Fahri Hamzah Sebut 8 Bulan Jeda Pilpres - Pelantikan Ciptakan Dualisme Kepemimpinan

Ddurasi yang cukup panjang dari pengumuman hasil Pilpres 2024 hingga pelantikan presiden pada Oktober 2024 akan membuyarkan konsentrasi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo.

oleh Muhammad Ali diperbarui 27 Jun 2022, 08:00 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2022, 07:44 WIB
Fahri Hamzah
Presiden Keluarga Alumni (KA) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Fahri Hamzah. (Merdeka.com)

 

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mencermati jeda waktu antara pengumuman hasil pilpres 2024 menuju pelantikan presiden yang berdurasi 8 bulan dan mengkhawatirkan kemungkinan munculnya dualisme kepemimpinan nasional.

Dalam jadwal dan tahapan pemilu, disebutkan bahwa pemungutan suara akan dilaukan pada 14 Februari 2024. Sementara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden akan dilakukan pada Oktober 2024. Ada delapan bulan jeda antara hasil pemilu dengan pelantikan.

“Presiden terpilih dari Pilpres 2024 akan menjadi magnet bagi semua kekuatan politik. Sebaiknya kita berikan kesempatan yang baik dan penuh bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bekerja sampai masa jabatannya berakhir,” kata Fahri dikutip dari Antara, Minggu 26 Juni 2022.

Ia mengkhawatirkan durasi jeda waktu yang cukup panjang dari pengumuman hasil Pilpres 2024 hingga pelantikan presiden pada Oktober 2024 akan membuyarkan konsentrasi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo.

Adanya jeda waktu selama 8 bulan sebelum pelantikan presiden terpilih diselenggarakan, tutur Fahri melanjutkan, akan mengakibatkan semacam dualisme kepemimpinan nasional.

Oleh karena itu, ia berharap publik dan seluruh jajaran pemerintahan agar dapat memastikan pemerintahan Presiden Jokowi dapat berjalan dengan baik hingga masa jabatannya berakhir.

Sementara itu, Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra menyatakan jeda waktu yang lama dari Pemilihan Presiden 14 Februari 2024, hingga pelantikan presiden terpilih 20 Oktober 2024 akan menciptakan keunikan dalam sistem pemerintahan. Menurutnya, keanehan itu adalah Indonesia seakan memiliki 'dua' Presiden, yakni Presiden yang masih menjabat, dan Presiden terpilih, hasil Pilpres.

"Yang dimaksud di sini sebagai 'bebek lumpuh', adalah presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun belum dilantik," kata Azyumardi.

Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi.

Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi "bebek lumpuh".

Situasi semacam itu, lanjut Azyumardi, akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi disorientasi pemerintahan. Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah, sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pemilu Legislatif 2024.

"Semoga para anggota Parlemen hasil Pileg 2024 nantinya akan memperbaiki hal ini, agar praktik demokrasi kita semakin membaik," ucap Azyumardi.

 

Periode Lame Duck

Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas membenarkan bahwa segera setelah pilpres, baik putaran satu atau dua, pengaruh atau posisi tawar presiden yang sedang menjabat kemungkinan besar akan menurun di kalangan sekutu politiknya. Periode "lame duck" pun akan terjadi selama 8 atau 4 bulan.

"Pada saat itulah sekutu politik akan pergi ke pemenang atau presiden terpilih. DPR juga mulai tidak responsif terhadap keinginan presiden petahana," kata Sirojudin.

Pengaruh lainnya, lanjut Sirojudin adalah penurunan pengaruh presiden yang menjabat di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol. Kerja birokrasi pun menjadi terhambat.

"Birokrasi kita cenderung mendekat kepada kabinet bayangan atau tim pemenang," ujarnya.

Sementara itu, Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan mengatakan "lame duck" akan berimplikasi pada penggunaan APBN, "state procurement". Pemerintah yang terkena situasi bebek lumpuh, menurut Imron, tidak akan optimal menggunakan anggaran negara. Dan bila itu terjadi perekonomian negara akan terganggu.

"Belanja negara itu penting untuk memutar perekonomian nasional, karena Indonesia dan negara-negara di dunia lain juga sedang menghadapi disrupsi market, akibat dari beberapa hal, seperti pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina," ujar Imron.

Maka, menurut Imron yang harus menjadi perhatian bersama adalah agar implementasi APBN pada 2024 tidak terganggu, dan diperlukan kebijakan kolektif dari para elit, untuk menyatukan sikap mengatasi periode tersebut. Sebab, menurutnya bila hal itu tidak diantisipasi, maka Indonesia berpotensi terjerumus pada krisis ekonomi dan sosial, yang tidak diinginkan semua pihak.

"Kita mendengar Presiden Jokowi menyatakan sudah ada 60 negara menuju krisis ekonomi saat ini, dan bahkan beberapa di antaranya sudah bangkrut. Seperti Sri Lanka, di sana sudah tak ada pemerintahan, sudah tak ada lagi pelayanan publik. Jangan sampai Indonesia mengarah ke sana," ujar Imron.

Infografis Rencana Kunjungan Jokowi ke Ukraina-Rusia di Tengah Konflik
Infografis Rencana Kunjungan Jokowi ke Ukraina-Rusia di Tengah Konflik (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya