Special Content: PP Kebiri Kimia Predator Seksual Anak Diteken, Kapan Negara Fokus Rehabilitasi Korban?

Pada 7 Desember 2020 Presiden Jokowi meneken PP Nomor 70 Tahun 2020 yang salah satunya tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

diperbarui 25 Sep 2021, 00:29 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2021, 13:00 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Liputan6.com / Abdillah)

Jakarta - Hukuman untuk pelaku kekerasan seksual kepada anak dipastikan bertambah berat. Tak main-main, sekarang para predator anak ini bisa dikenai kebiri kimia. 

Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Selain mendapat kebiri kimia, pelaku kekerasan seksual kepada anak juga dapat dihukum tambahan dengan pemasangan alat deteksi setelah menyelesaikan masa pidana. Hukuman pemberat lainnya yakni identitas pelaku bisa diumumkan ke publik.

PP Nomor 70 Tahun 2020 disahkan Presiden Jokowi bertujuan untuk memberi efek jera kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kebiri kimia juga diharapkan bisa mencegah terjadinya kasus-kasus serupa lainnya.

Peraturan itu diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.

Dalam aturan ini, terdapat tiga kategori pelaku kekerasan seksual kepada anak yang bisa dihukum dengan aturan baru tersebut. Pertama, terhadap pelaku pidana persetubuhan kepada anak.

Kedua, pelaku persetubuhan terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman yang memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang juga pelaku persetubuhan.

Ketiga, pelaku perbuatan cabul terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman, memaksa melakukan tipu muslihat, dengan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Paling Lama 2 Tahun

Namun demikian, pada Pasal 4, hukuman terhadap tiga kategori pelaku itu dikecualikan jika pelaku juga masih tergolong sebagai anak. Tindakan kebiri dilakukan paling lama 2 tahun. Tindakan Kebiri Kimia dilakukan melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan.

Kemudian, dalam Pasal 9 poin a PP Nomor 70 Tahun 2020, pelaksanaan tindakan hukuman kebiri kimia tersebut dilaksanakan setelah pelaku persetubuhan dinyatakan layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia dalam kesimpulan hasil penilaian klinis.

Lalu poin b menyebutkan, dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak diterimanya kesimpulan, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan tindakan kebiri kimia tersebut kepada pelaku persetubuhan. Poin c menyebutkan, pelaksanaan tindakan kebiri kimia tersebut juga dilakukan segera setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.

Pelaksanaan tindakan kebiri kimia juga dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk, yang tercantum dalam poin d.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, Jasra Putra, mengatakan, sebenarnya Undang Undang Nomor 17 ini sudah berjalan hampir lima tahun dan PP ini merupakan turunan dari UU tersebut. Dia menilai, setelah diteken presiden, aparat hukum yang melakukan putusan pengadilan terkait UU ini menjadi tidak bingung karena ada turunan teknisnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Apresiasi dan Dukungan

Soal Reshuffle Kabinet Ini Kata Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) (Foto: Liputan6.com/Faizal Fanani)

KPAI mengapresiasi Presiden Jokowi karena sudah menandatangani PP nomor 70 tahun 2020. Perubahan kedua UU Nomor 17 juga lebih banyak substansi pemberatan. Lahirnya UU tersebut pada 2016 juga tak lain, karena berdasarkan evaluasi dan presiden menyatakan data-data kekerasan terhadap anak terkait kekerasan dan pelecehan seksual ini tren datanya meningkat.

"Yang tidak terlaporkan kan lebih banyak dari itu, maka dalam ratas (rapat terbatas) dengan presiden di awal tahun 2020 dan KPAI juga hadir, presiden menyampaikan, kasus kekerasan anak ini seperti gunung es. Kedalamanannya kita tidak tahu sejauh mana," kata Komisioner KPAI, Jasra Putra, ketika dihubungi Liputan6.com.

Jasra berharap UU Nomor 17 dan PP ini bisa menekan lajunya angka kekerasan seksual terhadap anak.  "Apakah akan terjadi pelaku menjadi jera? Ya tentu kita lihat nanti," ujarnya.

Dia menambahkan, "Karena, pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah menyatakan pemberatan kan baru terjadi di kasus yang di Mojokerto. Di mana ada usia pelaku 20 tahun, hukuman 12 tahun kemudian ditambah pemberatan kebiri kimia. Nah, implementasinya itu kan paling setelah dilakukan hukuman kurung. Misalnya 12 tahun, 2032 baru PP Ini (kebiri kimia) bisa dijalankan."

Kasus di Mojokerto yang dimaksud adalah pelaku bernama Muhammad Aris, warga Dusun Mengelo, Desa/Kecamatan Sooko, Mojokerto, yang terbukti mencabuli sembilan anak gadis sejak 2015. Muhammad Aris jadi orang pertama yang dijatuhi hukuman kebiri kimia di Indonesia. Dia juga harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sebelum ada Perpu pemberatan ini, instrumen hukum lain untuk para pelaku kekerasan seksual kepada anak sudah ada seperti di UU nomor 35. Hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun. Ada tambahan sepertiga hukuman apabila pelakunya orang terdekat atau tenaga pendidik serta pengasuh. Bahkan, di dalam UU nomor 17 2016, pelaku bisa dihukum mati.

Bukan Delik Aduan

Jasra menjelaskan, untuk pelaku kekerasan seksual kepada anak bukan delik aduan. Jadi, petugas atau siapapun yang mengetahui, wajib menyampaikan ke pihak yang berwenang. Demikian pula di dalam UU Perlindungan Anak di mana para saksi harus menyampaikan kasus yang terjadi.

"Cuma beberapa kasus di masyarakat kita lihat, kadang-kadang kan tidak semua mengetahui, karena pelaku orang terdekat. Kemudian relasi kuasa antara pelaku dengan korban itu sangat luar biasa sehingga tidak mudah. Dan tentu ini butuh kerja bersama kita untuk menghadirkan bagaimana perlindungan terhadap anak terkait korban-korban seperti ini. Tentu, kalau eksekusi ini bisa jalan, terutama yang Mojokerto, yang pertama putusan pengadilannya, ya kita berharap ada perkembangan positif terkait keberpihakan negara kepada anak-anak kita. KPAI melihat dalam konteks itu," terang Jasra.

KPAI menegaskan posisi keberpihakan kepada korban. Sebab, dampak trauma psikis dan fisik untuk anak korban kekerasan seksual sangat luar biasa. Bahkan, seringkali trauma itu masih dirasakan sampai dewasa. Banyaknya kasus korban pelecehan seksual anak membuat KPAI berpihak kepada korban.

"Memberikan keadilan korban bagi pelaku, mempercepat rehabilitasi korban, karena dalam PP ini akan dilaporkan oleh jaksa bahwa telah melakukan tindakan eksekusi. Misalnya suntik kimia, pemasangan alat deteksi, itu kan harus dilaporkan kepada korban. Kalau dia mendapat informasi ini kita berharap kan dia semakin pulih, semakin kuat," tutur Jasra.

 

PPPA Sambut Baik

Sambutan baik juga diungkapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terkait PP nomor 17 tahun 2020 ini. Menurut Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, hukuman pemberat bisa menimbulkan efek jera.

Nahar menekankan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat merusak masa depan Indonesia. Kemen PPPA mendukung setiap penanganan luar biasa terhadap pelaku, termasuk seperti kebiri kimia.

"Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan," kata Nahar kepada wartawan, Senin (4/1/2021).

Nahar menuturkan, dalam PP Kebiri Kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Sementara, tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.

"Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia," tutur dia.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendukung kebijakan Pemerintah terkait hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan dan pencabulan anak.

Hadiah Anak Indonesia

Ketua Umum Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan suntik kimia dan deteksi elektronik terhadap predator seksual, merupakan hadiah untuk anak Indonesia memasuki 2021.

"Saya kira ini adalah saat yang sangat luar biasa adanya hukuman kebiri," ucap Arist kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/1/2021).

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus kejahatan terhadap anak mengalami peningkatan pada 2020. Pada 2020 kasus meningkat menjadi 38 persen dari tahun sebelumnya. Hukuman untuk pelaku dinilai Arist tidak membuat efek jera.

"Pada 2020 dari 2.700 kasus, 52 persennya adalah kekerasan seksual. Wilayah Jabodetabek menjadi urutan pertama setelah Jawa Timur, urutan ketiga Jawa Barat, urutan keempat Sumatera Lampung NTB dan seterusnya," beber Arist.

 

Pelaksanaan Kebiri Kimia

Kebiri Kimia
Kebiri Kimia (Foto: Unsplash/ @jairlazaro)

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebiri dilakukan dengan berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration 2nd Edition, 2006, menyatakan, kebiri telah dilakukan di Mediterania Timur pada 8.000-9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak dibandingkan yang jantan. Tapi, belum ada catatan pasti mengenai kapan kebiri kepada manusia dilakukan pertama kali.

Tapi, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak-budak di Mesir yang dikebiri memiliki nilai jual lebih mahal, karena dianggap lebih patuh dan rajin kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran Tiongkok.

Sementara di era modern, tujuan pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha memperoleh suara soprano pada anak laki-laki di Italia sampai upaya menghindarkan perbuatan tak bermoral di beberapa agama. Kebiri juga dilakukan demi mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental sertapopulasi kelompok tertentu. Secara historis pengebirian kimia telah dipaksakan terhadap berbagai kelompok seperti homoseksual, transgender, pemerkosa, dan pedofil sering dengan imbalan pengurangan hukuman.

Seperti dilansir The News International, selain Indonesia terdapat tujuh negara lainnya yang memberlakukan kebiri kimia lebih dulu. Tujuh negara itu yakni Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, Rusia, Polandia, Ukraina, dan Kazakhstan. Di sisi lain, terkait PP nomor 70 tahun 2020, pelaksanaan hukuman kebiri kimia di Indonesia mesti dihadiri jaksa, perwakilan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Lalu, hasilnya dituangkan dalam berita acara dan jaksa harus memberitahukan kepada korban atau keluarga korban bahwa tindakan kebiri kimia tersebut sudah dilakukan.

Menurut Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Untuk tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.

"Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia," terang Nahar.

Sayangnya, dalam aturan baru tersebut tidak dijelasken tentang jenis bahan kimia apa yang bakal diberikan nanti ke pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Aturan tersebut hanya menyebutkan mengenai mekanisme penyuntikan menggunakan zat kimia.

"Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia,untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi," bunyi pasal 1 ayat 2 PP Nomor 70 Tahun 2020.

Hukuman kebiri kimia dalam aturan itu juga disebutkan dilakukan di rumah sakit pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk atau sesuai pasal 9 huruf d PP Nomor 70 Tahun 2020. Tentang tata cara pelaksanaan teknis dalam PP tersebut diserahkan kepada Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM.

Berikut bunyi pasal 13 ayat 1 dan 2:

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur teknis penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal t huruf a, Pasal t huruf c, Pasal t huruf d, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusanpemerintahan di bidang kesehatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kepada jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan Pasal 7 ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Sementara untuk tata cara mengumumkan identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak sendiri diatur dalam Pasal 21 hingga 22. Sebagaimana bunyi Pasal 21 Ayat (1) huruf b, pengumuman identitas pelaku dilaksanakan oleh jaksa paling lama tujuh hari kerja setelah pelaku kekerasan seksual terhadap anak selesai menjalani pidana pokok.

Pengumuman identitas pelaku dilakukan selama 1 bulan kalender melalui papan pengumuman, laman resmi kejaksaan, serta media cetak, media elektronik, dan/atau media sosial. Pengumuman melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media sosial dilakukan bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika, di bidang perlindungan anak, serta pemerintah daerah.

Namun demikian, sebagaimana bunyi Pasal 21 Ayat (4), pidana tambahan ini dikecualikan kepada pelaku yang berusia anak-anak. Adapun, sesuai Pasal 22, identitas pelaku kekerasan seksual yang diumumkan ke publik paling sedikit memuat 6 hal yakni:

a. nama pelaku;

b. foto terbaru;

c. nomor induk kependudukan/nomor paspor;

d. tempat/tanggal lahir;

e. jenis kelamin;

f. dan alamat/domisili terakhir.

 

Aturan Populis?

Kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual
Kebiri kimia (Foto: Ewa Urban/ Pixabay)

Penandatanganan PP Kebiri Kimia oleh Presiden Jokowi banyak memperoleh apresiasi, namun tidak sedikit pula yang tidak mendukung. Kritik juga datang terkait PP nomor 70 tahun 2020, karena dianggap populis, padahal banyak kekurangan dalam aturan tersebut.

Direktur Eksekutif, Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menilai hukuman kebiri kimia hanyalah aturan yang bersifat populis. Menurut dia, sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban kekerasan seksual masih minim dan cenderung mundur.

Tidak lengkapnya peraturan mengenai korban dan pemangkasan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK juga jadi sorotan.

"Telah terbukti dalam praktik di negara lain bahwa menyiapkan dan membangun sistem perawatan kebiri kimia yang tepat, membutuhkan banyak sumber daya dan mahal. Sampai dengan saat ini, pihak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini. Terlebih sistem ini tidak sesuai dengan pendekatan kesehatan," kata Erasmus kepada Liputan6.com.

Dia menambahkan, "Dari proyeksi yang bisa dilakukan, maka anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia. Fakta ini diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban."

Berdasarkan data anggaran LPSK, ditemukan bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019 jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat. Pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan. Anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp 148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran hanya Rp 54,5 Milyar, padahal kebutuhan korban meningkat.

Di mata Erasmus, dengan adanya PP 70/2020 ini, Negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk menghukum pelaku. Padahal, korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.

"ICJR tetap menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban, hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan peningkatan anggaran lembaga yang bertugas pada pelayanan pemulihan dan perlindungan korban, serta penyusunan aturan atau undang-undang yang secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemenuhan korban. Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekersan Seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas."

"Untuk pemerintah, sudah cukuplah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri. Saatnya beralih pada mekanisme perlindungan dan pemulihan korban," tegas dia.

Komnas Perempuan Menentang

Kritik juga disampaikan Komnas Perempuan tentang PP kebiri kimia yang diteken Presiden Jokowi. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menentang pengebirian dalam bentuk apa pun dan sikap itu diakui sudah ditunjukkan sejak awal terhadap Perppu Nomor 1/2016 tentang Perubahan ke 2 atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak disahkan yang kemudian menjadi UU Nomor 17 tahun 2016.

Terdapat beberapa alasan yang dibeberkan Komnas Perempuan terkait sikap menentang PP tersebut. Yang pertama yakni tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, dan menyelesaikan konflik.

"Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban," kata Siti Aminah kepada wartawan.

Alasan yang kedua adalah kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau untuk kepuasan seksual. Namun, terjadi karena sebagai bentuk penaklukkan, ekspresi inferioritas maupun memperlihatkan kekuasaan maskulin, kemarahan atau pelampiasan dendam.

"Jadi mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual," ujarnya.

Siti berpendapat, tindakan pengebirian akan mengubah manusia menjadi aseksual, mengubah identitas, dan tidak ada jaminan kembali seperti sedia kala. Siti berpendapat, pengebirian melanggar UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Deretan Negara yang Terapkan Kebiri Kimia (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Negara yang Terapkan Kebiri Kimia (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya