalnya BPN menunjukkan bukti kecurangan terstruktur sistematis dan masif (TSM) saat Bawaslu menolak gugatan yang diajukan BPN -- yang buktinya berupa potongan sejumlah pemberitaan media online.
"Tiga hal itulah yang akan membuat gerakan 22 Mei akan melemah," ujarnya.
Arya enggan menanggapi soal kemungkinan penghasut dan penyusup akan ikut bermain di aksi tersebut.
"Itu saya tidak tahu, di luar kompetensi saya. Mungkin bisa ke pengamat intelijen. Tapi secara politis terjadi penurunan pelemahan dari tiga alasan tadi," pungkasnya.