Ramai Aisha Weddings, IJF EVAC Tentang Perkawinan Anak

Promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh Aisha Weddings merefleksikan fenomena gunung es perkawinan anak di Indonesia.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 12 Feb 2021, 17:20 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2021, 17:20 WIB
Himbauan untuk Menolak Perkawinan Anak
Ilustrasi Kekerasan pada Anak Credit: pexels.com/Kirk

Liputan6.com, Jakarta - Gerakan Bersama untuk penghapusan kekerasan pada anak di Indonesia (Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children atau IJF EVAC) menyayangkan dan menentang segala tindakan organisasi atau lembaga yang mempromosikan perkawinan anak.

Hal ini sehubungan dengan belum lama viral Aisha Weddings yang mempromosikan pernikahan siri, perkawinan anak, serta poligami.

"Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kami ingin menekankan lagi kepada pelaku usaha, orangtua dan seluruh elemen masyarakat bahwa isu ini bukan hanya soal perkawinan, tetapi perampasan hak–hak anak akan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi," ujar CEO Save the Children Indonesia sekaligus Ketua IJF EVAC Selina Patta Sumbung melalui keterangan tertulis, Jumat (12/2/2021).

Selina menilai, promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh Aisha Weddings merefleksikan fenomena gunung es perkawinan anak di Indonesia.

Dia memaparkan, data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tentang Perkawinan Anak pada 2018, memperkirakan terdapat 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun.

"Jumlah itu menempatkan Indonesia di peringkat ke delapan di dunia dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia," kata Selina.

Dia juga menjelaskan, dari data Susenas, hampir semua atau 94 persen anak perempuan dan 91 persen anak laki-laki yang dikawinkan putus sekolah.

Data Susenas diperkuat oleh data WHO yang diterbitkan pada 2016 menjabarkan, anak yang dikawinkan kemungkinan besar akan hamil dan melahirkan anak, maka berisiko besar bagi kesehatan mereka.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Data WHO

Ilustrasi
Ilustrasi anak tidur. (dok. unsplash/@kalegin)

Sementara itu, menurut salah satu anggota Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia Sindy (16), komplikasi saat kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun di seluruh dunia.

"Biasanya salah satu alasan keluarga menikahkan anaknya karena ekonomi. Padahal menikahkan anak bukan jalan untuk memperbaiki ekonomi. Justru menjerumuskan anak dalam kemiskinan," ucap Sindy.

Upaya Pemerintah untuk mengakhiri perkawinan usia anak dibuktikan dengan telah direvisinya UU Perkawinan Nompr 1 Tahun 1974 menjadi Nomor 16 Tahun 2019 Republik Indonesia dinyatakan bahwa hanya mengizinkan perkawinan bagi yang sudah berusia 19 tahun keatas.

Akan tetapi, bukan berarti usaha mencegah perkawinan anak dan membantu anak – anak yang sudah terlanjur dikawinkan untuk keluar dari masalahnya, sudah selesai.

Undang-undang masih mengizinkan masyarakat untuk mengajukan dispensasi jika ingin mengawinkan anaknya.

Selama Januari-Juli 2020 (tujuh bulan), Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menerima 35.441 perkara dispensasi kawin anak/orang muda di bawah 19 tahun atau meningkat tajam dibanding 28.864 perkara yang diterima selama dua belas bulan pada 2019.

 

Permintaan IJF EVAC

anak bermain
ilustrasi anak bermain/Photo by Leo Rivas on Unsplash

Merespon kontroversi iklan perkawinan anak, perkawinan siri dan poligami oleh Aisha Weddings dan mempertimbangkan bahaya-bahaya perkawinan anak, maka IJF EVAC meminta pemerintah untuk melakukan 6 hal, yaitu:

1. Mendorong proses hukum organisasi atau lembaga yang terbukti mempromosikan perkawinan anak,

2. Mendorong penerapan pasal-pasal pencabutan kuasa asuh orangtua sesuai Undang-undang Perlindungan Anak karena mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua (Pasal 26(1)),

3. Memperkuat pengetahuan dan kapasitas hakim di seluruh Indonesia dengan mempromosikan Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dibarengi dengan pelatihan hak anak dan kesetaraan gender,

4. Memperkuat koordinasi lintas sektor untuk dukungan terhadap keluarga dan anak yang rentan sebagai komponen perlindungan sosial, khususnya bantuan untuk anak-anak yang telah menjadi korban perkawinan anak.

5. Memperbanyak kampanye anti perkawinan anak di tingkat komunitas lokal,

6. Memperkuat resiliensi anak agar anak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya tanpa ada tekanan dari orang tua, keluarga, dan masyarakat.

"Anak – anak adalah masa depan baik untuk keluarga maupun bangsa. Penuhi hak anak dan berikan ruang pada anak agar berdaya dan dapat meraih mimpi," tegas salah satu anggota CYAN Save the Children Indonesia, Esa (18).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya