Disebut Lamban Usut Dugaan Etik Firli, Dewas KPK: Kami Tak Mau Gegabah

Syamsuddin mengatakan, kritikan sebagai pendorong pihaknya bekerja lebih baik dalam mengawasi kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 06 Agu 2020, 14:51 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2020, 14:51 WIB
Syamsuddin Haris
Anggota Dewas Pengawas KPK Syamsuddin Haris. (Ika Defianti/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ( Dewas KPK) disebut lamban mengusut dugaan pelanggaran etik terhadap Ketua KPK Komjen Firli Bahuri. Kritik tersebut dilontarkan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris menyatakan pihaknya profesional dalam mengusut dugaan etik gaya hidup mewah Firli. Syamsuddin menyebut, belum rampungnya pengusutan dugaan etik tersebut lantaran Dewas KPK masih berhati-hati.

"Seperti pernah saya sampaikan, Dewas bekerja profesional. Kita tidak mau gegabah dan tergesa-gesa," ujar Syamsuddin saat dikonfirmasi, Kamis (6/8/2020).

Syamsuddin meminta publik bersabar atas kinerja Dewas KPK terkait dugaan etik Firli. Menurut Syamsuddin, tak mudah menyatakan seseorang melanggar kode etik atau tidak.

"Dewas tidak akan begitu saja menetapkan seseorang melanggar etik tanpa fakta, bukti, dan keterangan pendukung yang cukup. Penetapan seseorang melanggar etik atau tidak harus melalui persidangan etik. Jadi bersabarlah," kata dia.

Meski demikian, Syamsuddin menyatakan menerima kritikan dari ICW tersebut. Dia menyebut, kritikan sebagai pendorong pihaknya bekerja lebih baik dalam mengawasi kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Jika ada pihak yang menilai Dewas bekerja lamban dalam menangani laporan dugaan pelanggaran etik, ya silakan saja. Apapun kritik publik tentu harus kami terima sebagai masukan untuk perbaikan kinerja Dewas dan KPK pada umumnya ke depan," kata Syamsuddin.

Sebelumnya, ICW menilai Dewas KPK lamban memproses dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua KPK Komjen Firli Bahuri.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tindakan Firli yang menggunakan helikopter mewah dalam perjalanan dari Baturaja menuju Palembang, Sumatera Selatan jelas merupakan pelanggaran etik. Malah, menurut Kurnia, tindakan Firli itu bisa masuk ke ranah hukum pidana.

"Secara kasat mata, tindakan Firli tersebut sudah dapat dipastikan melanggar kode etik, karena menunjukkan gaya hidup hedonisme. Bahkan lebih jauh, tindakan Firli juga berpotensi melanggar hukum jika ditemukan fakta bahwa fasilitas helikopter itu diberikan oleh pihak tertentu sebagai bentuk penerimaan gratifikasi," ujar Kurnia dalam keterangannya, Kamis (6/8/2020).

"Namun Dewas sampai saat ini tidak kunjung menjatuhkan putusan terkait dugaan pelanggaran tersebut," Kurnia menambahkan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Dinilai Lambat

Ketua KPK Firli Bahuri naik helikopter
Ketua KPK Firli Bahuri diadukan ke Dewan Pengawas KPK lantaran diduga melanggar kode etik bergaya hidup mewah dengan menaiki helikopter saat bertolak dari Palembang ke Baturaja. (Dok Istimewa)

Kurnia mengatakan keberadaan Dewas KPK tidak dibutuhkan dalam lembaga antirasuah. Menurutnya, Dewas KPK tak lebih baik dari Deputi Pengawas Internal KPK.

Kurnia mengatakan, Deputi Pengawas Internal KPK sempat menjatuhkan sanksi kepada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang. Namun terkait dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri, menurut Kurnia, Dewas KPK sangat lambat.

"Melihat kinerja Dewas KPK yang tidak maksimal, maka hal ini sekaligus memperkuat fakta bahwa keberlakuan UU KPK baru tidak menciptakan situasi yang baik pada kelembagaan anti rasuah," kata dia.

Selain itu, Kurnia mengatakan, Dewas KPK juga abai melihat dugaan pelanggaran etik Firli saat memulangkan penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti ke Institusi Polri. Padahal, masa kerja Kompol Rossa di lembaga antirasuah belum berakhir.

"Tentu harusnya kejadian (terhadap Kompol Rossa) ini dapat dijadikan pemantik bagi Dewas KPK untuk memproses dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK," kata Kurnia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya