Liputan6.com, Jakarta - Penantian panjang pemerintah untuk menangkap pembobol kas BNI Maria Pauline Lumowa akhirnya berbuah manis. Setelah 17 tahun buron, ditangkap di Serbia dan dibawa pulang ke Tanah Air.
Penangkapan Maria Lumowa berhasil dilakukan atas hubungan kerja sama yang baik antara Pemerintah Serbia dan Indonesia. Pembobol BNI senilai Rp Rp 1,7 triliun ini ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bersama sejumlah delegasi Indonesia menjemput langsung Maria Pauline Lumowa ke negara sahabat tersebut.
Advertisement
"Indonesia dan Serbia memang belum saling terikat perjanjian ekstradisi. Namun, lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan," kata Yasonna, Kamis (9/7/2020).
Hal ini dibenarkan oleh Pemerintah Serbia. Berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara, maka penangkapan Maria Lumowa berhasil dilakukan.Â
Sempat terjadi 'gangguan' saat proses ekstradisi akan dilakukan. Namun, Pemerintah Serbia kembali menegaskan komitmennya untuk mengekstradisi Maria Pauline Lumowa ke Indonesia.
"Sempat ada upaya hukum dari Maria Paulina Lumowa untuk melepaskan diri dari proses ekstradisi, juga ada upaya dari salah satu negara Eropa untuk mencegah ekstradisi terwujud," ujar Yasonna.
Berikut ini sederet fakta soal Maria Pauline Lumowa setelah menjadi buronan selama 17 tahun:Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dijemput Menkumham
Menteri Yasonna Laoly dan delegasi yang dipimpinnya sukses menyelesaikan proses ekstradisi terhadap buronan pelaku pembobolan Bank BNI, Maria Lumowa dari Serbia.
"Dengan gembira saya menyampaikan bahwa kami telah secara resmi menyelesaikan proses handing over atau penyerahan buronan atas nama Maria Pauline Lumowa dari pemerintah Serbia," kata Yasonna dalam keterangan pers kepada wartawan, Kamis (9/7/2020).
Yasonna menyebut, keberhasilan proses ekstradisi tak lepas dari diplomasi hukum dan hubungan baik kedua negara. Selain itu, proses ekstradisi ini juga menjadi buah manis komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum yang berjalan panjang.Â
"Indonesia dan Serbia memang belum saling terikat perjanjian ekstradisi, namun lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan," kata Yasonna.
Menteri kelahiran Sorkam, Tapanuli Tengah, ini juga menyebut ekstradisi Maria Pauline Lumowa tak lepas pula dari asas resiprositas atau timbal balik.
Sebelumnya, Indonesia sempat mengabulkan permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada 2015.
Advertisement
Jadi WN Belanda
Maria sempat menjadi buronan selama kurang lebih 17 tahun. Maria melarikan diri pada September 2003 ke Singapura sebulan sebelum dijerat sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut, pada 2009 terendus keberadaannya di Belanda. Maria juga sering bolak-balik Belanda-Singapura.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Namun, permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.
Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003.
Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham.
"Dengan selesainya proses ekstradisi ini, berarti berakhir pula perjalanan panjang 17 tahun upaya pengejaran terhadap buronan bernama Maria Pauline Lumowa. Ekstradisi ini sekaligus menunjukkan komitmen kehadiran negara dalam upaya penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia," ucap Yasonna dalam keterangan pers, Kamis (8/7/2020).
Tak Pernah Ekspor
Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.
Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.Â
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.Â
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Advertisement
Sempat Ajukan Perlawanan
Menteri Yasonna H Laoly berterima kasih kepada Pemerintah Serbia yang membantu menangkap dan menahan Maria Pauline Lumowa, buron pembobol BNI senilai Rp 1,7 triliun.
Yasonna menyebut, Maria ditangkap dan ditahan Pemerintah Serbia pada 16 Juli 2019. Menurut Yasonna, jika Maria tidak segera dibawa ke Indonesia, maka secara hukum Maria Lumowa harus dilepaskan pada 16 Juli 2020 mendatang.
"Tahun lalu ditangkap oleh Serbia, ditahan di sana, dan Serbia memberitahukan kepada Indonesia. Ini menjadi sangat penting kita kejar sekarang karena 16 Juli yang datang ini secara hukum dia harus dilepas oleh Pemerintah Serbia," ujar Yasonna seperti dalam tayangan televisi nasional, Kamis (9/7/2020).
Maka dari itu, Yasonna dan tim delegasi segera merapat ke Serbia untuk menjemput Maria Pauline Lumowa. Beruntung, Presiden Serbia Aleksander Vucic mau membantu agar Maria mempertanggungjawabkan perbuatannya dan diadili di Indonesia.
"Nah, itu sebabnya kita harus cepat-cepat ambil, karena pengacaranya terus melakukan manuver. Termasuk ada salah satu negara Eropa yang mencoba meminta kepada pemerintah Serbia supaya beliau diadili saja di Belanda. Itu sebabnya kita betul-betul berupaya keras untuk mengekstradisi. Ini di injury time," kata Yasonna.
Â
Telah Tiba di Indonesia
Pembobol uang BNI senilai Rp 1,7 triliun ini tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis (9/7/2020).Â
Pantauan Liputan6.com, sekitar pukul 11.00 WIB, Maria tiba di ruang VIP Terminal 3 Bandara Soetta. Dia tiba dengan keadaan kedua tangan diborgol, lalu mengenakan pakaian tahanan oranye, serta rambut yang ditutup dengan bandana.
Saat tiba, tersangka penggelapan pinjaman uang Rp1,7 Triliun di BNI itu, mendapat pengawalan ketat kepolisian.
Meski sejumlah wartawan menerumuninya untuk menanyakan pertanyaan, Maria bergeming tetap menundukan kepala.
Lalu dia dievakuasi ke dalam ruangan di gedung VIP tersebut. Sementara, di dalam ruangan itu, sudah ada Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly yang sudah tiba di awal.Â
Advertisement