Selain Ancaman Covid-19, Masyarakat Juga Diminta Waspadai TBC di Tengah Pandemi

Dokter Wiendra Waworuntu mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi negara ketiga terbesar dengan kasus TBC di dunia setelah India dan China.

oleh Yopi Makdori diperbarui 07 Jul 2020, 19:17 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2020, 19:17 WIB
BNPB
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Dokter Wiendra Waworuntu. (dok BNPB)

Liputan6.com, Jakarta - Tuberculosis (TBC) atau yang sering dikenal dengan TB merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh kuman mycobacterius tuberculosis. TBC menjadi sangat dikenal di Indonesia dengan kasus penyebaran yang sangat tinggi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Dokter Wiendra Waworuntu mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi negara ketiga terbesar dengan kasus TBC di dunia setelah India dan China.

"Kita (Indonesia) ranking tiga di dunia. Ada India, China, kemudian Indonesia," ungkap Wiendra dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Selasa (7/7/2020).

Menurut data Kemenkes, estimasi kasus TBC di Indonesia mencapai 845.000 jiwa dan yang telah ditemukan sekitar 69 persen atau sekitar 540.000 jiwa. Angka kematian penyakit TBC juga cukup tinggi, yaitu ada 13 orang per jam yang meninggal karena TBC.

Kasus yang belum ditemukan juga memiliki potensi penularan yang sangat tinggi, sama seperti COVID-19. Walaupun sama-sama berbahaya dan menular melalui droplet serta saluran pernapasan, Wiendra menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara TBC dengan COVID-19, mulai dari gejala hingga cara penanganannya.

"Penularannya (TBC dan COVID-19) sama-sama droplet. Namun perbedaannya adalah pada diagnosisnya. Kalau COVID-19 dari virus, sedangkan TBC dari kuman atau bakteri," ujarnya.

Selanjutnya pada gejala, Wiendra menjelaskan gejala TBC antara lain onset atau serangan kronik lebih dari 14 hari dengan gejala demam kurang dari 38 derajat celcius disertai batuk berdahak, bercak darah, sesak nafas memberat bertahap, berat badan turun dan berkeringat di malam hari. Sedangkan gejala COVID-19 antara lain dengan gejala onset akut kurang dari 14 hari disertai demam lebih dari 38 derajat celcius dengan batuk kering, sesak napas muncul segera setelah onset, nyeri sendi, pilek, nyeri kepala, gangguan penciuman atau pengecapan.

Proses diagnosis TBC dan COVID-19 juga memiliki kesamaan dengan menggunakan metode Tes Cepat Molekuler (TCM) dan Polymerase Chain Reaction atau PCR. Namun, kata Wiendra perbedaannya ada pada pengambilan sampel. Untuk diagnosis COVID-19 harus melalui swab, sedangkan TBC cukup dengan dahak saja.

Selain itu, perbedaan besar antara COVID-19 dengan TBC adalah COVID-19 belum ada obat yang dapat menyembuhkan, sedangkan TBC sudah ditemukan obatnya dan dapat diakses secara gratis.

"COVID-19 belum punya obat, sedangkan TBC sudah ada obatnya, dengan catatan harus dikonsumsi dengan baik dan patuh," pungkasnya.

Walaupun memiliki obat dalam membantu penyembuhan, masih banyak masyarakat yang menyepelekan penyakit TBC karena dianggap merupakan penyakit lama sehingga kurang memperhatikan kedisiplinan pada proses penyembuhan melalui konsumsi obat yang telah tersedia, sehingga para penderita TB menjadi resisten atau obatnya sudah tidak mempan lagi dengan penyakit TBC tersebut.

"Ketika sudah mengonsumsi, lalu stop, lalu nanti minum lagi. Jadi sembuhnya tidak betul-betul sembuh sempurna. Padahal obat TB harus dikonsumsi dalam waktu yang cukup panjang yaitu enam bulan. Namun pada bulan pertama dan kedua merasa sudah sembuh, padahal belum sembuh. Hal ini yang menjadi resisten dan masalah yang masih menjadi tantangan kita," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jangan Takut Periksa

Wiendra juga menambahkan bahwa orang yang menderita TBC bukan menjadi penyakit bawaan yang mudah terjangkit COVID-19. Kata dia menurut data hanya 19 orang penderita TBC yang terkena COVID-19. Pada data yang tersedia, justru penyakit tidak menular atau PTM menjadi penyakit bawaan yang mudah terjangkit COVID-19.

"Walaupun TBC ada dalam 10 besar penyakit bawaan yang rawan terkena COVID-19, namun TBC bukan nomor satu," tambahnya.

Pengendalian penyakit TBC selama pandemi COVID-19 turut mengalami beberapa hambatan, terlebih karena kekhawatiran pasien TBC serta pihak rumah sakit dalam melakukan pemeriksaan.

"Pasiennya (pasien TBC) tidak bisa ke layanan kesehatan karena takut, kemudian fasilitas kesehatan juga sekarang takut memeriksa pasien TBC, terlebih pada COVID-19. Namun dengan sebagian besar rumah sakit rujukan COVID-19 yang memiliki pemeriksaan laboratorium dengan TCM, cukup membantu terhadap pelayanan pasien TBC," jelas Wiendra.

Selanjutnya, Wiendra mengimbau kepada masyarakat penderita TBC untuk tetap selalu berobat ke pelayanan kesehatan yang ada dan mengonsumsi obat hingga sembuh total sehingga penularannya tidak semakin meningkat.

"Pelayanan TBC tidak bisa berhenti, kalau butuh ke layanan protokol kesehatan tetap dijalani. Jangan putus obat dan pastikan bahwa obat itu didapatkan oleh pasien," tegas Wiendra.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya