IDAI Tolak Pembukaan Sekolah di Zona Kuning dan Hijau Covid-19

Menurut Aman, zonasi Covid-19 yang ditetapkan pemerintah tidak real time. Artinya zonasi saat ini berpatokan pada temuan kasus pada satu atau dua minggu yang lalu.

oleh Yopi Makdori diperbarui 18 Agu 2020, 12:27 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2020, 11:56 WIB
FOTO: Penerapan Pembelajaran Tatap Muka Sekolah di Bandung
Siswa SD memkai pelindung wajah saat pembelajaran tatap muka di Sekolah Islam Ibnu Aqil Ibnu Sina, Soreang, Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/8/2020). Indonesia akan mengizinkan sekolah di zona hijau COVID-19 melakukan pembelajaran tatap muka di bawah protokol kesehatan yang ketat. (Xinhua/Septianjar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan tegas menolak pembukaan sekolah di zona kuning dan hijau Covid-19.

Menurut Aman, kategori zonasi yang dikeluarkan pemerintah kurang kredibel. Dia bahkan menyebut jangan mempercayai zonasi Covid-19 di Indonesia.

"Ini sangat dinamis datanya, jangan percaya zona di Indonesia," tegas Aman saat diskusi daring, Senin, 17 Agustus 2020.

Menurut Aman, zonasi Covid-19 yang ditetapkan pemerintah tidak real time. Artinya zonasi saat ini berpatokan pada temuan kasus pada satu atau dua pekan yang lalu.

Dia bahkan mengaku pernah menemukan zona yang dikatakan hijau oleh pemerintah, tapi saat dikonfirmasi kepada koleganya yang berada di wilayah tersebut ditemukan kasus Covid-19 terhadap anak.

"Semua zona-zona ini saya tidak sepakat. Pernah ada zona dikatakan hijau, saya telepon ketua IDAI-nya, gimana zona ini? Oh kita ada kasus baru anak," jelas Aman.

"Zona ini data kasus seminggu dua minggu lalu. Data kemarin kan kita tidak tahu," sambungnya.

Hal yang sama juga disuarakan oleh pakar Epidemiologi Iqbal Elyazer yang mengingatkan pemerintah soal bahaya pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19.

Iqbal menegaskan bahwa satu nyawa anak Indonesia tak lebih kurang nilainya dibanding dengan orang lain, termasuk nyawa presiden.

"Satu nyawa anak pun tidaklah kurang nilainya dari satu nilai nyawa presiden. Satu nyawa menteri pun itu sama nilainya dengan satu nyawa anak manapun di negeri ini," tegas dia.

Iqbal juga menjelaskan bahwa tugas utama pemerintah adalah melindungi segenap warganya. Sementara, tugas mencerdaskan ada setelah perlindungan ini berhasil dijamin.

"75 tahun yang lalu pemerintah Indonesia dibentuk dengan tugas melindungi segenap bangsa Indonesia, melanjutkan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Urutannya, lindungi, kesejahteraan, cerdaskan," jelasnya.

"Setiap keputusan pemerintah harus diverifikasi terhadap ketiga tujuan ini. Sekarang pertanyaannya adalah apakah keputusan membuka pengajaran tatap muka itu merupakan tindakan melindungi atau malah tindakan yang mengancam keselamatan jiwa?" sambung Iqbal.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Sistem Zonasi Dinilai Kurang Efektif

Menyangkut zonasi, Iqbal mengkritisi penzonasian yang dilihatnya kurang efektif. Dia menimbang penzonasian kasus Covid-19 saat ini masih berdasarkan jumlah temuan kasus Covid-19, yang mana tergantung jumlah dan sebaran tes masif.

"Soal zonasi hijau kita sudah ribut sejak akhir Mei untuk berhati-hati menggunakan istilah zonasi hijau, zonasi tidak terdampak. Karena sama sekali mengandalkan jumlah kasus, jumlah pemeriksaan," paparnya.

Menurut Iqbal, zonasi yang dibuat pemerintah akan kredibel hasilnya bilamana disertai jumlah telusur kasus per kabupaten/kota.

"Pemerintah tidak berani menampilkan jumlah pemeriksaan per kabupaten/kota, karena di situlah kita akan melihat keseriusan mereka untuk mencari, melacak, dan melakukan penanggulangan. Sampai detik ini kita tidak pernah melihat jumlah pemeriksaan PCR per kabupaten/kota. Oleh karena itu, kredibilitas apa pun yang berkaitan dengan zonasi sepanjang indikator itu tidak dikeluarkan, maka menjadi tidak kredibel," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya