Menuntut Tanggung Jawab di Balik Kasus Gagal Ginjal Anak

Kasus gagal ginjal akut pada anak belum ada tanda yang membahagiakan. Para pihak seolah saling lempar tanggung jawab. Tak ada yang berani ngacung, malah justru tunjuk hidung.

oleh Muhammad Ali diperbarui 05 Nov 2022, 08:30 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2022, 00:03 WIB
Gejala Penyakit Gagal Ginjal
Ilustrasi Gejala Penyakit Gagal Ginjal Credit: pexels.com/Anna

Liputan6.com, Jakarta - Kasus gagal ginjal akut pada anak masih menunjukkan grafik yang mengkhawatirkan. Data yang dirilis Kementerian Kesehatan per Kamis 3 November 2022, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak mencapai 323 anak. 190 di antaranya meninggal dunia.

Pengawasan pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai lemah dalam memantau peredaran obat di Indonesia. Akibatnya, nyawa ratusan anak generasi penerus bangsa ini melayang dengan sia-sia.

DPR pun geram. Dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 3 November 2022, Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade meminta kasus ginjal akut ini diusut tuntas.

Bahkan dia mengusulkan adanya rapat gabungan antara Komisi VI dan Komisi IX. Sebab, Kepala BPOM Penny K Lukito menyebut izin impor pelarut obat sirop pemicu gagal ginjal melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Andre menilai sikap Kepala BPOM Penny K Lukito seakan-akan melempar tanggung jawab dengan menyalahkan Kemendag dalam kasus gagal ginjal akut pada anak. Padahal, Ia mendapat laporan dari Kemendag bahwa impor obat merupakan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan.

"Jadi terlihat sekali di sini BPOM tidak mau disalahkan. Bahkan saya juga punya data yang menariknya pak, seharusnya kan BPOM itu mengawasi hasil produksi obat. Jadi setiap bahan baku yang masuk dan jadi obat itu kan diawasi oleh BPOM, ini layak tidak, ini membahayakan kesehatan tidak," ungkapnya.

"Kemendag ini kan hanya mengeluarkan persetujuan impor kalau sudah ada rekomendasi dari Kemenkes. Nah tiba-tiba BPOM buang badan jauh banget ke Kemendag," sambung Andre.

Sementara Anggota Komisi X DPR RI dari Parta Golkar Robert J Kardinal menilai BPOM tak bisa mengelak dari tanggung jawab pengawasan, termasuk bahan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di obat sirup anak. 

Oleh karenanya, Robert  mendesak agar Penny K. Lukito dipecat dari Kepala BPOM, jika terbukti bersalah dalam kasus gangguan ginjal akut yang telah menewaskan lebih dari 100 anak-anak. hHarus ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini dan pejabat terkait tidak boleh diam begitu saja.

"BPOM dan aparatnya yang ikut bertanggung jawab sebaiknya meletakkan jabatan atas kelalaian mereka. Tidak perlu menunggu dipecat. Ini terjadi karena BPOM tidak bekerja. Karena itu pejabat di BPOM ini sudah layak dipecat dan dituntut pidana,” ungkap Robert pada hari Kamis, 3 November 2022.

Sebelumnya saat Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IX pada Rabu 2 November 2022, anggota DPR RI dari Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan alasan BPOM menyeret kewenangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam polemik temuan senyawa kimia EG dan DEG yang melebihi ambang batas dalam produksi obat sirup.

Saleh menilai, BPOM mencoba memunculkan narasi lain dalam rantai kasus penyalahgunaan bahan baku obat yang diduga sebagai pemicu kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia.

"Ini kan masalahnya penyalahgunaan fungsi yang etilen glikol (EG) digunakan untuk apa, berarti kan barangnya ada beredar di sini. Kemudian kenapa saling lempar ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Nanti jangan-jangan ujungnya ke presiden," kata Saleh.

Sementara Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi PDI-P Charles Honoris meminta BPOM RI lebih tegas dalam menjelaskan kepada publik tentang siapa yang harus bertanggung jawab terkait kasus obat sirup anak.

Pertanyaan ini mencuat saat Anggota Komisi IX DPR RI melakukan rapat kerja Komisi IX bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny K. Lukito, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, serta IPMG di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Dari tadi masih belum jelas. Siapa yang bertanggungjawab atas masalah ini? Apakah industri farmasinya? Apakah suppliernya? Harus jelas ini. Lalu, apakah industri farmasinya ada kesengajaan? Apakah suppliernya ada kesengajaan? Ataukah pengawasnya ada kelalaian?" ujar Charles.

Kepada Kepala BPOM Penny K. Lukito, Charles juga merasa belum mendapat kejelasan tentang bagaimana obat sirup anak yang sudah dapat izin edar BPOM tiba-tiba ditarik dari peredaran karena tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

"Ibu Penny belum bisa menjelaskan, bagaimana obat yang sudah mendapat izin edar BPOM tiba-tiba tercemar didalamnya. Kita disini bukan mencari kambing hitam. Tapi kita sedang mencari kebenaran. Saya setuju penegakan hukum harus dijalankan. Tapi objek dan subjeknya harus jelas." lanjut Charles.

Lebih lanjut Charles menegaskan, dirinya meminta kepada BPOM untuk segera memberikan kepastian, apakah industri-industri farmasi yang obat sirupnya bermasalah ini melakukan kecurangan atau dilain pihak, para pemasok dan supplier bahan pelarut etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) ke industry farmasi yang curang.

"Kalau ada kesengajaan di industri farmasi, diproses secara hukum. Kalau ada kecurangan disisi pemasok, diproses hukum. Ini harus ada yang bertanggungjawab," kata dia. 

 

Kata BPOM dan Kemendag

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM Penny K Lukito sebelumnya, menegaskan tak bisa mengawasi produk senyawa Etilen Glikol dan Dietilen Glikol (EG dan DEG). Senyawa kimia itu dipakai untuk pelarut obat sirop. Diduga pemicu terjadinya gagal ginjal akut anak.

Penny mengungkap, pelarut EG dan DEG masuk ke Indonesia tidak melalui Surat Keterangan Impor (SKI). Melainkan lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Bahan baku sebagai produk farmasi mestinya pharmaceutical grade, harus dapat SKI sehingga kami bisa lakukan pengawasan. Khusus pelarut EG dan DEG ini tidak masuk melalui SKI melainkan Kemendag," kata Penny dalam rapat dengan DPR, Rabu (2/11/2022).

Menaggapi hal tersebut, Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi, menjelaskan hingga saat ini importasi bahan kimia Propilena Glikol (HS Code 29053200) dan Polietilena Glikol (HS Code 34042000) yang digunakan sebagai bahan baku obat tidak termasuk dalam kategori larangan terbatas (lartas).

Karena itu, komoditas tersebut tidak termasuk dalam importasi yang diatur oleh Kementerian Perdagangan. Bahan baku obat tersebut ditengarai mengandung cemaran Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak-anak.

"Hingga saat ini, importasi Ropilena Glikol dan Polietilena Glikol memang belum diatur importasinya oleh Kementerian Perdagangan karena komoditas tersebut tidak termasuk dalam lartas. Begitu pula dengan aturan importasi untuk bahan kimia Sorbitol (HS Code 29054400), Gliserin/Gliserol (HS Code 29054500), Etilen Glikol (EG) (HS Code 29053100), Etilen Glikol (EG) (HS Code 29053100), Dietilen Glikol (DEG) (HS Code 29094100) juga tidak termasuk komoditas yang diatur importasinya oleh Kementerian Perdagangan," ujar Didi dikutip dari laman resmi Kemendag, Jumat (4/11/2022).

Kendati demikian, Kemendag secara proaktif mencari terobosan solusi untuk mencegah meluasnya gagal ginjal akut yang belakangan ini menelan korban anak-anak.

Bahan baku obat yang membahayakan ginjal anak-anak dan orang dewasa akan segera dimasukkan ke dalam larangan terbatas (lartas) dandiatur importasinya.

“Untuk mencegah terulangnya kejadian gagal ginjal di masa depan dan untuk melindungi masyarakat, pemerintah saat ini tengah membahas usulan lartas atas importasi bahan baku obat berupa Propilen Glikol (PG) dan Polietilen Glikol (PEG) yang melibatkan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan; Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan; Kemenko Bidang Perekonomian, BPOM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Lembaga National Single Window (LNSW),” tegas Didi Sumedi.

 

Polri Temukan Unsur Pidana

Bareskrim Polri telah menemukan adanya unsur pidana dalam kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada Anak-anak.

Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan hari ini, Selasa (1/11/2022). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) turut hadir.

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Pipit Rismanto menerangkan, salah satunya Perusahaan farmasi yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus ini ialah PT Afi Pharma.

"Hasil gelar perkara penyidik Bareskrim dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sepakat meningkatkan dari penyelidikan ke penyidikan terhadap PT Afi Pharma," kata dia saat dihubungi wartawan, Selasa (1/11/2022).

Dalam kasus ini, PT Afi Pharma diduga memproduksi obat sirop yang mengandung etilen glikol (EG) melebihi ambang batas.

"Sediaan farmasi jenis obat sirop merek paracetamol (obat generik) yang mengandung EG melebihi ambang batas yaitu 236,39 mg (yang harusnya 0,1 mg) setelah di uji lab oleh BPOM," ujar dia.

Sementara itu, Pipit belum bersedia membeberkan hasil investigasi terhadap PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries. Pipit mengarahkan untuk bertanya langsung ke BPOM.

"Yang dua agar ditanyakan langsung ke BPOM, rencana akan disidik oleh BPOM sendiri," ujar dia,

Infografis Keracunan Obat Biang Kerok Kasus Gagal Ginjal Akut Anak
Infografis Keracunan Obat Biang Kerok Kasus Gagal Ginjal Akut Anak (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya