HEADLINE: Isu Pembubaran Koalisi, Strategi Demokrat Hengkang dari Kubu Prabowo?

Parpol memiliki otonomi untuk menentukan sikap politik usai pilpres. Namun, apa maksud Demokrat mewacanakan pembubaran koalisi?

oleh Raden Trimutia HattaPutu Merta Surya PutraRita Ayuningtyas diperbarui 11 Jun 2019, 00:01 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2019, 00:01 WIB
Prabowo Temui SBY Bahas Strategi Kampanye Pilpres 2019
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (tengah) saat menerima kedatangan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (tiga kanan) di kediamannya di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Jumat (21/12). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana pembubaran koalisi digulirkan elite Demokrat usai Pilpres 2019 berakhir.  Tidak ada motif politik di balik usulan tersebut, itu dalih sang pencetus, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Rachlan Nashidik.

Menurut Rachlan, usulan pembubaran Koalisi Indonesia Kerja maupun Koalisi Adil Makmur bertujuan untuk meredakan tensi politik pasca-hasil pilpres diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Pria berkaca mata itu khawatir, polarisasi antara pendukung Jokowi dan Prabowo di kalangan akar rumput kian tajam. Jika ini terjadi, dia memprediksi, konflik sosial dapat muncul.

Rachlan juga menilai, pembubaran koalisi bisa membuat hubungan antara elite politik mencair. Terlebih, lanjut dia, selama ini para elite belum memunculkan gagasan yang berarti untuk menghilangkan masalah di masyarakat.

"Tapi para pimpinan koalisi perlu segera datang dengan gagasan yang lebih baik untuk mengembalikan kedamaian dan menghentikan permusuhan di dalam masyarakat," ucap Rachlan dalam keterangan tertulisnya, Senin 10 Juni 2019.

Namun, tak semua sepakat bahwa pembubaran koalisi adalah jalan keluar. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Sri Budi Eko Wardani menyangsikan alasan tersebut. Menurut dia, tensi politik di Tanah Air dapat turun ketika kedua calon presiden, Joko Widodo atau Jokowi dan Prabowo bertemu.

"Tensi politik meredam kalau kedua capres bertemu, yang kalah mengucapkan selamat kepada yang menang, dan yang menang komitmen menjalankan visi misi dan siap menerima kritik atau masukan. Itu fatsun demokrasi," ujar Sri Budi kepada Liputan6.com, Senin 10 Juni 2019.

Pengamat politik M Qodari juga menilai, konflik politik tidak akan selesai dengan cara pembubaran koalisi. Direktur Eksekutif Indo Barometer itu mengatakan, masalah utama terkait tensi politik di Tanah Air bukan di koalisi pendukung Jokowi maupun Prabowo.

"Enggak. Menurut saya enggak selesai. Yang ribut sekarang di luar koalisi, yang aktor-aktor nonparpol," kata Qodari ketika dihubungi Liputan6.com, Senin 10 Juni 2019.

Menurut dia, pembubaran koalisi hanya sarana yang diciptakan elite Demokrat untuk keluar dari Koalisi Indonesia Adil Makmur. Demokrat sendiri, lanjut dia, tak ingin dicap pragmatis jika langsung keluar dari koalisi.

"Kalau saya sederhananya gini saja, ini cara exit-nya Partai Demokrat untuk keluar dari koalisi. Alasannya menurunkan tensi, ini cara pamit Demokrat dan bebas dari ikatan dari 02. Entah mau ke 01 atau jalan sendiri," tutur Qodari.

Kubu Prabowo maupun Jokowi juga mengaku tidak percaya dengan alasan yang dikemukakan Rachlan soal pembubaran koalisi.

Wasekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay bahkan sempat menduga, Partai Demokrat sudah mendapatkan tawaran politik yang lebih baik. 

"Itu pendapat sepihak Partai Demokrat. Mungkin Demokrat melihat bahwa mereka sudah tidak lagi bagian dari koalisi. Atau mungkin mereka mau keluar karena ada tawaran yang lebih baik," kata Saleh beberapa waktu lalu.

Menurut dia, selama ini para elite Demokrat sering menyampaikan pendapat dengan nada-nada seperti itu. Saleh yakin, pasti ada sesuatu hal yang ingin dicapai oleh partai berlambang mercy tersebut.

"Nada-nada seperti ini kelihatannya banyak disampaikan oleh para pengurus Demokrat. Tentu ada target dan sasaran yang mau dicapai," ungkap dia.

Meski begitu, PAN tidak ingin ikut campur pada urusan internal Partai Demokrat. Sebab, kata dia, tidak ada paksaan untuk tetap bergabung di Koalisi Adil Makmur.

"PAN tidak bisa mencampuri sikap politik partai lain. Kami menghargai semua pilihan yang ada," ucapnya.

Infografis Polemik Usulan Pembubaran Koalisi Pilpres 2019
Infografis Polemik Usulan Pembubaran Koalisi Pilpres 2019. (Liputan6.com/Triyasni)

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani pun menilai sikap Demokrat ini aneh. Wacana pembubaran koalisi itu, menurut dia, tidak logis.

"Dengan usulannya itu, PD (Partai Demokrat) mengirim pesan ganjil kepada partai-partai KIK. Di satu sisi, ada keinginan untuk masuk ke KIK tapi malah minta KIK-nya juga dibubarkan. Ini tentu menimbulkan tanda tanya bagi kami di KIK," kata Arsul, Jakarta, Senin 10 Juni 2019.

Dia kemudian menyinggung posisi Demokrat yang masih di luar koalisi. Dia khawatir, ketika Demokrat masuk ke KIK, justru akan menciptakan kekikukan dalam berkomunikasi antar-anggota koalisi.

"PD masih di luar saja kemauannya aneh-aneh, tidak berusaha menciptakan common understanding terhadap kami yang sudah di dalam. Lah, jangan-jangan nanti kalau di dalam juga aneh komunikasi publiknya dengan sesama anggota KIK," ungkap Arsul.

Wakil Ketua TKN Abdul Kadir Karding juga menilai, ide membubarkan koalisi sangat tidak masuk akal, karena sebuah pemerintahan harus didukung partai politik dan dikontrol pihak oposisi sehingga pemerintah berjalan efektif dan efisien.

"Jadi kalau kemudian isunya digeser bahwa koalisi bisa membahayakan persatuan, itu cara berpikir yang salah dan keliru," kata Karding di Jakarta.

Dia menilai permasalahannya bukan pada koalisi, namun bagaimana membangun tradisi di kalangan para politikus, pemimpin, institusi dan masyarakat, agar dalam tiap kompetisi politik dibarengi dengan sikap siap menang dan siap kalah.

"Karena sikap kalah dan siap menang pada prinsipnya adalah hakikat demokrasi," ucap Karding.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tak Ada Koalisi yang Permanen

Bersama Tokoh Koalisi Indonesia Adil Makmur, Capres Prabowo Sapa Pendukung di Bogor
Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto saat berorasi di depan pendukungnya di area Stadion Pakansari, Kab Bogor, Jumat (29/3). Kampanye terbuka itu dihadiri sejumlah tokoh partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Sri Budi Eko Wardani mengatakan, sebenarnya, tidak ada aturan dalam sistem politik di Tanah Air terkait koalisi. Selama ini, Indonesia menganut sistem presidensial yang pada dasarnya tidak mengenal istilah koalisi permanen.

"Sistem presidensial pada dasarnya tidak dikenal istilah koalisi permanen. Apalagi dalam konteks Indonesia kan koalisi politik yang diatur adalah koalisi untuk pencalonan presiden. Kontraknya ya sama KPU saat daftar pilpres harus tandatangan kesepakatan koalisi dan tidak boleh mundur sampai selesai pemilu karena ada sanksi," kata Sri Budi.

Menurut dia, setiap partai memiliki hak untuk menentukan sikap politiknya ketika pilpres sudah selesai. Terlebih, KPU sudah mengumumkan hasil penghitungan suara nasional.

Lalu mengapa Demokrat seperti mengulur waktu untuk tegas menyatakan dan sepakat tetap berada di koalisi atau mundur? 

Dia menilai, ada kemungkinan Demokrat sedang menimbang-nimbang posisi mana yang akan menguntungkannya.

"Barangkali menunggu hasil sidang MK, sehingga sudah final. Saat ini Demokrat seperti sedang memainkan peran partai 'tengah' sambil melihat peluang gabung dengan koalisi pemenang," ujar Sri Budi.

Apalagi, menurut dia, Demokrat sedang berada di posisi sulit.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai, Demokrat tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan wacana pembubaran koalisi tercetus.

Pertama, Demokrat sadar Prabowo kalah. Kedua, selama ini Demokrat dan Gerindra tidak sepenuhnya sama pemikiran. Misal soal penentuan calon wakil presiden.

"Dari awal memang kawinnya kawin kontrak. Bukan kawin permanen. Itupun setengah hati. ya koalisi setengah hati lah saya sebut. Ketiga, cara berpikir Demokrat memang beda dengan Gerindra. Bagi Demokrat koalisi kemenangan berakhir ketika KPU mengumumkan hasil. Gerindra belum selesai, masih menunggu MK," tutur Qodari.

Selain itu, tradisi yang dibangun Demokrat memang berbeda. Ini terlihat saat Pilkada DKI Jakarta. AHY langsung mengakui kekalahannya sebelum real count KPU diumumkan. 

Oleh karena itu, lanjut dia, koalisi sudah tidak ada pengaruh apapun bagi Demokrat jika berlanjut. 

Namun, sikap ini bukan tidak diperhitungkan. Dia yakin Demokrat punya kalkulasi sendiri.

Salah satunya, terkait dengan perolehan suara partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono. "Jangka panjangnya, Demokrat merasa dua kali pilpres, dua kali pemilu, suara turun. Dari 2014-2019 saja lah, suaranya turun ketika di luar pemerintahan. Barang kali dia berpikir, enggak turun lagi kalau masuk pemerintahan," Qodari menjelaskan.

Sementara, ada tujuan jangka pendek yang juga diduga menjadi kalkulasi Demokrat. Yakni, untuk masa depan tokoh-tokoh mudanya, terutama AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). 

"Dia butuh panggung. Kalau sekarang dia kan mayor. Kalau orang kenal AHY, ah mantan mayor. Beda kalau jadi menteri kan. Oh, dia sudah pernah menteri. Jadi selain untuk kredibilitas juga pengalaman pemerintahan," lanjut Qodari.

Pengamat politik UIN Adi Prayitno mengatakan, ribut-ribut pembubaran koalisi ini justru menguntung Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Meskipun, koalisi kubu Jokowi tidak setuju dengan pembubaran KIK.

"Tentu saja yang untung dari kisruh Demokat dengan 02 adalah pihak 01. Untungnya banyak, salah satunya mulai berkurangnya partai pengusung 02 yang keras menantang 01, bahkan kemungkinan besar Demokrat ke 01," kata Adi yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu kepada Liputan6.com.

Masukan untuk Demokrat

Kampanye Demokrat di Palembang
Kampanye Demokrat di Palembang (Ajeng Resti/Liputan6.com)

Adi Prayitno menyarankan agar Demokrat memperbaiki sikap untuk menata babak barunya. Pertama, Demokrat harus menarik diri jika memang sudah tidak betah berada dalam Koalisi Adil Makmur.

"Kalau Demokrat memang sudah tak betah di koalisi 01 sebaiknya menarik diri tanpa harus dikeluarkan. Ini jauh lebih bermartabat dari sekedar selalu mengkritik dari dalam," kata dia.

Kedua, lanjut dia, untuk menghindari tuduhan Demokrat memburu kekuasaan dan rela meninggalkan 01, sebaiknya sementara ini Demokrat kembali ke khittahnya sebagai partai penyeimbang.

"Tak ke 01 dan tak ke 02. ini sebagai upaya menetralisasi kecurigaan bahwa Demokrat haus kekuasaan. Ketiga, jikapun ada kehendak ingin merapat ke 02, Demokrat juga tak perlu GR (gede rasa) bisa diterima di 02. Karena sejauh ini belum ada keputusan resmi apapun dari koalisi 02. Jadi mesti hati-hati juga menentukan langkah ke depan," saran Adi.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani pun sepakat, Demokrat harus menata gaya komunikasinya. Demokrat, kata dia, harus tegas dalam mengambil sikap.

"Kalau memang terbersit keinginan masuk KIK untuk mengawal pemerintahan Jokowi-Kiai Ma'ruf Amin. Kecuali memang PD sebenarnya tidak, maunya jadi penyeimbang saja ke depan seperti posisinya sekarang," kata Arsul.

Lalu, apa pentingnya bagi Koalisi Adil Makmur tetap mempertahankan Demokrat?

Pengamat politik M Qodari menjelaskan, ada dua hal terkait hal ini. Pertama terkait soliditas politik. Hal tersebut jika menilik tujuan jangka pendeknya.

"Kedua kalau jangka panjang ya mempertahankan persepsi bahwa sebetulnya mereka menang tapi kalah karena dicurangi," kata Adi.

Sementara, Sekjen Demokrat, Hinca Pandjaitan sendiri menegaskan, pihaknya bersama partai politik koalisi pendukung Paslon 02 akan menuntaskan perjuangan di MK. Dia menyebut Demokrat masih setia di jalur yang dipilih.

"Itulah esensinya berkoalisi dan PD setia berada di jalur itu," ujar Hinca, Senin 10 Juni 2019.

Dia pun meminta kepada seluruh pihak untuk menyikapi masalah ini dengan santai. 

"Santai sajalah kita berpolitik itu, dan selalu saya sampaikan dengan perumpamaan di sepakbola, karena sepakbola dan politik mempunyai karakter yang sama, fairness, respect, justice and glory (kegembiraan)," kata Hinca.

Wacana pembubaran koalisi berawal dari cuitan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Rachlan Nashidik. Dia menyarankan Prabowo Subianto segera membubarkan Koalisi Indonesia Adil Makmur. Dia menilai parpol koalisi tak memiliki peran dalam sengketa hasil penghitungan suara Pilpres 2019 yang tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pak @prabowo, Pemilu sudah usai. Gugatan ke MK adalah gugatan pasangan Capres. Tak melibatkan peran Partai. Saya usul, Anda segera bubarkan Koalisi dalam pertemuan resmi yang terakhir," kata Rachlan dalam akun Twitter resminya, Minggu 9 Juni 2019.

Menurut Rachlan sebagai pimpinan, Prabowo harus membubarkan koalisi dengan cara yang baik. Tentunya dengan cara yang sama baiknya saat awal permintaan koalisi dimulai.

"Andalah pemimpin koalisi, yang mengajak bergabung. Datang tampak muka, pulang tampak punggung," ungkapnya.

Rachlan juga meminta Koalisi Indonesia Kerja (KIK) pendukung Jokowi-Ma'ruf segera membubarkan diri. Sebab, dia menilai memelihara koalisi sama saja seperti mempertahankan permusuhan di masyarakat.

"Anjuran yang sama, bubarkan Koalisi, juga saya sampaikan pada Pak @jokowi. Mempertahankan koalisi berarti mempertahankan perkubuan di akar rumput," tulis dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya