Belajar Online Menelan Korban Jiwa

Seorang ibu tega membunuh anaknya yang masih duduk di bangku kelas 1 SD lantaran kesal sulit menerima pelajaran saat belajar online.

oleh Yandhi DeslatamaNafiysul QodarYopi Makdori diperbarui 17 Sep 2020, 00:01 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2020, 00:01 WIB
Warung Kopi Ini Sediakan Wifi Gratis untuk Anak Sekolah Agar Bisa Belajar Online
Seorang siswa sekolah dasar belajar dengan menggunakan wifi gratis yang disediakan oleh warkop Rizki, di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Rabu (29/7/2020). Warung kopi tersebut menyediakan wifi gratis dan peminjaman laptop serta handphone. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Belajar online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi virus corona Covid-19 memakan korban jiwa.

Seorang siswa SD di Kota Tangerang, Banten tewas di tangan ibu kandungnya sendiri. Pemicunya sungguh mencengangkan. Sang ibu kesal lantaran anaknya sulit menerima pelajaran saat belajar online.

Komisi X DPR melihat serius permasalahan yang ditimbulkan dari kebijakan pembelajaran jarak jauh ini. Terlebih hingga menelan korban jiwa.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengaku prihatin terhadap kejadian tersebut. Menurut dia, kasus itu menunjukkan bahwa metode pembelajaran jarak jauh banyak memberikan dampak negatif dan membutuhkan penanganan yang lebih serius dari pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.

“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Dinas Pendidikan (Disdik) di seluruh Indonesia harus benar-benar memantau pelaksanaan PJJ karena banyaknya kendala yang bisa memberikan tekanan psikis terhadap siswa, orangtua siswa, maupun para guru," kata Syaiful dalam keterangan tulis, Rabu (16/9/2020).

"Kasus pembunuhan anak oleh seorang ibu yang kesal akibat anak kesulitan mengikuti PJJ harus menjadi peringatan keras bagi kita semua,” sambungnya.

Dia menjelaskan, model pembelajaran jarak jauh memang mempunyai banyak kendala, baik dari rendahnya literasi digital di sebagian besar ekosistem pendidikan nasional, keterbatasan kuota data, belum solidnya metode PJJ, hingga tidak meratanya sinyal internet di Indonesia. 

“Berbagai kendala ini menciptakan tekanan psikologis yang lumayan besar bagi para siswa, guru, dan orangtua siswa,” katanya.

Hal tersebut, lanjut Syaiful, diperparah dengan kondisi sosial-ekonomi yang kian berat akibat dampak pandemi Covid-19. Banyaknya pemutusan hubungan kerja, pemotongan gaji, hingga hilangnya kesempatan berusaha yang dialami sebagian orangtua siswa juga membuat beban hidup kian berat.

“Maka bisa jadi berbagai tekanan tersebut menciptakan ledakan emosional jika dipicu hal-hal yang terkesan sepele, seperti anak yang tidak cepat mengerti saat melakukan pembelajaran jarak jauh,” katanya.

Politikus PKB ini berharap agar pihak sekolah memberikan pemahaman kepada para guru dan orangtua siswa terkait turunnya beban kompetensi dasar yang harus dipenuhi siswa selama proses pembelajaran jarak jauh.

Hal ini penting, sehingga guru dan orangtua siswa tidak melulu mengejar pemenuhan beban kompetensi selama masa pandemi.

“Pada praktek PJJ selama ini guru hanya memberikan beban baik berupa hafalan maupun tugas menjawab pertanyaan begitu saja kepada siswa. Kondisi ini membuat orangtua siswa kerap kali stres karena harus menyetorkan tugas tersebut baik melalui video maupun gambar kepada guru. Harusnya pola ini tidak lagi terjadi karena sudah ada modul-modul PJJ yang disediakan oleh Kemendikbud,” katanya. 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Pentingnya Komunikasi Guru dan Orangtua

Memanfaatkan Wifi Gratis untuk Belajar Jarak Jauh
Pelajar saat kegiatan pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan memanfaatkan Jak Wifi di Balai Warga RW 02 Kelurahan Galur, Jakarta, Jumat (4/9/2020). Program internet gratis dari Pemprov DKI itu untuk pelajar di permukiman padat penduduk yang kesulitan mengakses internet. (merdeka.com/Imam Buhori)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya seorang anak berusia 8 tahun yang menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri akibat kesulitan belajar online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Sang anak diketahui mendapatkan beberapa pukulan dari orangtuanya saat belajar online di rumah.

"Pembelajaran jarak jauh memang membutuhkan bimbingan dan bantuan orangtua di rumah, menjadi tugas ayah dan ibu untuk mendampingi anak belajar dari rumah. Yang utama adalah keteraturan belajar, tidak harus dituntut bisa semua mata pelajaran dan tugas untuk diselesaikan dengan benar atau sempurna," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tulis, Rabu (16/9/2020).

Menurut Retno, kesabaran orangtua membimbing anak-anaknya belajar di rumah selama pandemi Covid-19 menjadi modal utama agar anak tetap semangat dan senang belajar. Jika selalu dibentak apalagi dipukul, anak justru akan mengalami kesulitan memahami pelajaran.

"KPAI sangat prihatin atas perbuatan kedua orangtua korban yang justru membawa jenazah korban dengan kardus ke Lebak dan dimakamkan sendiri secara diam-diam di TPU Desa Cipalabuh," katanya.

Diketahui jenazah korban tidak dimakamkan secara layak dan sesuai ketentuan agama. Hal tersebut dilakukan demi menutupi kesalahan pelaku yang merupakan orangtua kandung korban.

"Dalam UU 35/2014 tentang perlindungan Anak, ada ketentuan jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban, maka pelaku bisa mendapat pemberatan hukuman sebanyak 1/3. Dalam kasus ini tuntutan hukuman maksimal 15 tahun dan jika diperberat 1/3 menjadi 20 tahun," ucapnya.

KPAI mengingatkan para orangtua dan para guru selalu membangun komunikasi yang baik selama kegiatan Belajar dari Rumah (BDR). Peran guru yang digantikan orangtua siswa haruslah dilakukan dengan memperhatikan tumbuh kembang dan kemampuan anak.

"Guru juga jangan memberikan penugasan yang terlalu berat, apalagi pada anak SD kelas 1 – 3 yang mungkin saja baru belajar membaca dan belajar memahami bacaan. Perlu dikomunikasi kondisi dan kesulitan yang dihadapi anak, karena setiap anak tidak sama," ujar Retno.

Retno juga mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak juga berkorelasi pada perkembangan regulasi emosi anak dan perilakunya yang buruk di kemudian hari.

"Sebagai contoh, anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih dan marah, dan menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali," tuturnya.

Terungkap Lewat Pemakaman Tak Wajar

Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)

Kasus pembunuhan akibat belajar online ini terungkap lewat penemuan pemakaman tak wajar di Desa Cipalabuh, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten.

Warga digegerkan dengan penemuan jenazah anak kecil berinisial KS (8) yang terkubur di TPU Gunung Keneng dengan pakaian lengkap. Ternyata korban yang masih duduk di kelas 1 SD itu meninggal usai dianiaya ibunya, LH (26).

Pelaku tega membunuh putrinya lantaran kesal sang anak sulit menerima pembelajaran saat belajar online atau daring.

"Pelaku ini memukul lebih dari lima kali, 26 Agustus. Dari pengakuan pelaku (korban) lagi (belajar) daring dengan sekolah. Kelas 1 SD korban ini," kata Kasatreskrim Polres Lebak, AKP David Adhi Kusuma, Selasa (15/09/2020).

Lantaran sulit menerima pembelajaran daring, sang ibu merasa kesal kemudian menganiaya anaknya. Awalnya hanya mencubit, kemudian memukul tubuhnya menggunakan tangan, gagang sapu, hingga mendorongnya dan kepalanya terbentur lantai.

Sang ayah, IS (27) yang datang ke kontrakannya di daerah Kreo, Tangerang, Banten mengaku kaget putrinya dalam kondisi lemas. Kemudian LH dan IS berniat membawa KS dan satu anaknya lagi jalan-jalan keluar rumah dengan niat mencari udara segar dan membawa ke rumah sakit menggunakan sepeda motor. Nahas, di perjalanan KS mengembuskan napas terakhir.

Karena panik, LH dan IS membawa jenazah putri kandungnya itu ke Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten untuk dimakamkan dengan meminjam cangkul dari warga sekitar.

"Kemudian berupaya menghilangkan jejak dengan menguburkan korban. Di mana, di TPU di Cijaku itu ada neneknya, alamatnya dari paman si ibunya ini. Setelah menguburkan jenazah di wilayah Banten, mereka pulang dan pindah kontrakan," terangnya.

Jenazah korban ditemukan warga sekitar pada Sabtu, 12 September 2020 yang curiga ada gundukan kuburan masih baru. Kemudian masyarakat bersama pihak kepolisian sekitar berinisiatif membongkar dan ditemukan jenazah KS.

Tak perlu waktu lama, para pelaku berhasil ditangkap Minggu dini hari, 13 September 2020 di rumah kontrakan barunya di daerah Jakarta. Kemudian anak pelaku lainnya yang merupakan saudara kembar dari KS dititipkan ke rumah saudaranya untuk diasuh dan dirawat.

Berdasarkan autopsi luar kepada korban, terdapat luka lebam pada kepala kanan dan tulang tengkorak yang diduga terkena hantaman benda tumpul.

Karena perbuatannya, kedua pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 80 Ayat 3, Undang-Undang (UU) No 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 338 KUHP.

"Saudara kembarnya ada di sana (saat kakaknya dianiaya ibunya). Yang adik korban ini kami titipkan dengan permintaan orangtua di kakak kandungnya dari pelaku ini. Kalau trauma belum kita periksa, nanti ada bagiannya. Saat (memakamkan kakaknya) ke Cijaku yang kembar dibawa juga, menyaksikan juga dikuburnya," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya