Liputan6.com, Jakarta - Masalah kesehatan mental sudah sering jadi tranding topic di media sosial. Para remaja juga sudah mulai menyuarakannya. Sebab, kena mental alias kesehatan mentalnya terganggu, dapat berdampak pada cara seseorang dalam menangani sesuatu.
Misalnya dalam penanganan stres, relasi dengan orang lain, bahkan dalam memicu adanya hasrat untuk menyakiti diri sendiri. Beberapa pekan lalu, kasus bunuh diri salah satu mahasiswa di Yogyakarta sempat menghebohkan masyarakat.
Keputusan yang dilakukan korban tersebut diduga dilatarbelakangi adanya permasalahan kesehatan mental. Saat itu pihak Kepolisian menemukan surat terkait hasil pemeriksaan psikologi TSR dari Rumah Sakit JIH Sleman di dalam tas milik korban.
Advertisement
Peristiwa tersebut jadi satu di antara kasus bunuh diri yang terjadi pada remaja sekaligus menambah pentingnya penanganan kesehatan mental di Indonesia.
Projects Leader dan Founder Emotional Health for All (EHFA) Sandersan Onie atau Sandy menyatakan terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakangi tingginya remaja yang dinyatakan mengalami gangguan kesehatan mental. Selain faktor biologis dan genetik, lingkungan mempunyai andil yang cukup besar. Menurut dia, remaja saat ini tumbuh dalam lingkungan yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Misalnya tingginya kompetensi, perkembangan ekonomi dan kesehatan yang fluktuatif. Bahkan beberapa tahun terakhir semua masyarakat dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi yang baru saat pandemi Covid-19. Di mana lingkup aktivitas dan bersosialisasi secara tatap muka sangat terbatas.
Menurut Sandy, peningkatan tersebut terjadi secara global tak hanya di Indonesia. Peningkatan tersebut kata dia bukan karena lebih mudah dalam mendeteksi, namun dari segi keparahan yang terjadi. Bahkan data terbaru menunjukkan jika 1 dari 8 orang di Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa yang cukup parah.
"Kita kalau sudah sampai masuk rumah sakit berarti sudah parah kan, nah itu sekitar 7 tahun lalu orangnya sekitar 260 anak per 100 ribu orang. Jadi 260-270 orang itu dalam kategori remaja. Sekarang angka itu meningkat melebihi 350, jadi memang gejala depresi dari gangguan jiwa yang dialami oleh remaja itu meningkat pesat," kata Sandy kepada Liputan6.com
Peningkatan Jumlah Percobaan Bunuh Diri
Selanjutnya, berdasarkan analisis data yang ada, Sandy menyebut kasus bunuh diri remaja di Indonesia minimal empat kali lipat dari dari data yang terlapor. Karena hal itu, Indonesia salah satu negara dengan laporan kasus bunuh yang rendah. "Dan lebih dari itu angka percobaan bunuh diri bahkan jauh lebih besar antara 7-24 kali lipat dari angka kematian bunuh diri," ucapnya.
Sementara itu Sandy menilai terdapat beberapa indikator yang menjadikan tantangan permasalahan kesehatan mental di Indonesia. Pertama yaitu stigma yang diterima dari lingkungan sekitar.
Menurut dia, dorongan dan kecenderungan untuk melakukan bunuh diri pada orang yang mengalami gangguan mental diakibatkan karena adanya stigma dan diskriminasi oleh masyarakat.
Kemudian belum memadainya sistem pendataan hingga infrastruktur mengenai penanganan kesehatan mental. "Sehingga orang di Indonesia baik itu depresi, anxiety, atau punya kecenderungan bunuh diri, mereka jarang sekali mau cerita ke orang-orang," ujar dia.
Peningkatan Stres Mempengaruhi Kondisi Kejiwaan Seseorang
Lalu Indonesia juga kekurangan jumlah psikiater dan psikolog. Saat ini jumlahnya tak lebih dari 5ribu saja. Selain itu, dalam penelitiannya disebutkan jika hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang peduli mengenai kesehatan mental. Lingkup kecil tersebut kata Sandy tampak dari ramainya warganet membahas di media sosial.
"Di luar sana masih banyak sekali yang belum mengenali awarness tentang kesehatan jiwa. Jadi kita harus terus, karena masih banyak sekali yang perlu dilakukan," lanjutnya.
Sandy juga menyebut, penanganan permasalahan kesehatan mental di Indonesia saat ini perlu dilakukan pengembangan yang lebih lanjut. Faktor budaya setiap daerah juga menjadi pertimbangan dalam penyelesaiannya.
Sebagai penyitas depresi, Sandy juga memberikan beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh masyarakat saat mengalami permasalahan kesehatan mental. Pertama yaitu terbuka mengenai tantangan dan masalah yang dihadapi kepada orang yang bisa dipercaya.
Kata dia, untuk orang yang mengalami permasalahan kesehatan mental hanya membutuhkan didengarkan tanpa dihakimi. Jika permasalahan mental tak kunjung membaik, Sandy meminta masyarakat untuk meminta pertolongan kepada pihak profesional.
"Kita harus saling menjaga dan saling support, memang kompetisi itu penting tapi yang lebih penting itu kita saling mendukung. Karena kesehatan jiwa adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tanggung jawab psikolog, pemerintahan atau kementrian kesehatan," Sandy menandaskan.
Dapat Terjadi kepada Siapa Saja
Sementara itu, Ahli Madya Epidemiologi Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Edduwar Idul Riyadi menyatakan masalah gangguan jiwa dapat terjadi kepada siapa aja, mulai dari masyarakat dengan status ekonomi rendah hingga tinggi. Kemudian semua kondisi lingkungan juga berpotensi mengalami masalah gangguan kesehatan mental.
Dia mengungkapkan stres menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejiwaan seseorang. Misalnya Jakarta dengan penduduk yang padat, tingkat stresnya lebih tinggi dibanding di desa. "Peningkatan stres itu juga bisa memengaruhi kondisi kejiwaan seseorang, tapi ingat, kondisi kejiwaan seseorang juga dipengaruhi oleh ketahanan atau resiliensi mental seseorang," kata Edduwar dalam sebuah diskusi.
Edduwar mengatakan ketahanan mental sangat berperan dan berpengaruh pada diri seseorang. Ketahanan mental, kata dia tidak instan tetapi melalui suatu proses dari tahap perkembangan mulai masa kecil, remaja dan dewasa, termasuk kehidupan atau lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
"Ini yang membentuk ketahanan mental seseorang, sehingga kadang-kadang kita berpikir 'kok, masalah segitu saja bisa jadi terganggu' ini yang biasa kita pikir sepele, padahal sebenarnya itu bukan masalah sepele karena setiap orang memiliki ketahanan mental yang masing-masing berbeda untuk menilai stres-stres atau masalah yang timbul dalam kehidupannya," kata Edduwar.
Advertisement
2,45 juta Remaja di Indonesia Alami Gangguan Jiwa
Peristiwa bunuh diri salah satu mahasiswa di Yogyakarta beberapa pekan lalu menghebohkan masyarakat. Keputusan korban tersebut diduga dilatarbelakangi adanya permasalahan kesehatan mental. Peristiwa tersebut juga menambah pentingnya penanganan kesehatan mental di Indonesia.
Peneliti dari Pusat Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Amirah Ellyza Wahdi menyatakan berdasarkan survei yang telah dilakukan kondisi permasalahan kesehatan menunjukkan gejalanya mulai usia remaja.
Amirah mengatakan riset tersebut dilakukan pada populasi kelompok usia 10-19 tahun yang mencapai 44,5 juta jiwa.
"Dari data yang kami dapat berdasarkan survei yang telah lakukan dengan menggunakan instrumen yang spesifik didapatkan sekitar 5,5 persen, (atau) satu dari 20 orang remaja usia 10 sampai 19 tahun di Indonesia itu mengalami gangguan mental," kata Amirah kepada Liputan6.com.
Berdasarkan data tersebut setara dengan 2,45 juta remaja di Indonesia dinyatakan mengalami permasalahan kesehatan mental. Bahkan para remaja tersebut telah terdiagnosis sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
Meskipun angka tersebut terbilang tinggi, Amirah menyatakan data tersebut lebih rendah dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Gangguan mental yang terdiagnosis pada remaja tersebut juga bervariasi.
Gangguan Jiwa yang Dialami Remaja
Lanjut dia, terdapat lima gangguan mental yang difokuskan dalam survei yang dilakukan bersama beberapa lembaga lainnya itu. Salah satunya yakni gangguan cemas. Atau gangguan yang berisikan gejala-gejala mengenai kecemasan yang dikarenakan kondisi sosial dan fobia sosial.
"Kemudian ada depresi, gangguan depresi mayor ini yang mungkin awam sudah mulai mendapat gambaran ya depresi gimana orang kehilangan keinginan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan hati, seseorang yang susah tidur, kurang nafsu makan, rasa sedih yang mendalam dan terus-menerus ini masuk ke gangguan depresi mayor," ucapnya.
Kemudian ada juga gangguan perilaku atau hal-hal yang melanggar norma-norma, misalnya klitih yang terjadi di Yogyakarta. Selanjutnya yaitu post trauma stress disorder (PTSD). Di mana seseorang itu merasakan stres yang mendalam atau tekanan setelah trauma.
Gangguan terakhir yang menjadi fokus yaitu attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau kondisi hyperaktif dan sulit untuk berkonsentrasi.
"Gangguan mental ini yang terbanyak ada di kecemasan. Jadi kecemasan itu memang kondisi gangguan mental yang paling tinggi diderita oleh remaja-remaja di Indonesia," ujar dia.
Indonesia Kekurangan Jumlah Psikater dan Psikolog
Amirah juga menyatakan hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mentalnya. Sedangkan hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia adalah remaja. Selain itu untuk akses ke pelbagai fasilitas kesehatan di Indonesia juga masih rendah.
Dalam realitanya 75 persen psikiater dan psikolog klinis adanya di pulau Jawa dan lokasinya paling banyak di kota-kota besar. Sedangkan rasio psikiater berdasarkan standar WHO idealnya 1:30.000 penduduk.
Tak hanya dari sisi jumlah, sebaran psikiater juga belum merata. Masih terkonsentrasi di kota-kota besar saja. "Konsultan untuk kesehatan jiwa anak ini yang menjadi PR besar di Indonesia bagaimana caranya kita meratakan akses kesehatan jiwa di Indonesia," paparnya.
Kemudian tidak semua rumah sakit memiliki dokter spesialis jiwa. Berdasarkan penelitiannya, Amirah menyatakan ada pasien dari provinsi pemekaran yang akhirnya mendapatkan rujukan ke provinsi terdekat.
"Ini baru starting point ya jadi harapannya bisa dirasakan bagi semua pihak terkait bisa mulai langkah berikutnya seperti apa," dia menandaskan.
Pola Asuh Pengaruhi Kesehatan Mental Anak
Gangguan kesehatan mental mulai mendapatkan fokus tersendiri untuk sebagian masyarakat. Salah satunya yang oleh para kalangan remaja. Mereka pun mulai aktif mencari bantuan progresif saat merasakan hal yang aneh pada dirinya.
Psikolog Klinis Nirmala Ika menyatakan pola asuh menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi permasalahan kesehatan mental pada remaja. Mulai dari orang tua, keluarga, hingga guru.
"Namanya anak tetep butuh arahan, tetap butuh bimbingan sampai akhirnya mereka bisa jadi atau bisa kita lepas. Sebagai orang tua harus mau berubah. Dulu kita identitas kita jelas gitu, kita ke suku atau agama ya, tapi anak-anak sekarang enggak bisa begitu, kenapa karena tadi paparan informasi mereka itu besar banget," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Sedangkan remaja masih memiliki keterbatasan berpikir karena mereka dalam proses perkembangan. Sedangkan disisi lain tidak semua orang dewasa dapat menjelaskan dengan berbagai pengetahuan yang ada.
"Bayangkan ada seorang anak yang terlalu tahu banyak hal tapi karena mereka tidak bisa memprosesnya dengan baik secara diri sendiri belum punya kemampuan secara elaborasi. Di satu sisi orang di sekitarnya, seperti orang tuanya, guru atau masyarakat memberikan banyak rambu-rambu arahan yang tidak sesuai dengan mereka jadi jatuhnya kaya tekanan," paparnya.
Advertisement
Pemahaman Adanya Jarak Antar-Generasi
Lanjut Nirmala, hal tersebut merupakan bentuk ketidakselarasan antara orang dewasa dan remaja yang berdampak pada salah satu pihak merasa tertekan.
"Kalau boleh jujur orang dewasa juga berpikirnya masih banyak yang susah. Anak-anak ini diharapkan gemilang oleh orang dewasa dengan segala support yang ada, teknologi, finansial dan situasi sekarang yang jauh lebih baik, tapi secara psikologis atau mental, pertumbuhan neurosains mereka belum siap tapi terus dipush untuk melakukan itu," ujar dia.
Karena itu, dia meminta agar setiap orang dewasa harus tetap menyadari bahwa adanya jarak antara generasi terdahulu dengan saat ini. Mulai dari perkembangan teknologi, pola asuh, hingga tantangan yang dihadapi oleh remaja saat ini. Kemudian para orang dewasa juga harus memiliki kemauan untuk memahami adanya perbedaan tersebut.
"Kalau memang tujuan kita untuk kebaikan anak-anak untuk masa depan kita harus sama-sama berubah. Anak-anak ini memang perlu disiapkan untuk masa depan mereka tapi bukan dimanja, jadi secara mental dan fisik, secara etos kerja dan lain-lain. Kita sebagai orang tua juga harus mau berubah untuk menyiapkan mereka," ucap Nirmala.
Saat ini rata-rata para remaja yang menjalankan konseling kepada Nirmala lebih banyak mengalami gangguan kecemasan. Mulai dari kekhawatiran akan masa depan hingga kesalahan persepsi dalam menerima situasi atau permasalahan yang sedang dihadapi.
Misalnya kondisi stres akademi yang dialami, kemudian hubungan sosial yang tidak baik di sekolah ataupun di rumah juga dapat menyumbang ketidaksehatan mental mereka.
"Buat mereka itu suatu masalah yang besar jadi yang sering dimunculkan adalah tidak semangat sekolah, takut untuk berinteraksi dengan orang, depresi sampai punya keinginan untuk mengakhiri hidup," Nirmala menandaskan.