Kisah Sugiman dan Rumah Bekas Kandang Sapinya di Tengah Pandemi Corona

Hidup di bekas kandang sapi tanpa penghasilan tetap, Sugiman mencoba bertahan hidup bersama istri Ika (32) dan tiga anaknya di tengah pandemi Corona. Berikut kisahnya.

diperbarui 11 Jun 2020, 16:26 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2020, 16:26 WIB
Dampak COVID-19, Angka Kemiskinan dan Pengangguran Bakal Meningkat
Suasana pemukiman padat penduduk di kawasan bantaran kali Ciliwung, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap proyeksi pemerintah terhadap angka kemiskinan naik dari 9,15 persen menjadi 9,59 persen akibat pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Salatiga - Hidup di bekas kandang sapi tanpa penghasilan tetap, Sugiman mencoba bertahan hidup bersama istri Ika (32) dan tiga anaknya di tengah pandemi Corona.

Penghasilan pria 57 tahun itu semakin merosot di banding sebelum wabah menyerang Tanah Air. Malah, sering kali dia tak mendapat penghasilan. 

Saat ini, keluarganya bergantung pada penghasilan sang istri sebagai pembantu rumah tangga sebesar Rp 300.000 per bulan.

Ironinya, Sugiman mengaku tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Terlebih pada masa pandemi Corona ini. 

"Padahal, sekarang penghasilan menurun. Jarang sekali dapat order sejak pandemi corona," tutur Sugiman yang tinggal di tengah perkebunan kayu sengon di RT 001/RW 005, Gedongan, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, seperti dilansir dari Solopos, Kamis (11/6/2020).

Dia mengaku pernah menanyakan kepada perangkat desa alasannya tidak menerima bantuan pemerintah. Pemerintah desa berdalih Sugiman dan keluarga miskin di Salatiga itu tidak memiliki kartu keluarga sesuai tempat tinggal di gubuk bekas kandang sapi itu.

"Jadi enggak dapat. Termasuk bantuan untuk warga yang terdampak corona, saya juga enggak dapat," jelas Sugiman.

Kehidupan Sugiman dan keluarga makin sulit di tengah pandemi Corona lantaran 'istananya' itu jauh dari sumber air. Terlebih, saat ini, BMKG menyebut sebagian wilayah di Tanah Air sudah memasuki musim kemarau.

"Yang paling susah di sini itu air karena harus mengambil dengan jalan kaki sekitar 300 meter. Itu sebenarnya tandon warga Nanggulan untuk menyirami tanaman, tapi kami ambil buat keperluan sehari-hari," terang Sugiman.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lahan Milik Orang

Gubuk semipermanen Sugiman berukuran 6x3 meter dan berada di tengah perkebunan pohon sengon. Sudah 6 tahun ini mereka tinggal di sana dengan seizin pemilik lahan bernama Sukirman.

"Saya juga ditugasi menjaga kebun milik Pak Sukirman. Di sini sudah enam tahun," ujar pria yang akrab disapa Giman itu.

Sebelum tinggal di gubuk itu, Giman tinggal di RT 008/RW 003 Gedongan. Namun karena ada masalah keluarga, rumahnya dijual hingga dia pindah ke daerah Noborejo.

Tak lama kemudian, dia kembali ke Gedongan dan menempati bekas kandang sapi yang berada di lahan milik Sukirman.

Saat pertama ditempati, kata dia, tempat tinggalnya tidak berdinding. Perlahan, dia meminta material kepada beberapa tetangga dan mengais di tempat pembuangan.

Saat ini, tempat tinggalnya sudah memiliki tembok setinggi 50 sentimeter dan dindingnya dari anyaman bambu. Gubuk berukuran 3x6 meter terbagi atas dua sekat, satu untuk dapur dan amben, dan ruang dalam untuk tidur lima orang.

"Awalnya di sini enggak ada penerangan. Kami lalu memasang listrik. Tapi dicabut, hingga permanen saat ini. Setelah ada bantuan dari pak Sukirman," ujar Giman.

Dia menuturkan, awal tinggal di gubuk tersebut, sering ada ular masuk. Namun, lama kelamaan, kehidupan mereka tidak lagi diganggu binatang melata tersebut.

 

Saksikan berita Solopos lainnya di sini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya