Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menjelaskan alasan Perludem melakukan gugatan uji materi, karena perhitungan ambang batas dinilai tidak berdasarkan basis perhitungan yang transparan, terbuka dan sesuai prinsip pemilu proporsional.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
"Dalam praktik selama ini, penentuan angka ambang batas parlemen dalam undang-undang pemilu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan, terbuka, dan sesuai dengan prinsip pemilu proporsional," katanya pada keterangannya kepada wartawan, Jumat (26/6/2020).
Advertisement
Menurutnya, uji materi dilakukan untuk menjaga proporsionalitas (keberimbangan) hasil pemilu legislatif yang menjadi tujuan utama diajukannya uji materi mengenai ketentuan ambang batas parlemen di undang-undang pemilu.
Titi mengatakan, Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional di pemilu legislatif, sudah sepatutnya proporsionalitas harus terpenuhi secara baik. Terlebih lagi Pasal 22E UUD NKRI 1945 secara tegas sudah menyebutkan Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Walaupun, Titi mengungkapkan, penerapan ambang batas sudah dilakukan sejak 2009 sampai 2019 dengan besaran yang berbeda-beda. Seperti Pemilu 2009 besaran ambang batas parlemen adalah 2,5 persen kemudian 3,5 persen di Pemilu 2014, dan 4 persen pada Pemilu 2019.
"Membuat setiap partai politik yang ingin mendapatkan kursi DPR harus memperoleh suara sah nasional sebesar persentase ambang batas parlemen yang berlaku," katanya.
Sedangkan, bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi dan suaranya terbuang begitu saja (wasted vote).
Namun, dia menjelaskan, keberadaan ambang batas parlemen dalam praktiknya sedikit banyak mengganggu prinsip adil. Utamanya keadilan dalam konversi suara ke kursi bagi partai politik selaku peserta pemilu dan juga bagi pemilih yang memberikan suaranya.
"Dengan diajukannya uji materi ketentuan ambang batas parlemen ini ke Mahkamah Konstitusi harapannya dapat semakin mempertegas dan menjaga proporsionalitas pemilu di Indonesia ke depan," kata dia.
Bantah Tidak Setuju Ambang Batas
Kendati demikian, dia menerangkan, uji materi yang dilakukan Perludem terhadap ambang batas parlemen. Sehingga bukan berarti Perludem tidak setuju pada penerapan ambang batas parlemen.
Melainkan, Titi menyoroti, terkait besaran ambang batas yang basis penentuannya, mengabaikan prinsip pemilu proporsional dan tiap pemilu cenderung mengalami peningkatan tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.
"Sehingga dalam penentuan besaran ambang batas parlemen diperlukan metode penghitungan yang jelas dan mengedepankan proporsionalitas pemilu," ujarnya.
Lebih jauh, dia menerangkan penentuan ambang batas seharusnya bisa memakai rumusan Tageepara (2002) dengan metode perhitungan besaran ambang batas efektif atau (effective threshold) untuk dijadikan rujukan penentuan ambang batas parlemen.
Diketahui metode Tageepara melibatkan tiga variabel utama diantarnya: 1. rata-rata besaran alokasi kursi per-daerah pemilihan (district magnitude), 2. jumlah daerah pemilihan, dan 3. jumlah kursi parlemen.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka.com
Advertisement