Komisi VI DPR: Selamatkan Garuda, Pemegang Saham Harus Tambah Modal

Deddy mendorong para pemegang saham menginjeksi modal untuk mempertahankan agar modal (equitas) Garuda Indonesia bertahan lama

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mei 2020, 18:24 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2020, 15:19 WIB
Garuda Perbolehkan Ambil Video dan Foto di Pesawat
Pesawat Garuda Indonesia terparkir di Terminal 3 bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (24/7/2019). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, memprediksi PT Garuda Indonesia Tbk akan mengalami bangkrut secara teknis bahkan sebelum kuartal empat (Q4) 2020.

Menurut Deddy, penyebabnya bukan hanya negatif cashflow, namun juga ancaman modal yang tergerus menjadi negatif. Prediksi semakin menguat bila tidak ada pertolongan dari pemegang saham.

Deddy menambahkan, perkiraannya itu juga merujuk apa yang disampaikan oleh IATA melalui Conrad Clifford, Regional Vice President kepada Kemenhub, bahwa proyeksi revenue 2020-2023 industri Airline akan turun hingga 41 persen dari kondisi sebelum Covid-19.

Dalam laporan keuangan tahun 2019, kata Deddy, equitas perusahaan 720 juta dolar AS dengan revenue 4.5 miliar dolar AS. Diasumsikan karena pandemi Covid-19, lanjut dia, revenue perusahaan turun 50 persen menjadi 2.25 miliar dolar AS, dan cost diproyeksikan turun menjadi 3.6 miliar dolar AS.

"Maka perusahaan akan mengalami kerugian sekitar 1 miliar dolar AS, sehingga otomatis equitas akan tergerus menjadi minus 200 juta dolar AS,” kata Deddy, dalam pernyataan tertulis, Selasa (26/5/2020).

Wakil rakyat dari dapil Kalimantan Utara itu menuturkan, kecukupan modal Garuda Indonesia bermasalah akibat pandemi Covid-19.

Dalam kondisi kritis seperti ini, Deddy mendorong para pemegang saham menginjeksi modal untuk mempertahankan agar modal (equitas) Garuda Indonesia bertahan lama. Kewajiban pemerintah, kata Deddy, selaku pemegang 60.5 persen saham Garuda, dan CT Group selaku pemegang saham publik 30.5 persen, harus menginjeksi modal pada Garuda Indonesia.

"Kebutuhan equitas Garuda ini  jangan disiasati dengan pendekatan ‘utang baru’ agar pemegang saham minoritas tidak terdelusi. Tidak elok Maskapai nasional yang sudah sekarat ini malah disuruh cari utang baru yang menambah beban bunga di kemudian hari,” sambungnya.

Pada masa pandemi ini, ungkap Deddy, hampir semua perusahaan penerbangan mengalami turbulensi. Atas kondisi yang tidak biasa itu, hampir semua pemerintah menginjeksi modal untuk mempertahankan perusahaan penerbangannya.

Di antaranya adalah Air France dan Qantas yang di-bail out pemerintahnya. Bahkan pemerintah Singapura menambah equitas SQ senilai 9.8 miliar dolar Singapura.

“Kok Garuda yang jauh lebih sekarat malah disuruh cari utang komersial baru? Jika memang kehadiran Negara sebagai pemegang saham Berniat membantu senilai Rp 8.5 triliun, ya langsung saja suntikan modal (equitas), kenapa harus direkayasa mendapatkan utang komersial baru" ungkap Deddy. 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Pemerintah Diminta Fokus

Deddy mengajak pemerintah fokus memperhatikan langkah penyelamatan Garuda Indonesia. Dia khawatir kondisi Garuda Indonesia semakin parah jika langkah yang diambil hanyalah untuk menyelamatkan interest pemegang saham minoritas.

Menurut Deddy, pemerintah juga harus menghitung dampak jika kondisi Garuda memburuk. Pasalnya terdapat 45.000 pekerja di Garuda Indonesia Group (baik tetap maupun PKWT), dan ada lebih dari 600.000 pekerja di ekosistem perusahaan penerbangan serta industri pariwisata.

"Bila Pemerintah salah langkah pastinya akan menyebabkan pemiskinan sistemik pelaku industri pada sektor ini. Khususnya menjaga peran pemerintah di transportasi udara yang sangat krusial dalam menjaga kedaulatan Negara,” kata Deddy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya