Komisi III DPR: Putusan MK Terkait UU Ciptaker Positif, Namun Tak Mudah Dimengerti

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP I Wayan Sudirta menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja berdampak positif.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 19 Feb 2022, 22:47 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2022, 22:47 WIB
FOTO: Unjuk Rasa Buruh Tuntut Pencabutan UU Cipta Kerja
Buruh melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Buruh menuntut pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja dan meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mundur. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP I Wayan Sudirta menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja berdampak positif. Namun menurutnya, putusan tersebut dari sisi kepastian hukum tidak mudah dimengerti.

Hal ini disampaikan I Wayan Sudirta dalam acara Webinar Diskusi Hukum Himpunan Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (HIMA PDH UKI) di Jakarta, Sabtu (19/2/2022).

Menurut Wayan, putusan MK itu telah membuka pintu lebar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Putusan MK tersebut tegas menyatakan bahwa partisipasi masyarakat harus dilakukan secara bermakna atau meaningfull partisipation. Dari sudut pandang ini, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan diberikan angin segar untuk berperan aktif dalam law making process," ujar Wayan yang memberikan sambutan sebagai Ketua Umum HIMA PDH UKI.

Wayan menyampaikan, ada catatan kritis terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut. Pertama, MK tidak memberikan kepastian hukum secara mutlak. Kedua putusan tersebut dinilai sebagai bentuk intervensi kekuasaan kehakiman terhadap eksekutif.

Wayan mengutip Ron Fuller dalam buku Internal Morality of Law yang menyatakan salah satu parameter kepastian hukum adalah putusan yang mudah dimengerti.

"Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru masuk dalam kategori putusan yang ambigu dalam konsepsi Fuller," jelas Wayan.

Acara webinar ini dibuka oleh Bintang Simbolon sebagai Direktur Pasca Sarjana UKI dan Prof. John Pieris sebagai Kaprodi Program Doktor Hukum (PDH) UKI. Dalam sambutannya John Pieris mengatakan bahwa putusan MK cukup mengejutkan banyak pihak dengan diksi yang sedikit susah dimengerti, bahkan oleh pemerhati ilmu hukum.

Tapi, yang jelas putusan MK memerintahkan perubahan terhadap dua UU, yaitu UU Cipta Kerja sendiri dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Catatan kritis saya kepada pembentuk undang-undang adalah tidak etis kalau mengatakan pihak yang tidak sepakat dengan UU ini, ajukan judicial riview ke MK. Simplifikasi seperti ini sangat tidak sehat," kata dia.

Sementara narasumber lain dalam diskusi ini, yakni Adiya Daswanta dari Universitas Indonesia (UI) menyatakan bahwa putusan MK layak diapresiasi karena membuka proses formil pembentukan UU Cipta kerja.

"Sebenarnya putusan MK tidak harus merubah UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (P3)," jelas Adiya.

Omnibus Law Kebutuhan Legislasi Modern?

Sedangkan Albert Aries dari Universitas Trisakti berpendapat bahwa metode omnibus law merupakan wujud dari kebutuhan legislasi modern. Pembicara lain, Darwin Botutihe dari Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan bahwa putusan MK melahirkan banyak sekali penafsiran hukum di tengah masyarakat.

Sementara Sarip, narasumber dari Universitas Muhammadiyah Surakarta berpendapat bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih berlaku sesuai dengan tenggat waktu putusan MK.

Selanjutnya dari Universitas Pelita Harapan, Aria Suyudi menyatakan bahwa proses perubahan UU Cipta Kerja harus dilaksanakan secara tertib prosedural dan dengan standar kepatuhan tinggi terhadap prinsip pembentukan peraturan perundangan yang ada untuk memastikan hasil yang optimal bagi rencana pemerintah untuk mewujudukan Indonesia yang adil dan makmur.

Terakhir, Wachid Nugroho, pembicara mewakili PDH UKI menyampaikan bahwa Omnibuslaw sebaiknya dilakukan dengan single substance tidak multi substance seperti UU Cipta Kerja.

Webinar diketuai Hanugra Ryantoni dimoderatori oleh Blucer Rajagukguk dan Heddy Kandau selaku pembawa acara. Webinar yang diikuti oleh 162 peserta ini ditutup oleh sambutan dari Wayan.

Dalam sambutan penutupnya, Wayan berharap nilai-nilai Pancasila harus dirumuskan secara sistematis dan holistik sebagai sebuah peraturan perundang-undangan.

"Hasil dari Webinar ini, akan kami bukukan dalam bentuk prosiding yang akan disampaikan kepada Presiden dan DPR RI" terang Wayan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya