Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua MPR RI, Dr. Sjarifuddin Hasan, MM, MBA, menyerap pendapat dan pandangan kalangan akademisi Universitas Suryakancana melalui Focus Group Discussion (FGD) terkait wacana amandemen UUD NRI Tahun 1945 khususnya soal dihidupkannya kembali Garis-Garis Haluan Negara (GBHN). Pendapat dan pandangan akademisi ini menjadi masukan dan bahan pertimbangan serta kajian bagi MPR terkait dengan haluan negara.
"Pandangan dan pendapat kalangan akademisi ini merupakan kontribusi bagi perkembangan demokrasi, pembangunan dan kesejahteraan," kata Syarief Hasan ketika membuka FGD dengan tema "Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara" di Cianjur, Jawa Barat, Rabu (26/8/2020).
FGD kerjasama MPR dan Universitas Suryakancana ini dihadiri Rektor Prof Dr Dwidja Priyatno, SH, MH, Sp.N, Jafar Hafsah (Staf Ahli Wakil Ketua MPR), Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Dr. Dedi Mulyadi, SH, MH, serta akademisi Universitas Suryakancana.
Advertisement
Syarief Hasan mengungkapkan MPR periode 2019 - 2024 mendapatkan amanah dari MPR periode sebelumnya (2014 - 2019) untuk melanjutkan kajian terhadap amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara.Â
"Untuk melakukan amandemen UUD perlu pendalaman yang komprehensif dengan melibatkan stakeholder dan masyarakat Indonesia," katanya.
Salah satu klaster yang digali, lanjut Syarief Hasan, adalah kalangan akademisi. "Karena kalangan akademisi memiliki independensi dalam memberikan pendapat dan pandangannya. Akademisi memiliki independensi demi kepentingan bangsa dan negara. Itulah sebabnya saya selalu berkomunikasi dengan perguruan tinggi," tambahnya.
Â
Siapa yang Menyusun GBHN?
Kepada peserta FGD, Syarief Hasan pun menjelaskan pandangan-pandangan tentang amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan GBHN. Ada pandangan yang mengatakan amandemen empat tahap sebelumnya (amandemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 - 2002) belum sempurna sehingga perlu dilakukan amandemen kelima khususnya terkait dengan GBHN.
"Strategi pembangunan kita, melalui UU No 25 Tahun 2004 dan UU No 17 Tahun 2007 belum mewakili kepentingan nasional. Salah satunya tidak ada sinergi dan kesinambungan pembangunan sampai tingkat provinsi dan kabupaten, karena pembangunan di daerah berdasarkan visi misi kepala daerah terpilih," jelasnya.
"Jika GBHN masuk dalam konstitusi maka akan menjadi haluan pembangunan siapa pun pemimpin atau kepala daerah," imbuhnya.
Namun, lanjut Syarief Hasan, muncul beragam masalah bila dilakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945. "Bukan tidak mungkin ada kepentingan-kepentingan lain yang masuk ketika melakukan amandemen dan tidak hanya amandemen khusus haluan negara," katanya.
Persoalan lainnya, tambah Syarief Hasan, adalah siapa yang menyusun GBHN. "Ada pandangan bila MPR yang menyusun GBHN maka MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Karena itu Presiden sebagai pelaksana GBHN maka akan mempertanggungjawabkan kepada MPR. Ini juga menjadi persoalan," katanya.
Untuk itu, Syarief Hasan meminta pendapat dan pandangan para akademisi Universitas Suryakancana melalui FGD terkait dengan persoalan itu.
"Saya apresiasi terhadap para peserta FGD di tengah pandemi Covid-19 ini ikut memberikan kontribusi berupa pandangan dan pendapat berkomitmen untuk sharing bersama. Pendapat, pandangan, dan saran akademisi ini akan dibawa ke MPR," ujarnya.
Â
(*)
Advertisement