Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai adanya motif lain dalam perhelatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke Rusia dan Ukraina pada beberapa hari lalu.
Menurut dia, Jokowi yang diterima langsung oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy serta Presiden Rusia Vladimir Putin punya motif lain bukan sekedar perdamaian. Tetapi jadi tanda upaya langkah antisipasi bilamana krisis ekonomi terjadi.
Advertisement
Baca Juga
"Saya kira ini bisa disebut jaga-jaga, kalau jadi krisis ekonomi presiden sudah setidaknya menunjukkan pernah upaya serius yang ditunjukkan pemerintah," kata Djayadi saat diskusi politik bersama Total Politik di Jakarta Selatan, Minggu (3/7/2022).
Dia menilai, imbas perang dua negara tersebut bisa saja menimbulkan krisis ekonomi, akibat dilakukannya embargo negara-negara Eropa pada Rusia.
Tak hanya itu, perjalanan Jokowi terutama ke Rusia dan Ukraina juga dinilai sebagai bentuk komunikasi publik pemerintah kepada masyarakat bahwa saat ini sebagian besar negara sedang menghadapi masa sulit.
Terlebih, akibat pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab dari kesulitan tersebut yang kian diperparah dengan perang yang masih berlangsung antara Rusia dan Ukraina.
"Tapi akibat adanya perang itu, kita menghadapi masalah lebih besar. Kalau anda bandingin, diesel, premium, di outlet luar negeri kan sudah 20 ribuan, di pertamina masih 13 ribuan. Artinya yang paling mahal pun disubsidi," jelas Djayadi.
Â
Upaya Pemerintah
Dengan begitu, Djayadi beranggapan kalau kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina sebagai upaya pemerintah dalam mengupayakan potensi adanya krisis ekonomi.
Anggapan untuk antisipasi krisis ekonomi, kata dia, terlihat dari pernyataan Jokowi yang menyebut kalau kunjungannya tersebut guna memastikan distribusi pupuk sama gandum tetap terjaga guna menghindari krisis pangan dan krisis energi.
"Ini menunjukkan kita lagi susah kalau nanti ada hal-hal yang negatif, jadi ini semacam preparing a soft landing. Hal-hal itu menjadi perhitungan ke depan," pungkasnya.Â
Advertisement
Krisis Pangan dan Energi
Laporan Program Pangan Dunia (WFP) yang dirilis pada Juni 2022 mengatakan sekitar 345 juta penduduk dunia menghadapi kerawanan pangan akut. Penyebabnya ditengarai antara lain lumpuhnya ekspor pupuk dan gandum dari Rusia dan Ukraina.
Peneliti ekonomi CSIS Dandy Rafitrandi mengatakan, kunjungan Jokowi sebagai upaya meningkatkan komunikasi antara negara-negara G7, Rusia, dan Ukraina. Terutama untuk menyelesaikan masalah pasokan makanan dan pupuk.
"Kita harus fokus bagaimana jaminan dari Presiden Putin untuk menjamin rantai pasokan pangan dan pupuk," tutur Dandy. Agenda jangka pendek adalah mengamankan pasokan makanan dan pupuk. Semua negara anggota G20 harus terlibat sebab bisa saja tahun depan terjadi kelangkaan pangan, kata Dandy.
Kendati demikian, Dandy mewanti-wanti bahwa rantai pasokan pangan dan pupuk kemungkinan tidak bisa langsung kembali stabil dan normal usai KTT G20. Hal itu kembali lagi tergantung rencana tindak lanjut usai pertemuan KTT G20 di Pulau Dewata. Ada beberapa tantangan yang akan akan muncul tahun depan menurut beberapa laporan.
"Krisis pangan, energi, dan inflasi masih jadi tantangan utama masyarakat dunia," kata Dandy sambil melanjutkan bahwa krisis pangan, pupuk, dan energi tidak hanya berdampak pada negara-negara anggota G20.
"Yang paling terdampak adalah negara-negara berkembang yang masih berjuang dengan COVID. Mereka butuh akses vaksin. Berjuang menghadapi inflasi," ujar Dandy.
Â
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com