Kekerasan di Pesantren Telan Korban Jiwa, Ini Kata Wapres Ma'ruf Amin

Wapres Ma’ruf ingin proses belajar mengajar di Gontor tidak terganggu oleh kasus itu. Kasus ini juga sedang ditangani dengan baik oleh polisi dan pihak manajemen Gontor.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Sep 2022, 10:20 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2022, 20:24 WIB
Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin
Menyambut hari besar umat Islam tersebut, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengharapkan Muslim di Indonesia dapat berhijrah ke arah yang lebih baik lagi, baik sebagai pribadi, kelompok, maupun bangsa. (Foto: BPMI, Setwapres).

Liputan6.com, Jakarta - Seorang santri di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, meninggal setelah mengalami penganiayaan. Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta kekerasan serupa tidak terulang di lembaga pendidikan pesantren maupun lainnya.

"Wapres juga memberikan satu arahan agar jangan sampai terjadi kekerasan yang seperti itu lagi di lembaga pendidikan, apakah itu pesantren ataupun lembaga pendidikan berasrama yang lain ataupun apakah yang berlatar belakang agama ataupun tidak lah ya, lembaga pendidikan, semuanya, itu sangat-sangat tidak baik," kata Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi kepada wartawan, Selasa (6/9/2022).

Dia mengatakan, lembaga pendidikan harus mengambil pelajaran dari kasus itu. Hindari kekerasan ataupun hukuman fisik yang tidak tepat. Menurutnya, banyak peristiwa kekerasan terjadi beruntun di lingkungan pendidikan.

"Dulu juga pernah terjadi di lembaga pendidikan negara, IPDN, terus di mana lagi, banyak sekali kejadian seperti itu yang itu disebabkan oleh proses yang dihubungkan dengan pelatihan fisik bagi seorang siswa misalnya. Ada yang mungkin tidak berkaitan itu secara langsung mungkin ya," tuturnya.

Masduki mengungkapkan, Wapres Ma’ruf ingin proses belajar mengajar di Gontor tidak terganggu oleh kasus itu. Kasus ini juga sedang ditangani dengan baik oleh polisi dan pihak manajemen Gontor.

"Kan juga sangat terbuka dan cukup bekerja sama dengan baik untuk proses pemeriksaan ini, ada beberapa saksi dan seterusnya," ucapnya.

"Nah ini kan yang di Gontor kita juga belum belum tahu apakah itu ada hubungannya dengan proses bagian dari proses punishment dari pendidikan atau tidak kita tidak tahu," tambahnya.

Masduki berharap, kasus ini segera selesai. Gontor yang selama ini dikenal sebagai pesantren bereputasi baik harus memetik pelajaran.

"Setidaknya mudah-mudahan ini segera selesai dan Gontor sebagai lembaga pendidikan yang selama ini reputasinya baik mudah-mudahan terus bisa berjalan bagus dan bisa mengambil pelajaran dari peristiwa ini," tutupnya.

Kasus dugaan penganiayaan hingga menyebabkan kematian terhadap AM (17), santri Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor 1 Pusat, Ponorogo, terungkap usai orang tua korban, SM mengadu ke pengacara Hotman Paris Hutapea.

Derai tangisan dan amarah SM tak terbendung usai menyaksikan fakta yang berbeda dengan keterangan pihak Ponpes Gontor sesaat setelah tiba mengantar jenazah AM. Setelah didesak keluarga korban, pihak pesantren akhirnya buka suara akan fakta sebenarnya tentang penyebab kematian AM.

"Sungguh sebagai ibu saya tidak kuat melihat kondisi mayat anak saya. Amarah tak terbendung, kenapa laporan yang disampaikan berbeda dengan kenyataan yang diterima," kata SM di Palembang.

Dalam surat terbuka yang diterima merdeka.com, mendapat kabar bahwa anaknya meninggal dunia di Pesantren Gontor, Senin (22/8) pukul 10.20 WIB. Dia tak percaya kabar itu karena anaknya tidak ada kabar sakit atau apa pun.

Kecurigaan muncul begitu mendapatkan surat keterangan yang menyebutkan anaknya meninggal dunia pukul 06.45 WIB. SM curiga terjadi apa-apa karena rentang waktu meninggal dan kabar ke keluarga cukup lama. "Ada apa ini? Rentang waktu itu menjadi pertanyaan keluarga kami," ujarnya.

 

 

Selasa (23/8) siang, jenazah tiba di Palembang yang diantar seorang perwakilan dari Gontor. Di hadapan pelayat, keluarga menyebut korban meninggal usai terjatuh akibat kelelahan mengikuti Perkemahan Kamis-Jumat (Perkajum), seperti yang diceritakan para wali santri yang lain.

Hingga akhirnya keluarga meminta kain kafan yang menutup jenazah dibuka. Keluarga kaget karena ditemukan beberapa luka lebam diduga akibat kekerasan, bahkan keluarga harus mengganti dua kali kain kafan karena banyaknya darah yang terus mengalir dari jenazah.

Merasa ada kejanggalan, keluarga menghubungi pihak forensik dan rumah sakit untuk melakukan autopsi. Namun setelah didesak, akhirnya perwakilan Ponpes Gontor 1 yang mengantar jenazah mengakui bahwa korban meninggal akibat terjadi kekerasan.

"Saya pun tidak bisa membendung rasa penyesalan saya telah menitipkan anak saya di sebuah pondok pesantren yang notabene nomor satu di Indonesia," kata dia.

SM meminta Hotman untuk melaporkan kasus ini ke Polda Jatim. Hotman pun mengaku berjanji akan mengawal kasus hingga tuntas.

 

 

Pelaku Dikeluarkan

Menurut keterangan Kapolres Ponorogo, AKBP Catur Cahyono Wibowo, pihak kepolisian telah menindaklanjuti kasus ini dengan mendatangi ponpes guna melakukan proses penyelidikan, meskipun belum ada laporan masuk.

Terkait peristiwa ini Ponpes Gontor buka suara tentang kronologi kematian AM melalui jubirnya, Noor Syahid. Pihaknya meminta maaf dan mengucap belasungkawa yang mendalam serta menyesalkan sampai adanya peristiwa nahas berujung kematian AM ini.

Menurut Noor, berdasar temuan dari pengasuh santri Ponpes, memang benar diindikasi telah terjadi penganiayaan pada korban. Diketahui motif penganiayaan di balik meninggalnya AM adalah perkara peralatan tenda kemah yang ketika dikembalikan AM usai dipinjamnya kepada senior di Pesantren untuk berkemah, tidak lengkap.

Memicu rasa kekesalan pelaku atas perilaku AM yang dianggap teledor, dilakukanlah penganiayaan terhadap korban (AM). Nahas, AM meninggal di lokasi kejadian sesaat setelah dilakukannya penganiayaan itu.

Terduga pelaku pun lantas ditindak tegas dengan dikeluarkannya secara permanen dari Pesantren. Kini tersangka telah dikembalikan kepada orang tua.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya