Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengajukan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanganan Pandemi Covid-19. Revisi ini memuat sanksi pidana bagi pelanggar protokol kesehatan (Prokes).
Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria menyebut, usulan revisi Perda Covid-19 itu untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar prokes di tengah upaya pemerintah mengendalikan pandemi virus corona.
“Dalam pelaksanaannya baik ketentuan mengenai sanksi administratif maupun sanksi pidana belum efektif memberikan efek jera kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan penanggulangan Covid-19,” kata Ariza dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, Rabu (21/7/2021).
Advertisement
Dalam revisi Perda Penanganan Covid-19, salah satunya berisi sanksi pidana kurungan atau penjara selama tiga bulan dan denda bagi warga di DKI Jakarta yang tidak memakai masker.
Berikut usulan revisi Perda Penanganan Covid-19 DKI Jakarta terkait sanksi bagi pelanggar prokes:
Pasal 32A
(1) Setiap orang yang mengulangi perbuatan tidak menggunakan masker setelah dikenakan sanksi berupa kerja sosial atau denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2) Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab perkantoran/tempat kerja, tempat usaha, tempat industri, perhotelan/penginapan lain yang sejenis dan tempat wisata yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 setelah dikenakan sanksi berupa pencabutan izin sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (4) huruf f, dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab transportasi umum, termasuk perusahaan aplikasi transportasi daring yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol pencegahan Covid- 19 setelah dikenakan sanksi berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (5) huruf c, dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik menyatakan bahwa pihaknya menargetkan pembahasan revisi Perda Covid-19 rampung pada Kamis 29 Juli 2021 mendatang.
Dia optimistis target tersebut berhasil, karena setelah Pemprov DKI Jakarta menyampaikan maksud dan tujuan perubahan Perda Covid-19, DPRD DKI melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) secepatnya akan membahas.
"Bapemperda DPRD DKI bersama eksekutif terkait akan segera mencermati dan menyampaikan hasilnya pada paripurna, Kamis 29 Juli 2020 pukul 10.00 WIB," kata Taufik, seperti dilansir Antara, Kamis (22/7/2021).
Penggunaan Sanksi Pidana Ditolak
Kendati, usulan revisi Perda Covid-19 ini tidak serta merta mendapat jalan mulus. Dalam rapat pembahasan revisi Perda DKI Jakarta No 2 Tahun 2020 yang diselenggarakan Bapemperda DPRD DKI, sejumlah fraksi keberatan soal rencana penerapan sanksi pidana.
Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Agustina Hermanto atau Tina Toon menolak usulan penerapan sanksi pidana untuk pelanggar protokol kesehatan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19.
Tina Toon menilai, sanksi pidana tidak tepat diberlakukan saat masyarakat mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19.
"Pendekatan pidana, denda, saya menolak, karena di saat kondisi kita seperti ini sangat tidak elok dan juga tidak humanis untuk kita menghukum saudara-saudara kita," kata Tina saat rapat Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Kamis (22/7/2021).
Menurut dia, permasalahan ekonomi seringkali menjadi alasan pelanggaran protokol kesehatan terjadi di masyarakat. Sebab masyarakat memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat pandemi.
Karena hal itu, politikus muda PDIP ini meminta agar pemberian sanksi pidana dalam revisi Perda Covid-19 dapat dikaji kembali.
"Mungkin bisa ditambahkan kerja sosial yang lebih lama. Misal, jadi petugas PPSU sementara, seperti itu, tanpa dibayar karena kesalahan berulang. Misal tidak memakai masker, dan lain-lain," papar dia.
Senada, Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta juga keberatan terkait adanya sanksi pidana dalam revisi Perda Covid-19. Ketua Fraksi NasDem, Wibi Andrino menilai, revisi Perda Covid-19 dikhawatirkan meningkatkan gesekan sosial antara masyarakat dengan aparat gabungan, termasuk Satpol PP.
"Bahwa presiden sudah mengarahkan kita lebih humanis, ya kita lakukan cara-cara humanis, tapi bahwa hari ini kita bicarakan diksi pidana tentunya ini adalah bahasa yang represif, itu kekhawatiran saya," ucap Wibi di gedung DPRD, Kamis (22/7/2021).
Dia setuju perlu ada revisi dalam Perda Covid-19, terlebih lagi situasi penularan saat ini berbeda dengan gelombang pandemi pertama kali di 2020. Namun adanya diksi pidana menurut Wibi terkesan bentuk tekanan terhadap masyarakat.
Menurut pandangan pribadi, kata Wibi, ia menolak adanya revisi Perda dengan memuat unsur pidana. Namun, ia menegaskan tidak akan menghambat kinerja Bapemperda dalam membahas revisi ini.
"Ini yang menjadi pemikiran saya dan batin saya sedikit agak menolak untuk bisa menerima itu di tengah kondisi seperti ini, tapi ini akan menjadi satu kesepakatan bersama, saya juga tidak ingin menghambat kerja dari Bapemperda," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Satpol PP Jadi Penyidik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyampaikan usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2020 dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (21/7/2021). Revisi Perda Covid-19 itu mengatur soal penegakan hukum pelanggaran prokes.
Pada kesempatan itu, Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, berharap DPRD DKI dapat segera membahas, menyetujui, dan menetapkan raperda tersebut.
"Raperda Perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dimaksudkan menjadi landasan hukum bagi penegakan hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan yang tegas dan kolaboratif dalam penyelenggaraan penanggulangan Covid-19 di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta," kata Riza dalam keterangannya, Rabu (21/7/2021).
Riza menyatakan, penegakan pelanggaran protokol kesehatan perlu dilakukan kolaborasi dengan aparat penegak hukum lain, seperti penyidik PNS alias Satpol PP.
“Penyidik Polri diberi wewenang untuk melakukan penyidikan selain penyidik PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dalam hal terjadi tindak pidana pelanggaran terhadap protokol kesehatan," ungkap Wagub DKI.
Kewenangan penyidik PPNS dalam melakukan penyidikan diatur secara rigid dan rinci. Kata dia, telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta Permendagri Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah.
“Dua, pengaturan sanksi administratif dapat dilakukan secara berjenjang dan atau tidak berjenjang. Dalam memberikan pengenaan sanksi administratif, perangkat daerah dapat langsung memberikan sanksi paling berat sesuai dengan akumulasi kesalahan dan rincian akan diatur dalam SOP pada masing-masing perangkat daerah,” ucapnya.
Ketiga, kata Ariza, penambahan ketentuan pidana merupakan materi paling krusial dalam usulan Raperda Perubahan yang dimaksud.
Apabila usulan perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2020 disetujui DPRD DKI menjadi Perda, Pemprov DKI berharap penegakan pelanggaran prokes pencegahan Covid-19 tidak menimbulkan benturan antara masyarakat dengan aparat penegak Perda.
Penegakan Perda secara humanis harus dikedepankan, sehingga tidak terjadi kagaduhan yang menyita perhatian publik.
"Perspektif hak asasi manusia harus menjadi prioritas aparat penegak Perda sehingga konflik di lapangan dapat terhindarkan. Perasaan masyarakat yang sensitif akibat dampak pandemi Covid-19 merasuk ke kehidupan perekonomian mereka, harus dijaga. Saya berharap agar penegakan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 dijalankan sesuai dengan prinsip keadilan. Penegakan hukum tidak dijalankan secara tajam ke bawah, tumpul ke atas,” pungkas Ariza.
Rencana Satpol PP Jadi Penyidik Dikritik
Bendara Umum DPP Partai NasDem Ahmad Sahroni mengkritisi rencana Pemprov DKI Jakarta yang menginginkan Satpol PP bisa jadi penyidik untuk pelanggar prokes. Menurut dia, ide tersebut sangat berlebihan.
"Di mana dalam melakukan penyidikan, penentuan tersangka, dan penegakan hukum lain itu perlu dilakukan pelatihan yang panjang," kata dia, Rabu (21/7/2021).
Sahroni mencontohkan, seperti polisi ada sekolah dan jenjang pendidikan dan latihan untuk mencapai tahapan penyidik. "Dan Satpol PP kan tidak didesain untuk ini," ungkap pria yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini.
Sahroni menuturkan, di saat pandemi Covid-19 ini, Satpol PP acap kali menjadi sasaran kritikan masyarakat lantaran kerap arogan.
"Bukan malah memberi wewenang lebih yang berpotensi menambah arogansi," kata dia.
Menurutnya, Satpol PP dibentuk dengan tugasnya untuk melakukan penertiban ringan dan pengayoman di masyarakat, bukan untuk melakukan penindakan. Kata dia, semua sudah ada porsi masing-masing.
"Daripada diberi tugas seperti polisi, lebih baik dimaksimalkan untuk membantu masyarakat di lapangan. Mengawasi yang buang sampah sembarangan, membantu orang-orang kelaparan, dan pekerjaan humanis lain," kata Sahroni menandaskan.
Advertisement