Tantangan Penyediaan Air Irigasi dan Mobilitas Sumber Daya Pertanian

Dalam beberapa bulan ke depan ada ancaman bencana kekeringan. Produksi pangan harus terjaga. Stok pangan nasional harus tetap terjamin.

oleh Gilar Ramdhani pada 06 Jun 2020, 10:00 WIB
Diperbarui 05 Jun 2020, 23:19 WIB
Kekeringan Jadi Tantangan Penyediaan Air Irigaasi dan Mobilitas Sumber Daya Pertanian
Musim kemarau segera datang.

Liputan6.com, Jakarta Menghadapi musim kemarau dan ancaman bencana kekeringan yang mungkin terjadi di bulan-bulan ke depan, Imam Mustofa, Ketua Bidang Pengairan DPN HKTI dan Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional mengungkapkan bahwa sedikitnya ada dua hal yang perlu disiapkan. Pertama penyediaan air irigasi dan kedua adalah mobilisasi sumber daya pertanian, termasuk petaninya.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, FAO telah mengingatkan akan potensi krisis pangan dunia. Pandemi global virus corona telah membuat situasi tidak menentu. Negara-negara eksportir beras terganggu produksinya.

"Mereka menahan stok residual untuk memperkuat cadangan dalam negerinya sendiri. Jika ketidakpastian berkepanjangan, impor tidak bisa jadi andalan bagi suplesi ketahanan pangan. Selain harganya akan mahal, belum tentu juga ada yang mau jual. Tidak ada pilihan lain, siapkan antisipasi kekeringan agar produksi stok pangan terjaga," kata Imam Mustofa mengulangi pesan Presiden Joko Widodo di rapat kabinet terbatas awal Mei 2020 lalu.

Titik Krusial

Imam Mustofa memaparkan secara makro, neraca air tahunan Indonesia sangat berlimpah. Menurut Water Environment Partnership in Asia (WEPA), Indonesia merupakan salah satu negara terkaya yang menyimpan 6% potensi air dunia, urutan nomor 5 terbesar. Kementerian PUPR menyebut volumenya mencapai 3.900 miliar meter kubik per tahun. Sayang sekali, dari jumlah itu bahkan hanya sekitar 690 miliar meter kubik atau 18 persen saja yang termanfaatkan. Selebihnya berlalu percuma.

Problem temporal terjadi saat hari tanpa hujan atau kemarau berlangsung lebih panjang dan lebih kering dari biasanya. Hal itu biasa disebut sebagai kekeringan meteorologis (meteorogical drought). Dampak pertamanya berupa kekeringan hidrologis (hydrological drought), yakni  terjadinya kelangkaan air pada sistem hidrologis. Wujudnya tampak pada aliran sungai yang di bawah normal, sangat kecil atau bahkan kerontang  sama sekali, serta menurunnya permukaan air danau, embung, waduk dan air tanah.

Produksi pangan dan pertanian pada umumnya mutlak membutuhkan suplai air irigasi. Dalam kondisi tanpa hujan, sumbernya adalah sistem hidrologis. Jika sistem hidrologis mengalami kekeringan, dan dampaknya menyentuh sektor pertanian serta merembet pada dampak-dampak ekonomi turunannya, kondisi agricultural drought atau agronomical drought alias kekeringan pertanian atau kekeringan sosial ekonomi pertanian pun terjadi.

"Kekeringan pertanian itulah yang diingatkan oleh Presiden Jokowi agar diantisipasi dengan serius, dicegah jangan sampai terjadi. Dampaknya tentu bisa berentet lebih panjang  ke masalah-masalah ekonomi secara umum, kesejahteraan rakyat, bahkan politik dan keamanan. Jika terlanjur terjadi, penyelesaiannya bisa jauh lebih lama daripada musim kemarau itu sendiri," jelas Imam Mustofa

Dari uraian di atas, Imam Mustofa mengungkapkan bahwa titik krusialnya adalah pada kekeringan hidrologis. Keandalan sistem hidrologi adalah benteng pertahanan dalam menghadapi kemarau panjang untuk mencegah terjadinya kekeringan agrikultur/agronomis. Dalam perspektif pengelolaan sumber daya air, hal ini menyangkut perkara penyediaan.

"Tantangannya adalah bagaimana air tetap ada di tampungan-tampungan baik yang alamiah (danau, situ) maupun buatan (waduk, embung) dan cukup untuk memenuhi kebutuhan," ujarnya.

Ketersediaan Air

Ketersediaan Air
Ketersediaan Air

Sejauh ini, kemampuan penyediaan inilah yang masih menjadi masalah. Pada penghujung tahun lalu, Ditjen SDA Kementerian PUPR, dengan bangga mengklaim keberhasilannya dalam mewujudkan visi ketahanan air dengan menunjukkan prestasi-prestasi pembangunan infrastruktur yang sudah dan sedang diselesaikan. Seperti diberitakan dalam media online pada 23 Desember 2019 lalu. 

Dikatakan Dirjen Hari Suprayogi, dari target pemerintah membangun 65 bendungan selama periode  2015-2020, sampai akhir tahun lalu sudah 61 dilaksanakan. Bahkan 16 di antaranya sudah selesai, sedangkan 45 lainnya masih digiatkan. Selesainya 16 bendungan baru  diakui menambah tampungan air sejumlah 1,5 miliar meter kubik, sehingga dari total seluruh waduk yang ada, tampungan mendekati angka 14 miliar meter kubik air. Ketika semua bendungan selesai pada 2024, jumlah volume tampungan air (buatan) di seluruh Indonesia diproyeksikan mencapai 16,18 miliar meter kubik, yang tersebar di 279 bendungan.

Sebagai laporan kinerja, secara administratif angka-angka tersebut mungkin punya makna. Walaupun begitu, dalam rangka menjawab tantangan kebutuhan, ukuran keberhasilannya adalah sejauh mana bendungan-bendungan itu mendukung sektor pertanian, khususnya tanaman pangan di musim kemarau, secara nyata karena memang itulah outcome yang diinginkan dan dijanjikan.

Dalam konteks menjawab tantangan produksi pangan, prestasi pembangunan infrastruktur irigasi baik waduk maupun jaringan distribusinya tidak cukup hanya disajikan dalam tabel statistik. Ini Baru “berbunyi” jika disandingkan dengan data outcome yang spesifik: peta, lokasi, kapasitas, kinerja, pengaruhnya terhadap indeks pertanaman dalam lingkup ruang dan waktu yang jelas dan terukur. Lingkup ruang dan waktu yang jelas dan kuantitas yang terukur sangatlah penting untuk pemetaan dan perencanaan sehingga suatu program atau kegiatan-kegiatan khusus dapat difokuskan. Tentu kita paham, bahwa tidak mungkin kegiatan pertanian di musim kering dipaksakan dilaksanakan di semua tempat. Jika dipaksakan di tempat yang salah justru berpotensi menjadi kerugian akibat gagal panen. 

Jika mengacu pada data yang dirilis Ditjen SDA, saat ini, total luas layanan irigasi di Indonesia adalah 7,1 juta hektar (sebagai perbandingan, Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Pertanian Januari 2020 ini merilis hasil penghitungan dan validasi ulang  bahwa luas lahan sawah bertambah 358 ribu dari sebelumnya 7,105  juta menjadi 7,46 juta hektar). Dari luasan tersebut, sekitar 6,3 juta hektar (88,7 persen) ternyata diairi dari non waduk, dan hanya 762 ribu hektar (11,3 persen) yang berasal dari waduk. Angka terakhir dikatakan meningkat menjadi 880 ribu hektar atau 12,4 persen dengan bertambahnya waduk yang baru saja selesai. 

Prospek

 

Mobilisasi Sumber daya pertanian
Mobilisasi Sumber daya pertanian

Logisnya, lanjut Imam Mustofa, hanya lahan seluas 880 ribu hektar itulah yang potensial untuk ditanami di selang masa kering. Tentu saja dengan catatan bahwa tampungan waduk dan jaringan infrastruktur irigasinya berkinerja baik.

Dengan asumsi produktivitas 7 ton per hektar, kalkulasi prospektifnya dapat dihasilkan tidak kurang dari 6 juta ton gabah kering panen (GKP) atau 5,44 juta gabah kering giling (GKG) yang setara 3,48 juta ton beras. Jika proses tanam dimulai awal bulan depan (Juni) setelah lebaran, paling lambat pada bulan Oktober hasilnya sudah menjadi 3,48 juta ton beras.

Angka tersebut sangat signifikan dalam memperkecil risiko defisit pangan. Dalam diskusi daring yang juga dihadiri Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan 14 Mei lalu, Guru Besar Unila/Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) Bustanil Arifin memprediksikan Indonesia mungkin mengalami defisit beras mulai November dan perlu  melakukan impor sebanyak 1,5-2 juta ton beras. Jika potensi 3,48 juta ton hasil tanam kemarau ini terealisasi, prediksi sang profesor diharapkan tidak terwujud.

Secara lebih optimistik dapat dikatakan, angka potensial tersebut bahkan bisa lebih besar lagi dengan mengidentifikasi potensi irigasi yang bersumber dari tanah. Sawah-sawah yang tidak terjangkau layanan air dari tampungan masih mungkin untuk mendapatkan irigasi di daerah yang dibawahnya terdapat cekungan air tanah (CAT) yang potensial. Tentu hal ini harus dilakukan dengan perhitungan cermat dan pengendalian yang teliti, baik secara ekonomis (menyangkut biaya) dan juga ekologis (terkait dampaknya bagi kelestarian SDA dan lingkungan).

Mobilisasi Sumber Daya Pertanian

Air saja tentu tidak bisa menumbuhkan padi. Selain ketersediaan air (dan lahan), secara simultan harus pula tersedia bahan-bahan input sarana produksi  pertanian. Benih, pupuk, dan obat-obatan niscaya dibutuhkan. "Pengadaan secara “5 tepat” harus dapat terselenggara, yakni tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu, tepat tempat dan tepat harga," kata Imam Mustofa.

Menjamin “5 tepat” memerlukan konsolidasi yang menjadi tantangan tersendiri. Jika dalam keadaan normal saja masih sering terjadi masalah, terutama pupuk subsidi, dalam keadaan khusus tentu diperlukan komitmen istimewa dalam hal pengadaan dan distribusinya. Banyak pihak yang harus digalang dan dimobilisasi untuk keberhasilannya. Mulai dari industri pupuk, benih maupun obat-obatan. Jaringan distribusi dan pengawasannya harus dijaga agar tidak bocor hingga merepotkan dan merugikan petani.

Bagian terpenting dari subjek yang perlu dimobilisasi adalah petani itu sendiri. Memang belum pernah ada sejarah petani mogok, tetapi dalam suasana kegamangan akibat ancaman Covid 19, petani harus didorong untuk tetap bersedia bekerja di sawah demi menjamin kecukupan pangan negaranya. Para petinggi pengambil kebijakan mungkin dapat berkreasi untuk merancang sebentuk apresiasi khusus bagi petani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya