Tangani Demo dengan Kekerasan, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Reformasi Polri

Tindakan represif aparat yang terjadi beberapa hari lalu, menambah daftar panjang peristiwa kekerasan polisi dalam menangani demonstrasi.

oleh Yopi Makdori diperbarui 14 Okt 2020, 20:08 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2020, 20:08 WIB
Polisi Pukul Mundur Pendemo Omnibus Law
Petugas Brimob Polri menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa usai terjadi lemparan batu di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selas (13/10/2020). Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law akhirnya dibubarkan aparat. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil dari sejumlah organisasi yang menamakan diri Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis melakukan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

"(Mendesak) Presiden Republik Indonesia memerintahkan Kapolri untuk segera melakukan reformasi kepolisian secara menyeluruh yang menyentuh berbagai aspek baik kultural, struktural, dan instrumental dengan mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik," tulis siaran pers Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, Rabu (14/10/2020).

Hal ini lantaran tindakan brutal aparat kepolisian dalam penanganan aksi tolak UU Cipta Kerja di berbagai wilayah Indonesia pada 6-8 dan 13 Oktober 2020.

Brutalitas yang terbaru juga terjadi di kawasan Kwitang, Pasar Senen, Jakarta Pusat pada Selasa malam (13/10/2020), di mana anggota Polri secara serampangan menembakkan gas air mata kepada warga, padahal tidak ada ancaman yang signifikan hingga harus menggunakan kekuatan tersebut. Akibatnya warga menjadi korban.

"Keseluruhan peristiwa ini memperlihatkan kepolisian mengutamakan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force), termasuk kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian," tulis koalisi.

Tindakan represif aparat yang terjadi beberapa hari lalu, menambah daftar panjang peristiwa kekerasan polisi dalam menangani demonstrasi. Tahun lalu terjadi dalam aksi massa memprotes hasil pemilihan umum di Mei 2019, dan juga aksi damai para mahasiswa dan pelajar dalam gerakan Reformasi Dikorupsi pada September 2019.

Dalam kedua peristiwa tersebut, koalisi mencatat, ratusan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Antara lain penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindak kekerasan, hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet, peluru tajam, dan gas air mata.

Akibatnya, tindakan ini menyebabkan warga masyarakat mengalami memar, luka robek, bocor di kepala, muka bengkak, dan bahkan korban jiwa.

"Selain itu, terjadi pembatasan akses informasi sampai penghalang-halangan akses bantuan hukum. Akibat tindakan tersebut, banyak orang yang ditangkap mengalami penyiksaan, tidak manusiawi, dan perlakuan buruk lainnya," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kemunduran

Polisi Bertameng dan Kendaraan Taktis Amankan Bentrokan Massa
Pasukan Brimob menggunakan kendaraan lapis baja saat berusaha memukul mundur massa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Kepolisian mengerahkan pasukan Brimob Nusantara untuk mengamankan bentrokan saat aksi menolak UU Cipta Kerja. (merdeka.com/Iqbal S N ugroho)

Peristiwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan kepolisian terhadap aksi protes menolak UU Cipta Kerja disebut pengulangan atas pola-pola brutalitas kepolisian pada peristiwa tersebut. Ini adalah sebuah kemunduran.

"Padahal berbagai hukum yang ada, baik Undang-Undang maupun peraturan internal Polri sudah mengatur dengan tegas bahwa anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia. Bahkan saat menindak orang yang melanggar hukum, kepolisian tetap harus menghormati prinsip praduga tidak bersalah," tegas koalisi.

Koalisi tersebut terdiri dari sejumlah organisasi, yaitu KontraS, Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, Setara Institute, HRWG, Elsam, PBHI, LBH Masyarakat, Pil-Net, ICW dan LBH Pers.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya