Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini 70 tahun silam atau 4 November 1950, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil menghentikan pemberontakan yang dilakukan Rakyat Maluku Selatan (RMS). Saat itu, TNI masih bernama Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
RMS merupakan sebuah republik di Kepulauan Maluku yang diproklamasikan pada 25 April 1950. Adalah mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) Christian Robbert Steven Soumokil yang memelopori pembentukan RMS. Pembentukan RMS sendiri didukung pemerintah Belanda yang ketika itu masih ingin menjajah Indonesia.
Johanis Hermanus Manuhutu ditunjuk sebagai Presiden RMS, Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Sementara Soumokil sendiri hanya menjabat menteri bersama Gasperz, J Toule, Norimarna, Pattiradjawane, Lokollo, Pieter, A Nanlohy, Pattiradjawane, Manusama, dan Z Pesuwarissa.
Advertisement
Pada 27 April 1950, Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haag, Belanda. Pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Manuhutu sebagai Presiden RMS.
Tempo edisi 9 Juli 2007 menuliskan, pembentukan RMS bermula dari penolakan Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL asal Ambon untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tiga bulan pasca-proklamasi RMS, Soekarno-Hatta mengirim utusan untuk membujuk mereka, namun gagal. Pemerintah kemudian mengutus Dr J Leimena untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada RMS agar tetap bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah tersebut ditolak Soumokil.
Dikutip dari Mengenang Sosok Pahlawan Nasional Brigadir Jenderal TNI Anumerta Ignatius Slamet Rijadi (1926-1950), dikatakan, lantaran berbagai usaha pemerintah melalui jalur damai ditolak, maka disusunlah gerakan operasi militer dalam suatu komando yang diberi nama Komando Pasukan Maluku Selatan (Kopas Masel) untuk menumpas gerakan RMS.
Komando Pasukan Maluku Selatan dipimpin oleh Panglima Komando Tentara Teritorium Indonesia Timur Kolonel Alex E Kawilarang. Dia merupakan kawan dekat Jenderal Abdul Haris Nasution waktu pendidikan di Akademi Militer Kerajaan di Bandung.
Lantaran pusat gerakan RMS di Pulau Ambon, suatu pulau yang sangat baik untuk pertahanan, pemerintah memutuskan membentuk operasi militer gabungan yang meliputi semua angkatan, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara.
Angkatan Darat mengerahkan 14 Batalion Infanteri berikut Kompi Kavaleri, Artileri, dan Zeni. Angkatan Laut mengerahkan sembilan kapal perang ditambah tiga kapal niaga yang befungsi sebagai kapal hospital dan angkutan logistik. Sedangkan Angkatan Udara mengerahkan tiga unit B-25, 2 Unit Mustang, dan dua unit PBY Cataluna.
Setelah persiapan-persiapan yang dilakukan sebelumnya, pada 28 September 1950 pasukan TNI berhasil mendarat di Pulau Ambon. Gerakan operasi pendaratan di Pulau Ambon diberi nama Serangan Umum Senopati.
Operasi Senopati ini terbagi menjadi dua fase, yaitu gerakan operasi Senopati fase pertama dimulai sejak 28 September 1950 sampai dengan 2 November 1950. Fase kedua dimulai dari tanggal 3 November 1950 sampai dikuasainya seluruh Pulau Ambon.
Pasukan pendarat dipecah menjadi tiga grup. Grup I dipimpin oleh Mayor Achmad Wiranatakusumah, grup II dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi, dan grup III dipimpin oleh Mayor Surjo Subandrio. Pendaratan ini dibantu oleh beberapa kapal perang ALRI dan satu skadron pesawat bomber milik AURI.
Dalam waktu beberapa hari, pasukan TNI dapat menguasai sebagian besar Pulau Ambon, kecuali di bagian selatan di tempat RMS memusatkan kekuatannya.
Pada 3 November 1950, pasukan grup Letnan Kolonel Slamet Rijadi dan grup Mayor Surjo Subandrio bergerak bersama-sama untuk menyergap pertahanan RMS di Waitatiri.
Namun pada saat yang bersamaan, Komandan RMS juga merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap pos pertahanan TNI untuk mematahkan kepungan. Sehingga terjadilah pertempuran sengit antara pasukan RMS yang berintikan pasukan Baret Hijau dan Baret Merah (mantan Angkatan Udara Belanda) dengan pasukan TNI.
Di samping penyergapan kedua grup pasukan pimpinan Letnan Kolonel Slamet Rijadi dan Mayor Surjo Subandrio, pasukan grup pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah yang belum mendarat, didaratkan di Benteng Victoria di punggung Kota Ambon dengan tujuan merebut Kota Ambon.
Dalam pertempuran beberapa jam di Waitatiri, pasukan RMS dapat dipukul mundur. Dua ribu orang sisa pasukannya bersenjatakan sten dan bren serta empat buah panser kemudian bergerak menuju kota Ambon untuk kembali bertahan. Pasukan Achmad Wiranatakusumah yang didaratkan pagi hari, pada sore harinya dapat menguasai keadaan.
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Insiden Benteng Victoria
Namun karena kelelahan, pada akhirnya pasukan TNI kurang waspada. Kondisi ini dimanfaatkan pasukan RMS untuk menyamar sebagai TNI dan membawa bendera Merah Putih. Mereka mulai menyerang pasukan TNI. Suasana menjadi kacau dan sulit membedakan mana kawan dan lawan.
Akibatnya sepanjang malam terjadi pertempuran di antara keduanya. Perkelahian seorang lawan seorang tidak terhindarkan lagi sampai menjelang pagi hari dan menimbulkan banyak korban.
Melihat kondisi demikian, esok paginya, 4 November 1950 pasukan Letnan Kolonel Slamet Rijadi bergerak memasuki kota Ambon. Dia mengambil inisiatif memimpin sendiri pasukannya.
Slamet Rijadi diperkuat oleh pasukan yang terdiri dari Batalion Worang, Batalion Claporth, Batalion Mahmud, Detasemen Faah, Detasemen Artileri Medan, Skuadron Panser, dan Kompi Zeni Pioneer.
Slamet didampingi Kapten Kavaleri Klees menaiki panser pertama. Dua panser lainnya membututi di belakang. Tiga buah panser bergerak perlahan mendekati Benteng Victoria, Ambon.
Sekitar 30 meter mendekati Benteng Victoria, persis di simpang tiga, tembakan gencar dari dalam benteng bergemuruh, diarahkan kepada iring-ringan panser TNI. Sebuah tembakan tepat mengenai periskop panser yang dinaiki Slamet Rijadi dan Klees. Geram, Klees ingin membalas tembakan dengan meriam yang terpasang di pansernya.
Namun ditahan oleh Slamet. Slamet merasa pasukan yang menembak adalah anak buah Mayor Infanteri Lukas Kastardjo dari Siliwangi. Mungkin iring-ringan panser dikira pasukan RMS.
"Ini pasti hanya salah paham. Mereka pasti mengira panser ini kepunyaan musuh," kata Slamet seperti tertuang dalam buku Mengenang Ignatius Slamet Rijadi, Brigadir Jenderal Anumerta.
Klees memiliki pendapat berbeda. Klees yang merupakan mantan prajurit KNIL yakin yang menembakinya bukan TNI, melainkan pasukan RMS yang ingin mengelabui dengan mengenakan seragam TNI. Namun pendapat Klees diabaikan Slamet Rijadi dan memutuskan turun dari panser untuk memeriksa.
Tanpa memakai helm pelindung, Slamet Rijadi keluar melalui lubang pintu kubah panser. Ia berkalung teropong serta memegang owen gun kesayangannya. Sesampai di luar, dia lompat ke bawah dan berdiri tegap di samping panser, menghadap 30 meter dari Benteng Victoria.
"Dorrrr…!"
Satu peluru dilepaskan dari balik Benteng Victoria. Slamet Rijadi roboh bersimbah darah sambil memegangi perutnya. Melihat itu, Klees memerintahkan membalas serangan. Pertempuran tak terelakkan.
Meski tertembak, Slamet Rijadi dengan menahan rasa sakit tetap menyerukan semangat kepada anak buahnya dengan kalimat "Mari, mari, kita terus masuk benteng ! Mari, mari, maju!" Dan suaranya semakin tidak terdengar, akibat luka parah yang dideritanya.
Advertisement
Soumokil di Ujung Bedil
Perintah membalas tembakan yang dilakukan Klees sekaligus untuk melindungi Letnan Satu Infanteri Soedjoto yang menarik Slamet Rijadi untuk berlindung.
Tak lama berselang, Mayor Infanteri Lukas Kastardjo dari Grup III sudah berdiri di samping Slamet Rijadi. Setelah melihat kondisi Slamet Rijadi, Lukas langsung mengambil alih komando.
Slamet Rijadi sempat dilarikan ke Tulehu dengan mengenakan jeep. Sementara pasukan tetap berperang merebut Benteng Victoria. Prajurit APRIS pun berhasil menduduki Benteng Victoria dan mengamankan Ambon dari pemberontak RMS.
Slamet Rijadi sendiri meninggal di hari yang sama, 4 November 1950 pukul 21.15. Dia meninggal dalam usia 24 tahun.
Slamet Rijadi dimakamkan dengan upacara militer sederhana pada sebuah makam darurat di tengah kebun kelapa Pantai Tulehu, Pulau Ambon bagian Timur pada tanggal 5 November 1950.
Barulah setelah kondisi keamanan di Ambon dan Maluku pulih, makam Slamet Rijadi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Ambon. Sesuai keinginannya, ia ingin dimakamkan di atas tanah dimana ia gugur.
Meski Benteng Victoria berhasil diamankan tentara pada 4 November 1950, pemberontakan RMS terus terjadi di Pulau Seram hingga tahun 1962. Usai pemberontakan itu, setahun kemudian Soumokil ditangkap pada 12 Desember 1963.
Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden, Belanda. Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Melayu.
Mahkamah Militer Luar biasa menjatuhinya hukuman mati. Soumokil dihukum mati dan dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.