Politikus PDIP Sebut Pernyataan Luhut Terkait Pengolahan Kepala Sawit Hanya Gertak Sambal

Deddy menyebut ada banyak persoalan hulu dalam industri sawit yang seharusnya diurusi oleh Luhut sebagai orang yang ditugasi membereskan sengkarut minyak goreng.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 30 Mei 2022, 16:21 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2022, 16:21 WIB
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. (Dok Kemenko Marves)
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. (Dok Kemenko Marves)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi PDIP Deddy Yevri Sitorus mempertanyakan logika dan regulasi terkait pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut bahwa kantor pusat perusahaan sawit harus berada di Indonesia.

Menurut dia, pernyataan Luhut tersebut terkesan hanya berusaha menaikkan popularitas di tengah kritikan publik. Deddy menilai Luhut terkesan gertak sambal semata.

"Saya sih senang dengan pernyataan Pak Luhut itu, tetapi apa memang ada regulasinya? Apakah memang ada UU atau aturan pemerintah yang menyatakan dan mengharuskan semua investor yang berinvestasi harus berkantor pusat di Indonesia?" kata Deddy Yevri, dalam keterangannya, Senin (30/5/2022).

"Atau kah itu hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan sawit saja, tidak untuk perusahaan smelter, pembangkit listrik, tambang, migas, konsultan, lawyer, rumah sakit, telekomunikasi dan sebagainya?" sambungnya.

Deddy menilai pernyataan Luhut itu sangat populis, progressif dan heroik. Hanya saja, pernyataan itu terkesan gertak sambal saja karena tak ada landasan hukum yang jelas.

"Tanpa landasan hukum, kesannya jadi sekedar gertak sambal belaka," ucapnya.

Deddy menyebut ada banyak persoalan hulu dalam industri sawit yang seharusnya diurusi oleh Luhut sebagai orang yang ditugasi membereskan sengkarut minyak goreng.

Misalnya, masalah Domestic Price Obligation (DPO) meliputi penetapan harga Tandan Buah Sawit (TBS) hingga CPO, serta produk minyak goreng yang masih mengacu pada harga internasional.

"Belum lagi soal mekanisme pemungutan dan kontrol CPO hasil DMO, kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas cadangan nasional hingga distribusi," tutur Deddy.

Masalah hulu lain yang jauh lebih penting adalah soal jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) dan pengembalian aset itu kepada negara. Kemudian, soal plasma dan luasan HGU yang merugikan bahkan mengorbankan petani kecil pemilik lahan dan masyarakat adat, hingga sering menimbulkan konflik dimana-mana.

"Kenapa soal-soal hulu yang fundamental seperti itu tidak dipikirkan oleh LBP?. Kalau itu yang dia ingin selesaikan, saya angkat topi dan bangga," tutur dia.

 

Masalah Kompleks di Perkebunan Sawit

Unjuk Rasa Petani Kelapa Sawit Terkait Larangan Ekspor
Massa yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menunjukkan kelapa sawit saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Apkasindo meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi meninjau ulang kebijakan larangan ekspor sawit dan produk MGS serta bahan bakunya karena dampaknya langsung ke harga TBS sawit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Deddy mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali masalah dalam perkebunan sawit terkait luasan lahan. Hal itu merugikan keuangan negara dari sektor penerimaan pajak, termasuk dugaan manipulasi pajak juga.

Menurutnya, kalau kelebihan lahan hasil caplokan perusahaan itu diberikan kepada masyarakat lokal atau masyarakat adat, akan memberikan kesejahteraan.

“Tapi kok Luhut tidak berpikir membereskan masalah lahan ini yang sudah merupakan konflik bersifat manifes dan sering memakan korban jiwa rakyat kecil," jelas Deddy.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akan mewajibkan seluruh kantor pusat perusahaan sawit untuk berada di Indonesia. Langkah ini agar proses pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan perusahaan tersebut juga membayar pajak ke Indonesia.

Menurut Luhut, masih banyak perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri sehingga menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari pajak. "Saya lapor Presiden, 'Pak, headquater-nya (kantor pusat) harus semua pindah ke sini'," kata Luhut sesuai dimuat sejumlah media massa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya