HEADLINE: Ganjil Genap Diperluas, Efektif Lawan Polusi dan Macet Jakarta?

Konon, pembatasan kendaraan di ruas jalan yang baru itu dapat meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan di Ibu Kota. Benarkah?

oleh RinaldoIka DefiantiYopi Makdori diperbarui 08 Agu 2019, 00:09 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2019, 00:09 WIB
Ganjil Genap Sudah Diberlakukan di Jakarta
Kendaraan melintas di bawah papan informasi sistem ganjil genap di Jalan S Parman, Jakarta, Rabu (1/8). Pemprov DKI hari ini resmi memberlakukan sistem ganjil genap dengan memberikan sanksi tilang bagi pengendara yang melanggar. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemilik kendaraan, khususnya roda empat, makin tak leluasa melintas di jalanan Jakarta. Bila sebelumnya ada sembilan ruas jalan yang dikenai kebijakan ganjil genap, kini bertambah menjadi 25 ruas jalan. Sebanyak 16 ruas jalan yang baru itu berada di seluruh wilayah Jakarta, kecuali Jakarta Utara.

Meski ramai diprotes, Pemprov DKI menegaskan bahwa pemilihan ruas jalan dengan pembatasan kendaraan itu tidak diputuskan secara acak. Berdasarkan evaluasi sistem ganjil genap pada semester sebelumnya, konon pembatasan kendaraan di ruas jalan yang baru itu dapat meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan di Ibu Kota.

"Kualitas udara pada koridor-koridor yang ditetapkan ganjil genap itu meningkat," kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Lupito, menyebutkan alasan pemilihan ruas jalan itu di Balai Kota Jakarta, Rabu (7/8/2019).

Namun, keterangan Syafrin masih diragukan peneliti pada Divisi Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadillah. Dia tak menampik kalau kendaraan bermotor merupakan salah satu penyumbang polusi udara utama. Kendati demikian, sebelum memastikan itu signifikan atau tidak, harus ada inventarisasi dulu.

"Pemprov DKI Jakarta kan bilang kendaraan bermotor berkontribusi terhadap polusi sebanyak 75 atau 78 persen kan. Tapi, Data Komite Penghapusan Bensin Bertimbal bilang sebenarnya untuk pencemaran PM2,5 (partikel debu yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron) kendaraan bermotor itu berkontribusi hanya sebanyak 46 persen. Jadi ada kesimpangsiuran," jelas Fajri kepada Liputan6.com, Rabu (7/8/2019).

Karena itu, lanjut dia, Pemprov DKI harus menginventarisasi emisi menurut parameter sumber pencemaran. Dengan cara ini akan diketahui sebaran persentase pencemaran dari kendaraan bermotor, pabrik, serta sumber-sumber lain.

"Secara logika sederhana, ganjil genap akan mengurangi polusi udara karena kendaraaan yang lewat akan berkurang. Cuma kita juga perlu melihat apakah di jalan-jalan itu jumlah kendaraan bermotor yang melintas benar berkurang? Karena pengendara bisa mengakalinya dengan punya kendaraan bermotor lebih dari satu," ujar Fajri.

 

Infografis Perluasan Ganjil Genap (Liputan6.com/Triyasni)

Menurut dia, pemberlakuan sistem ganjil genap untuk mengurangi polusi udara hanya salah satu opsi dari sekian banyak opsi lain, seperti mengintervensi dari bahan bakar serta dari spesifik kendaraan bermotornya.

"Kalau dari bahan bakar yang sulfur contamination-nya rendah tentu harus diprioritaskan. Terus dari spesifik kendaraan bermotornya, tentu kendaraan bermotor yang sudah menggunakan bahan bakar yang emisinya rendah itu harus disentuh juga," jelas Fajri.

Semua langkah itu, lanjut dia, bisa berjalan pararel sebagai inventarisasi emisi dan basis bukti utuk kebijakan berikutnya. Sambil berjalan, Pemprov DKI juga bisa memperketat sumber pencemaran itu beroperasi.

"Diperketat itu maksudnya diperketat standar atau ambang batas atau baku mutunya. Kalau untuk sumber yang bergerak, perketat saja sumber baku mutunya," tegas Fajri.

Di sisi lain, dia tak melihat adanya upaya dari Pemrov DKI untuk mengurangi pencemaran udara dari sumber selain kendaraan bermotor. Kalaupun ada pernyataan Pemprov DKI yang mengatakan tengah mengendalikan sumber pencemaran yang tidak bergerak, menurutnya belum ada bukti.

"Mereka mengatakan, sudah mengawasi sumber pencemaran seperti cerobong-cerobong asap tersebut. Kan kegiatan mengawasi itu belum bisa dikatakan mengendalikan kalau cuma dilihat saja. Itu bukan mengendalikan," beber Fajri.

Dia mencontohkan pembangkit listrik di Jakarta Utara serta kegiatan industri besi dan baja di Jakarta Timur. Kedua contoh tersebut ditengarai juga menyumbang pencemaran atau polusi di Ibu Kota.

"Selain itu juga sumber pencemar udara dari pembakaran sampah yang umum terjadi di beberapa tempat. Padahal, itu kan dilarang dalam peraturan daerah DKI Jakarta," pungkas Fajri.

Lantas, bagaimana dengan dampak pemberlakuan sistem ganjil genap terhadap terurainya kemacetan yang sudah akut di Ibu Kota.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kuantitas Sudah, Integrasi Belum

Ganjil Genap Untuk Atasi Polusi Jakarta
Suasana lalu lintas kendaraan di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Gubernur Anies Baswedan menyampaikan sistem pembatasan kendaraan berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap menjadi salah satu rencana Pemprov DKI mengatasi polusi udara di Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanan

Para pemilik sepeda motor bolehlah berlega hati. Berbeda dari kabar yang beredar, Pemprov DKI memutuskan untuk tidak memasukkan kendaraan roda dua ini dalam skema perluasan ganjil genap yang akan efektif berlaku pada 9 September 2019.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan alasan sepeda motor tidak terkena imbas perluasan kawasan ganjil genap. Menurutnya, sepeda motor tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kinerja lalu lintas.

Syafrin mengatakan, pihaknya telah melakukan analisa mendalam terhadap keberadaan sepeda motor. Dia akui kendaraan roda dua ini memang cukup tinggi pada kawasan yang diberlakukan kebijakan ganjil genap.

"Tapi setelah kita lakukan anilisis mendalam bahwa pola pergerakan kendaraan bermotor pada koridor gage tadi tidak berpengaruh besar terhadap peningkatan kinerja lalu lintas," kata Syafrin.

Namun, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, mengatakan, harusnya kendaraan roda dua juga diikutkan dalam penerapan ganjil genap. Menurut dia, peraturan tentang jalan itu terlalu terlalu banyak memiliki pengecualian.

"Pengecualian itu harusnya hanya untuk Presiden dan kendaraaan yang sifatnya emergency seperti ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Selain itu harusnya tidak ada, baik motor maupun pejabat yang boleh lewat. Harusnya sama, harus diberlakukan semua, jangan banyak pengecualaian," tutur Ellen kepada Liputan6.com, Rabu (7/8/2019).

Dia beralasan, Pemprov DKI harusnya percaya diri bahwa limpahan warga yang terkena ganjil genap itu akan bisa diakomodasi oleh transportasi umum. Apalagi di jalan protokol Ibu Kota, dia melihat dukungan transportasi umum sudah mencukupi.

"Memang masih belum sempurna karena integrasi angkutan umum itu belum terlalu baik. Misalnya saja di Fatmawati, orang turun dari stasiun MRT juga belum tentu bisa mendapatkan angkutan umum lanjutan. Yang seperti itu harus diperbaiki. Tapi, jumlah angkutan umum saat ini sudah lebih banyak dari sebelumnya, sudah layak juga (kendaraan pribadi) dibatasi," tutur Ellen.

Dia mengakui, dari perluasan ruas jalan yang dikenai sistem ganjil genap, memperlihatkan bahwa tujuan Pemprov DKI tak lain untuk mengurai kemacetan. Lebih spesifik lagi untuk mengurangi emisi gas buang yang membuat udara di Jakarta menjadi buruk.

"Tapi, efektif atau tidaknya harus diukur ketika diberlakukan ganjil genap itu, lebih baik atau tidak kualitas udara di Jakarta?" tanya Ellen.

Demikian pula, dia tidak melihat langkah efektif dari Pemprov DKI Jakarta yang membedakan antara kendaraan roda empat dan roda dua yang tak masuk dalam skema ganjil genap.

"Padahal, polusi itu keluar dari semua kenalpot, termasuk sepeda motor yang jumlahnya lebih banyak dari kendaraan roda empat," jelas Ellen.

Dimulai Ahok, Diperluas Anies

Ganjil Genap Untuk Atasi Polusi Jakarta
Kendaraan melintas di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Gubernur Anies Baswedan menyampaikan sistem pembatasan kendaraan berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap menjadi salah satu rencana Pemprov DKI Jakarta mengatasi polusi udara di Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Peraturan ganjil genap di jalanan Jakarta berawal dari pemikiran Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang melihat kebijakan 3 in 1 (three-in-one) sudah tak efisien lagi mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Pada pertengahan 2016, Ahok menghapus pemberlakuan Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 tertanggal 23 Desember 2003 yang menjadi dasar hukum kebijakan 3 in 1.

Mantan Bupati Belitung Timur itu kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap yang ditandatangani Ahok pada 23 Agustus 2016. Menurut Ahok, sistem ganjil genap ini akan efektif memberantas joki serta mengurai kemacetan saat jam sibuk.

Ada sembilan pasal dalam Pergub ini, yang antara lain mengatur tentang ruas jalan yang terkena sistem ganjil genap. Di antaranya Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, dan sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto, mulai dari Gerbang Pemuda sampai dengan persimpangan Jalan H.R. Rasuna Said.

Sementara Pasal 2 mengatur tentang pola sistem ganjil genap yang harus dijalankan. Sederhananya, kendaraan bermotor beroda empat dengan pelat nomor ganjil tidak boleh melintas di ruas jalan tersebut pada tanggal genap. Sebaliknya, kendaraan dengan pelat nomor genap dilarang melintas pada tanggal ganjil.

Kemudian, Pasal 3 menjelaskan waktu pemberlakuan sistem ganjil genap yaitu setiap Senin sampai Jumat pukul 07.00 WIB sampai 10.00 WIB dan 16.00 WIB sampai 20.00 WIB. Sistem ganjil genap tidak berlaku pada hari Sabtu, Minggu, dan libur nasional.

Sedangkan di pasal berikutnya ada empat ayat. Intinya membahas mengenai kendaraan yang tidak terkena sistem ganjil genap, di antaranya kendaraan pimpinan lembaga negara, kendaraan bank dan sebagainya.

Meski kepemimpinan di DKI Jakarta telah berganti dari Basuki Tjahaja Purnama ke Anies Baswedan, sistem ganjil genap masih diberlakukan. Bahkan, Anies mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 77 Tahun 2018 tentang pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap selama penyelenggaraan Asian Games 2018.

Usai Asian Games, pada 31 Agustus 2018, Anies kembali mengeluarkan Pergub Nomor 92 Tahun 2018 tentang pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap menjelang dan selama penyelenggaraan Asian Para Games 2018. Isi Pergub tersebut kurang lebih mirip seperti peraturan terdahulu.

Merasa mendapat banyak keuntungan dari sistem ganjil genap, Anies pun memperpanjang pembatasan lalu lintas dengan cara ini. Pada 12 Oktober 2018, Anies kembali mengeluarkan Pergub Nomor 106 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap.

Belakangan, Anies berkeinginan untuk memperluas kawasan ganjil genap untuk kendaraan bermotor, khususnya roda empat di Jakarta. Jika sebelumnya bertujuan untuk mengurai kemacetan, kali ini ganjil genap punya misi mengurangi polusi udara di Ibu Kota.

Hal ini sesuai dengan Instruksi Gubernur Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 entang Pengendalian Kualitas Udara yang yang ditandatangani pada 1 Agustus 2019. Sepekan kemudian, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Lupito langsung merilis perluasan penerapan sistem ganjil genap di Jakarta.

Ada 16 kawasan atau ruas jalan baru yang menambahkan 9 ruas jalan yang sudah lebih dulu dikenai penerapan sistem ganjil genap. Ruas jalan itu adalah:

01. Jalan Pintu Besar Selatan

02. Jalan Gajah Mada

03. Jalan Hayam Wuru

04. Jalan Majapahit

05. Jalan Sisingamangaraja

06. Jalan Panglima Polim

07. Jalan RS Fatmawati

08. Jalan Suryopranoto

09. Jalan Balikpapan

10. Jalan Kyai Caringin

11. Jalan Tomang Raya

12. Jalan Pramuka

13. Jalan Salemba Raya

14. Jalan Kramat Raya

15. Jalan Senen Raya

16. Jalan Gunung Sahari

Selain itu, durasi pemberlakuan ganjil genap juga diperpanjang yang kini berlaku pada pukul 06.00-10.00 WIB dan 16.00-21.00 WIB.

Kebijakan ini akan dilakukan uji coba mulai 12 Agustus hingga 6 September 2019. Sementara pemberlakuannya efektif dimulai pada 9 September 2019.

Yang masih ditunggu, apakah kebijakan ini bisa mengurangi kemacetan serta polusi yang selama ini mengepung Jakarta?

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya