4 Fakta Terkait Perseteruan Yusril vs Demokrat soal Gugat AD/ART

Pengacara Yusril Ihza Mahendra menyebut, kantor hukumnya mewakili kepentingan hukum empat anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 01 Okt 2021, 06:32 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2021, 06:32 WIB
Yusril Temui OSO Bahas Putusan MK Terkait DPD
Yusril Ihza Mahendra saat memberi keterangan kepada awak media saat melakukan pertemuan dengan Ketua DPD Oesman Sapta Odang di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (26/7). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Yusril Ihza Mahendra menyebut, kantor hukumnya mewakili kepentingan hukum empat anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Judicial Review yang dimaksud Yusril meliputi pengujian formil dan materil terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan Menkumham tanggal 18 Mei 2020.

Oleh karena AD/ART sebuah parpol baru dinyatakan sah dan belaku setelah disahkan Menkumham, maka Termohon dalam perkara pengujian AD/ART Partai Demokrat Menteri Hukum dan HAM.

"Langkah menguji formil dan materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Keduanya mendalilkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Partai Politik. Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Kamis 23 September 2021 lalu.

Menanggapi hal itu, politisi Partai Demokrat Andi Arief mengungkap Yusril pernah mengajukan penawaran bayaran Rp 100 miliar untuk memakai jasanya. Demokrat pun menolak tawaran tersebut. Namun, kini Yusril justru menjadi pendukung Moeldoko.

"Begini Prof @Yusrilihza_Mhd, soal gugatan JR pasti kami hadapi. Jangan khawatir. Kami cuma tidak menyangka karena Partai Demokrat tidak bisa membayar tawaran anda 100 milyar sebagai pengacara, anda pindah haluan ke KLB Moeldoko," kata Andi Arief melalui akun Twitter pribadinya, Rabu 29 September 2021.

Berikut fakta-fakta terkait perseteruan Yusril Ihza Mahendra dengan Partai Demokrat terkait judicial review ke Mahkamah Agung dihimpun Liputan6.com:

 

1. Yusril Bela Kubu Moeldoko

PBB Lolos Pemilu 2019
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (kiri) menunjukkan bingkai nomor urut 19 di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (6/3). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Yusril Ihza Mahendra mendampingi empat bekas anggota Partai Demokrat yang berada di Kubu Moeldoko untuk mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Demokrat tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).

Ia membenarkan bahwa kantor hukumnya mewakili kepentingan hukum empat anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Judicial Review dimaksud meliputi pengujian formil dan materil terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan Menkumham tanggal 18 Mei 2020.

Oleh karena AD/ART sebuah parpol baru dinyatakan sah dan belaku setelah disahkan Menkumham, maka Termohon dalam perkara pengujian AD/ART Partai Demokrat Menteri Hukum dan HAM.

"Langkah menguji formil dan materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Keduanya mendalilkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Partai Politik. Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Kamis 23 September 2021.

Dia menyebut, Mahkamah Partai yang merupakan quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ARD. Begitu juga Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perselisihan internal parpol yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai, tidak berwenang menguji AD/ART.

TUN juga tidak berwenang mengadili hal itu karena kewenangannya hanya untuk mengadili sengketa atas putusan tata usaha negara.

"Karena itu saya menyusun argumen yang Insya Allah cukup meyakinkan dan dikuatkan dengan pendapat para ahli antara lain Dr Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Dr Fahry Bachmid, bahwa harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukannya dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak, sebab penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang," terangnya.

Yusril mengatakan bahwa kedudukan Parpol sangatlah mendasar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara kita. Ada 6 (enam) kali kata partai politik disebutkan di dalam UUD 1945.

Begitu partai politik didirikan dan disahkan, lanjutnya, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

"Mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi? Jangan pula dilupakan bahwa partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang berarti dibiayai dengan uang rakyat," katanya.

Yusril berpendapat jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola “suka-suka” oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya yang dilegitimasi oleh AD/ARTnya yang ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945.

"Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak? Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak? Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik?," jelas Yusril.

 

2. Yusril Gandeng Pakar Hukum Tata Negara

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (Liputan6.com/ Rezki Apriliya Iskandar)

Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengaku dirinya diminta pengacara Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli dalam pengajuan judicial review Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Dia menerimanya lantaran hal itu sesuai dengan kapasitas akademik dan keilmuannya.

Selain Fahri Bachmid, Yusril juga akan menghadirkan Ahli yang relevan dengan pokok perkara ini. Mereka adalah Hamid Awaludin, dan Prof Abdul Gani Abdullah.

"Keterangan saya telah disampaikan, dan menjadi bagian dari berkas permohonan untuk kepentingan pemeriksaan perkara judicial review di MA," kata Fahri Bachmid kepada wartawan, Selasa 28 September 2021.

Menurut Fahri, gugatan AD/ART Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono itu merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas, melalui suatu terobosan hukum dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan 'kesisteman' partai politik di Indonesia ke depan. Juga dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta konstitusional.

"Ketika Prof Yusril mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mafhum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini," tuturnya.

Sebab secara hipotetis, Fahri mengatakan, bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik.

Karena UU No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.

"Dan tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya," tandasnya.

Sedangkan di sisi lain, AD/ART adalah peraturan dasar hukum yang mengatur secara internal parpol. Anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik.

Dengan demikian, lanjut dia, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodel, tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.

"Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum 'legal vacuum' yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan 'breakthrough' secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang," tukas Fahri Bachmid.

Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum 'rule breaking' penting dan signifikan, dalam tata hukum nasional oleh MA. Dan secara teoritik hal itu sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.

Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri 'rechtsonzekerheid' atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum 'rechtsverwarring' itulah urgensi dan pentingnya dari 'lagal action' ini sesungguhnya.

"Sehingga berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum," paparnya.

Partai politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan "Partai politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum". Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.

Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018, di mana MK telah menerima permohonan sebagai pihak Pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai badan hukum publik sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang.

"Dengan demikian judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik," katanya.

Urgensi judicial review, dikatakan Fahri Bachmid, sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman judicative power yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.

Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.

"Ahirnya, persoalan dan konteks ini harus diletakkan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan sebuah ijtihad konstitusional, atau suatu langkah secara legal konstitusional ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART Parpol, serta kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme dan oligarkis partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik," beber Fahri Bachmid.

 

3. Demokrat Heran Kini Yusril Berbelok, Beberkan Pernah Minta Bayaran Rp 100 M

Politikus Demokrat Andi Arief
Politikus Demokrat Andi Arief. (Liputan6.com/M. Radityo)

Politisi Partai Demokrat Andi Arief mengungkap Yusril Ihza Mahendra pernah mengajukan penawaran bayaran Rp 100 miliar untuk memakai jasanya. Demokrat pun menolak tawaran tersebut. Namun, kini Yusril justru menjadi pendukung Moeldoko.

"Begini Prof @Yusrilihza_Mhd, soal gugatan JR pasti kami hadapi. Jangan khawatir. Kami cuma tidak menyangka karena Partai Demokrat tidak bisa membayar tawaran anda 100 milyar sebagai pengacara, anda pindah haluan ke KLB Moeldoko," kata Andi Arief melalui akun Twitter pribadinya, Rabu 29 September 2021.

Hal sama juga dikatakan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat, Rachland Nashidik yang mengatakan tak akan berhenti mengungkap klaim palsu Yusril Ihza Mahendra.

Dia meminta agar Yusril mengakui menjual keahlian soal hukumnya namun mengatasnamakan demokrasi.

"Saya tak bakal stop membongkar klaim palsunya Yusril, kecuali dia mengakui menjual jasa profesionalnya tanpa embel-embel demokrasi. Tapi di situ juga ada pertanyaan: apa karena Demokrat tak sanggup bayar 100 miliar maka Yusril pindah membela kubu Moeldoko? Dibayar lebih mahal?" tulis Rachland dalam unggahan di akun Twitter-nya.

 

4. Keprihatinan Yusril

Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra
Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra (Liputan6/Lizsa Egeham)

Politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik menuding Yusril Ihza Mahendra menjual keahliannya soal hukum dengan mengatasnamakan demokrasi. Andi Arief bahkan mengungkap Yusril pernah mengajukan penawaran bayaran Rp 100 miliar untuk memakai jasanya kepada Demokrat.

Mananggapi hal tersebut, Yusril menyatakan keprihatinannya terkait sikap para politikus Demokrat yang terus menyerang pribadinya.

"Sama seperti (foto) Pak SBY. Saya juga prihatin sama omongan Rachland," kata Yusril di Jakarta, Rabu 29 September 2021.

Namun, Yusril enggan menanggapi banyak soal tuduhan mengajukan bayaran Rp 100 miliar kepada Demokrat untuk memakai jasanya.

"Di PD ada tokoh-tokoh sekaliber Dr Amir Syamsudin dan Dr Benny K Harman yang sangat faham masalah hukum. Mengapa DPP PD tidak menyiapkan suatu perlawanan hukum ke Mahkamah Agung. Ayo peras otak dan cari jalan menghadapinya, bukan teriak-teriak seperti Rachland Nasidik. Dalam pengujian ke MA tersebut, saya bertindak profesional sebagai advokat. Saya tidak bertindak secara pribadi. Juga bukan sebagai Ketua Umum PBB," jelas Yusril.

Yusril pun meminta Partai Demokrat menggunakan pikiran yang jernih untuk menghadapi persoalan.

 

(Lesty Subamin)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya