Liputan6.com, Jakarta - 21 Mei 1998 ditandai sebagai hari yang bersejarah bagi Indonesia. Hari ini, Jumat (21/5/2021) tepat 23 tahun era Reformasi yang ditandai dengan pengunduran diri Presiden RI Soeharto dari jabatan yang telah didudukinya selama 32 tahun.
Sehari sebelum Soeharto melepas jabatannya, gedung DPR/MPR dipenuhi dengan ribuan mahasiswa dari berbagai daerah.
Kehadiran mereka di gedung kura-kura tersebut untuk menuntut reformasi, termasuk meminta Soeharto turun dari kursi kepresidenannya.
Advertisement
Desakan sejumlah mahasiswa ditanggapi oleh Soeharto dengan bermaksud untuk membentuk Komite Reformasi yang hadir berdampingan dengan Kabinet Reformasi.
Sembilan tokoh yang saat itu diundang ke Istana Merdeka diminta menjadi anggota Komite Reformasi. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'ruf Amin.
Kemudian Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang karena diajak Nurcholish. Sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, gagasan Yusril niscaya dibutuhkan. Namun, permintaan Soeharto ditolak oleh sembilan tokoh tersebut.
Soeharto juga meminta Nurcholish atau Cak Nur seorang cendikiawan muslim untuk menjadi ketua. Cak Nur menepis permintaan itu, lalu ditawar untuk menjadi anggota. Cak Nur tetap menolaknya.
Sementara itu, di tempat lain, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyampaikan kepada Wakil Presiden BJ Habibie melalui telepon bahwa dirinya beserta dengan 13 menteri lainnya yang sedang menjabat di Kabinet Pembangunan VII tak bersedia duduk di Kabinet Reformasi, meskipun masa jabatan mereka akan habis.
"Apakah Anda sudah membicarakan dengan Bapak Presiden?" kata Habibie dalam kisahnya yang tertuang di buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
"Belum, tapi keputusan tersebut sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto," jawab Ginandjar.
Tak lama, Habibie pergi menemui Soeharto untuk mengubah personel Kabinet Reformasi yang diumumkan pada 21 Mei 1998.
Saat pertemuan tersebut, Soeharto memberitahukan Habibie bahwa ia akan memanggil pimpinan DPR/MPR pada 23 Mei dan Soeharto direncanakan mengajukan pengunduran diri.
Ketika Soeharto mengundurkan diri, Habibie akan menggantikannya dan memimpin Kabinet Reformasi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Habibie Tak Sempat Bicara Dengan Soeharto
Sementara itu, Habibie memanggil empat Menteri Koordinator dan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII ke rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan.
Pada rapat tersebut, Habibie meminta Ginandjar Cs membatalkan niat mereka mundur dari kabinet. Sempat terjadi perdebatan. Akhirnya, tulis Habibie, rapat memutuskan, "Susunan Kabinet Reformasi diterima sebagai kenyataan."
Usai rapat yang berlangsung sekitar satu jam, Habibie mengontak Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid, meminta bicara dengan Soeharto. Tapi, Soeharto ternyata menolak.
Saadillah hanya bilang, Jenderal Besar itu akan mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei pagi, bukan 23 Mei seperti direncanakan.
Mendengar hal tersebut, Habibie sangat terkejut dan meminta untuk segera dapat bicara dengan Soeharto.
"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan dan ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," tulis Habibie.
Pada akhirnya, Pertemuan itu tak pernah terjadi. Pada 21 Mei pukul 09.00, di Ruang Credential Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur.
Advertisement
Pidato Terakhir Soeharto Sebelum Lengser
Pengunduran diri ini disampaikan Soeharto dalam pidato terakhir yang digelar dan disiarkan langsung dari Istana Merdeka, Jakarta. Tampuk kepemimpinan pun diserahkan kepada wakilnya, Bacharudin Jusuf Habibie alias BJ Habibie.
Pidato terakhir Soeharto ini diucapkan di hadapan seluruh pembantunya, wartawan dan masyarakat Indonesia pada 21 Mei 1998.
Naskah pengunduran diri ini diketik oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai penulis pidato presiden. Adapun isi pidato tersebut adalah sebagai berikut:
"Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI."
Hari-Hari Soeharto Setelah Lengser
21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser dari kursi presiden Republik Indonesia setelah berkuasa 32 tahun.
Usai dirinya lengseng otomatis Soeharto menjadi warga biasa. Kehidupan sehari-harinya pun dihabiskan di rumah pribadinya di Jalan Cendana.
Begitu selesai membacakan pidato pengunduran dirinya, Soeharto menyalami mantan wakilnya itu, termasuk sejumlah Hakim Agung. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut Soeharto. Dia langsung balik badan menuju Ruang Jepara, tempat menunggu pimpinan MPR/DPR.
Syarwan Hamid, salah satu Wakil Ketua DPR saat itu, melukiskan Soeharto waktu itu hanya bicara satu menit. Berdiri setengah membungkuk dengan tangan menyilang di perut, mantan penguasa Orde Baru itu berpamitan.
"Saudara-saudara, saya tak menjadi presiden lagi. Tadi sudah saya umumkan kepada rakyat. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, Habibie sudah mengucapkan sumpah di depan MA. Saya harap MPR dan DPR dapat menjaga bangsa ini. Terima kasih," ucap Soeharto.
Ketua MPR/DPR Harmoko dan wakilnya Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hassan Metareum, serta Syarwan Hamid hanya mengangguk.
Soeharto keluar ruangan. Menggamit lengan Tutut, mantan presiden itu menuruni anak tangga Istana sambil menyunggingkan senyum tipis kepada pewarta foto. Sesaat kemudian, ia kembali ke Cendana dengan pengawalan ketat.
Itulah pertemuan terakhir Soeharto dengan anak buahnya. Setelah lengser sebagai Presiden Kedua RI, Soeharto lebih sering mengurung diri di Cendana, meski petinggi militer dan kerabat berusaha bertamu.
Seperti sehari setelah lengser, Soeharto menerima sejumlah orang yang meminta dia menangani konflik di internal ABRI (TNI), tapi ia menolaknya.
"Loh, kalian yang menginginkan seperti ini (lengser). Kenapa harus minta saya lagi?" ujar Soeharto.
Tak hanya Soeharto, keluarga Cendana saat itu juga menutup diri. Seperti Probosutedjo yang enggan menyampaikan pesan Nurcholish Madjid kepada Soeharto, agar mengingatkan Habibie bahwa jabatan presiden hanya sementara. Namun, Probosutedjo menggeleng.
"Enggak ah, saya tak mau berhubungan dengan orang itu," kata Probo.
Pasca-Soeharto lengser memang keluarga Cendana menutup diri. Apalagi rumah keluarga Cendana kerap dibanjiri demonstran yang menuding Soeharto korupsi. "Semua keluarga terganggu," ujar Tutut.
Karena itu pula, Soeharto mengumpulkan keluarga Cendana di Puri Retno, Anyer, Banten, pada Juli 1998 atau dua bulan pasca pria asal Yogyakarta itu lengser. Usai makan di pinggir pantai, Soeharto meminta anak-anak, menantu, dan cucunya menerima kondisi pahit tersebut dan berusaha tabah melaluinya.
Menurut Soeharto, kondisi ini adalah konsekuensi dirinya mundur dari jabatan presiden. Mundur bukan hujatan mereda, justru sebaliknya. Dia meminta anak-anaknya tak bereaksi atas kondisi itu.
"Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan ini mengurangi beban saya di akhirat," ujar Soeharto.
Advertisement
Mulai Sakit-Sakitan
Persis pada 8 Juni 2006, Soeharto genap berusia 85 tahun. Pada usia senjanya usai lengser dari jabatan presiden, Soeharto sering sakit-sakitan.
Selain sakit-sakitan, Soeharto harus menyaksikan kehancuran keluarga Cendana. Yang paling diingat tentu saja kasus anak bungsunya Hutomo Mandala Putra atau Tommy, yang masuk penjara akibat terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
Hampir selama tujuh tahun usai lengser, Soeharto didera penyakit hingga keluar masuk rumah sakit. Hari-harinya yang mestinya banyak bermain dengan anak cucu, justru tak dapat ia rasakan.
Dalam buku Hari-Hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser, selama 2004-2006, sakit sang jenderal murah senyum itu kambuh setiap akhir April dan Mei.
Tahun 2006 misalnya, Soeharto masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada 4 Mei dan keluar 31 Mei. Begitu juga pada 2005, dia masuk rumah sakit pada 5 Mei.
Pada 29 April 2004, Soeharto mengalami pendarahan saluran pencernaan dan diumumkan membaik pada 2 Mei. Pada 2003, kesehatan Soeharto juga memburuk dan masuk RSPP pada 29 April.
Hari-hari Soeharto pun berlalu monoton, bahkan kembali seperti masa balita. Berlatih makan, duduk, berjalan, hingga berbicara. Semua diulang-ulang dan hanya dilakukan di dalam kamar.
Begitulah hari-hari Soeharto setelah pulang dari RSPP pada 31 Mei 2006. Sejak tahun ini, kondisi kesehatan Soeharto benar-benar sudah menurun drastis. Sejumlah organ pentingnya tidak berfungsi normal.
Otaknya mengalami kerusakan, baik sel otak kiri maupun kanan. Begitu juga jantung, Soeharto harus memakai alat pacu jantung agar organ vital ini tetap berfungsi. Begitu juga paru-paru dan ginjalnya, fungsinya sudah menurun.
Kondisi sakit-sakitan ini pun menjadi gunjingan. Ada yang menyebut tidak berfungsinya otak otomatis orang tersebut dianggap sudah meninggal. Sebab, dalam bidang kedokteran, tidak berfungsinya batang otak sama halnya mati suri.
Namun, ketua tim dokter kepresidenan, dr Mardjo Soebiandono, mengatakan istilah tersebut tidak berlaku bagi Soeharto. Menurut dia, definisi klinis orang meninggal adalah paru-paru, jantung, dan semua organ tubuh berhenti.
"Makanya saya juga heran, kok banyak orang yang menyebutkan meninggal dunia, itu dari mana?" protes Mardjo dalam buku yang disunting Yayan Sopyan itu.
Ada Kekuatan Mistis
Dalam buku yang diterbitkan pada 2008 itu, kondisi Soeharto yang sakit-sakitan usai lengser memicu beragam komentar. Ada yang beranggapan hal ini karena karma dan kekuatan mistisnya.
Mardjo pun membantahnya dan tidak mempercayai anggapan itu. Bantahan juga diungkapkan pengacara Soeharto Juan Felix Tampubolon dan M Assegaf. Menurut keduanya, Soeharto rajin salat lima waktu.
Keduanya menyatakan, dibanding alasan mistis, urusan medis lebih masuk akal. Soeharto sejak muda rajin berolah raga seperti bersepeda dan mendaki gunung.
Aktivitas fisik juga biasa dilakoni Soeharto saat menjadi presiden seperti main golf. Bahkan, putra pasangan Sukirah-Kertorejo itu masih rajin tapa kungkum (berendam di dalam air berjam-jam dengan maksus membersihkan jiwa dan raga dari nafsu dunia) dan mendaki gunung.
Selain itu, setelah lengser dari posisi presiden, Soeharto masih mendapat perawatan medis intensif dari dokter. "Pak Harto mempunyai dokter pribadi yang selalu mengawasi kondisinya setiap hari," ujar Assegaf.
Selain dokter pribadi, Soeharto juga masih mendapat perhatian dari dokter kepresidenan. Hal ini membuat kesehatannya bener-benar terjaga. Bahkan, pola makan pun sangat diperhatikan, sehingga jika ada keluhan sedikit pun langsung terdeteksi.
Menurut Assegaf, dengan pengawasan ketat dari dokter, tanpa ilmu mistis pun kesehatan Soeharto sangat terjaga, sehingga bisa berumur panjang.
(Dinda Permata – Cinta Islamiwati)
Advertisement