Liputan6.com, Jakarta - Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta mencatat adanya lonjakan jumlah pendatang yang masuk ke Ibu Kota saat arus balik Lebaran 2025. Menurut data terbaru, peningkatan mencapai 129 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menjelaskan bahwa lebih dari 130 ribu penumpang tercatat tiba melalui tujuh terminal utama Jakarta selama masa arus balik. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, jumlahnya hanya sekitar 57 ribu orang.
Baca Juga
Namun demikian, data ini mendapat sorotan dari Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna. Menurutnya, perlu ada klarifikasi apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan pendatang baru atau sekadar mereka yang ikut arus balik mudik.
Advertisement
“Data itu harus kita cek lagi, data pendatang baru atau data dari arus balik? Nah, karena kan kita tidak melakukan pengecekan terkait asal tujuan. Jangan lupa mereka itu adalah orang yang balik dari mudik kemarin, itu kan pencatatan berdasarkan jumlah kedatangan jadi kan tidak mencerminkan pendatang baru atau tidak,” kata Yayat saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (17/4/2025).
Pendatang Baru Hanya Bisa Diketahui Lewat Dukcapil
Yayat menekankan bahwa definisi pendatang secara administratif hanya bisa dibuktikan melalui laporan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Artinya, mereka yang benar-benar pindah domisili wajib melakukan pelaporan identitas secara resmi.
"Kalau jumlah pendatang itu berdasarkan sistem pelaporan di Dukcapil. Nah, kenapa itu dicatat? Karena mereka yang pindah dan semua punya identitas. Mengapa butuh surat keterangan pindah? Karena jadi alamat untuk kerja, Dia perlu KTP, dia perlu identitas yang jelas. Jadi pencatatan pendatang yang melakukannya adalah oleh Dukcapil," jelas Yayat.
Lebih lanjut, Yayat mengingatkan bahwa pendatang yang tidak melaporkan diri akan mengalami kesulitan administratif, terutama saat melamar pekerjaan atau mengakses layanan publik.
"Pertanyaannya kan sederhana. KTP-nya mana? Nah, maka artinya di sini pencatatan penduduk itu menjadi penting. Jadi, kalau mereka yang tidak terdata, itu artinya mereka tidak diregister sebagai penduduk warga Jakarta," ujarnya.
Banyak yang Numpang Alamat
Yayat juga menyoroti fenomena komuter dan warga yang tinggal di Jakarta tetapi tidak memiliki KTP Ibu Kota. Ia mencontohkan dirinya sendiri sebagai penduduk Bogor yang bekerja di Jakarta dan tercatat sebagai komuter harian.
"Seperti saya, saya commuter. Saya bukan orang Jakarta, tapi saya tercatat sebagai penduduk kota Bogor yang commuter. Nah, itu kan jumlahnya hampir 3 juta yang commuter ke Jakarta setiap harinya," ungkap Yayat.
Ia juga mengungkapkan bahwa banyak penduduk ber-KTP Jakarta sejatinya tidak tinggal di alamat sesuai dokumen. Mereka kerap numpang alamat atau tinggal di kontrakan, kos-kosan, bahkan rumah keluarga.
"Apa artinya? Artinya Jakarta itu kalau dilihat, mengapa antara domisili dengan alamat domisili rumah sekarang itu berbeda? Karena data dari BPS menunjukkan di Jakarta itu hanya 56 persen orang yang memiliki rumah. 44 persen itu nyewa, ngontrak, kos, numpang, dan sebagainya dan itulah mengapa pendatang banyak yang mau punya rumah sulit di Jakarta," beber Yayat.
"Jadi Jakarta ini 44 persen warganya itu tidak memiliki rumah, tinggal dalam konteks ngontrak, numpang, atau apa pun itu yang menunjukkan bahwa rumah di Jakarta itu makin mahal, makin susah terjangkau," imbuhnya menandasi.
Advertisement
