Liputan6.com, Jakarta Sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Thania sering mendapatkan tindakan body shaming dari teman-temannya. Mereka selalu berpikiran negatif terhadap penampilannya yang dianggap berbeda, dijadikan bahan candaan dan obrolan. Tapi, ledekan temannya hanya dianggap angin lalu oleh Thania.
Tindakan body shaming yang diterima Thania tak berhenti begitu saja. Bahkan saat menjadi mahasiswa hingga mendapatkan pekerjaan. Body shaming masih sering diterimanya terkait berat badannya. Padahal menurut dia, kenaikan berat badan yang dialaminya tidak signifikan.
Baca Juga
"Tapi saya saat itu enggak pernah ambil pusing karena menurut saya tidak ada yang aneh dengan badan saya. Tapi dalam dua tahun terakhir di pekerjaan, saya mulai merasa tidak nyaman atas tindakan dari rekan-rekan kerja yang kerap mengolok-olok, mengejek, bahkan menyindir berkaitan dengan tubuh atau pakaian yang saya kenakan," kata Thania kepada Liputan6.com.
Advertisement
Setelah delapan bulan work from home (WFH) dan kembali berkantor, beberapa rekan kerja Thania hampir setiap hari mempermasalahkan penampilannya. Dari mulai pakaian yang sudah mulai tampak kesempitan karena kenaikan berat badan sampai beberapa bagian tubuhnya yang dianggap sudah tidak seperti dulu.
Sampai akhirnya dia merasa tidak nyaman dan kepercayaan dirinya menurun. Bahkan berkali-kali Thania harus membeli pakaian baru untuk memenuhi ekspektasi teman kerjanya.
"Karena itu daya overthinking dan kejadian itu berulang dan setiap ke kantor kadang-kadang menjadi topik bahwa misalnya, betis saya terlihat besar atau perut saya terlihat membesar, celana kerja saya jadi ketat atau segala macam," ucapnya.
Karena hal itu, perempuan berusia 29 tahun itu memilih melakukan diet ketat di awal 2022. Lalu dia mendatangi dokter spesialis gizi untuk mengembalikan bentuk tubuhnya seperti sebelumnya. Padahal saat itu kenaikan berat badannya sekitar 3-4 kilogram.
Setelah upaya dilakukan dan berat badan kembali ke ukuran sebelumnya, apresiasi juga tak didapatnya. Tindakan body shaming masih terus diterima dari beberapa rekan kerjanya.
"Akhirnya saya mendapatkan banyak sekali masukan dalam fase itu dan akhirnya saya tidak lagi mendengarkan apapun komentar mereka. Karena ternyata mau saya sehat, sakit ataupun saya menggendut ataupun kurus intinya memang tujuan mereka hanya mencerca dan mencari celah untuk bisa mengolok-olok saya," ujar dia.
Body Shaming dari Orang Terdekat
Cerita yang sama juga diterima seorang influencer body positivity, Ririe Bogar. Bahkan perlakuan body shaming yang diterimanya sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain dari teman-teman sekolahnya keluarga sebagai orang terdekat juga acap kali melakukan body shaming yang dibalut dengan candaan.
"Kayak apa sih kesannya bercanda tapi kok enggak enak ya di dengar. Itu sih awal-awal masih SMP, tapi sampai sekarang yang udah puluhan tahun, masih keingat. Jadi hati-hati dengan omongan mu, karena mau sudah lama pun pasti masih akan diingat," kata Ririe kepada Liputan6.com.
Menurut Ririe, rata-rata orang yang melakukan body shaming atau bullying secara verbal tersebut beralasan hanya ingin bercanda. Lalu ada pula akibat dari kebiasaan di keluarga hingga dalam pergaulan sehari-hari yang mewajarkan tindakan body shaming.
Â
Beranikan Diri Lawan Body Shaming
Ada beberapa korban body shaming yang pada akhirnya malas membalas dari hal yang dianggap bercanda tersebut. Berdasarkan pengalaman nya Ririe menyatakan biasanya pelaku akan melakukan perilaku tersebut kepada orang yang dianggap lemah seperti halnya bentuk perundungan lainnya.
"Kalau orang yang sejajar atau lebih kuat dari dia itu enggak akan mungkin ngelakuin kata-kata yang menjatuhkan," ujar dia.
Ririe mengaku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa menerima keadaan dirinya sendiri. Saat mulai bekerja dia memilih untuk melihat berbagai acara yang positif, hingga membaca buku mengenai kepercayaan diri.
Dia juga memberikan sejumlah tips untuk melawan tindakan body shaming. Pertama yaitu harus bisa mengalahkan rasa tidak enak kepada pada pelaku. "Bagaimana kita bisa melawan orang-orang yang suka body shaming atau bullying ya tinggal ngomong aja enggak suka gitu atau kalo memang masih rasa enggak enaknya lebih besar dari keberaniannya lebih baik mundur aja langsung, keluar dari orang-orang yang negatif gitu," paparnya.
Sebab ketika tidak dilawan, menurut Ririe hal tersebut akan terus menghantui dan hanya merugikan diri sendiri. Lalu dia juga meminta agar para korban body shaming berpikir bahwa setiap manusia mempunyai derajat yang sama.
"Harus selalu berpikir bahwa aku dan dia sama aja kok. Pokoknya yang dihadapi selagi itu manusia dan dia melakukan hal yang engga baik sama kita ya kita speak up aja udah," dia menandaskan.
Â
Body Shamping terhadap BCL
Beberapa pekan lalu penyanyi Bunga Citra Lestari atau BCL terkena gosip miring. Istri almarhum Ashraf Sinclair itu disebut-sebut sedang berbadan dua. Isu ini berawal dari video yang viral di TikTok yang memperlihatkan ibu satu anak ini sedang menyanyi di atas panggung.
Dengan mengenakan crop top berwarna putih, perut ibu satu anak ini tampak lebih buncit. Hal ini berbeda dengan penampilannya yang biasa, apalagi dia dikenal gemar berolahraga. Asumsi bergerak liar. Dia disebut-sebut sedang mengandung tiga bulan. Penyanyi berusia 39 tahun tersebut merasa menjadi korban celaan fisik alias body shaming.
"Aku lebih sedih karena di-body shaming. Kayak, hey, aku juga makan. Oke, kalian mau lihat?" tuturnya dilansir dari YouTube Budiey Channel, Jumat (10/11/2022). Dia lantas berdiri dan memperlihatkan perutnya yang lebih ramping daripada video yang beredar di medsos.
Menurut BCL, banyak faktor yang bisa memengaruhi perutnya tampak lebih buncit dalam video yang viral tersebut. "Enggak semua orang mengerti angle, enggak semua orang mengerti bloathing, atau sedang datang bulan. It's okay tapi sedih aja," tutupnya.
Ibu Negara Jadi Korban Juga
Ibu Negara Iriana Jokowi pada Kamis 17 November 2022, juga mendadak jadi trending topic pertama di Twitter. Usut punya usut, nama Iriana Jokowi menjadi bahan perbincangan warganet setelah salah akun bernama @KoprofilJati melakukan celaan fisik alias body shamming terhadap dirinya.
Akun @KoprofilJati mengunggah foto Iriana bersama Madam Kim Keon Hee, istri Presiden Korea Selatan, Yoon Seok Yeol. Namun, bukannya pujian yang dilontarkan, sang pemilik akun justru menulis keterangan yang seolah-olah menggambarkan Iriana Jokowi adalah pembantu Kim Keon Hee.
"Bi, tolong buatkan tamu kita minum."
"Baik, nyonya," begitulah bunyi caption yang ditulisnya.
Setelah unggahan tersebut viral, bahkan sampai diperbincangkan di banyak akun-akun base, @KoprofilJati kembali membuat unggahan pembelaaan.
"Sorry, gaes. Postingan dengan gambar ibu negara saya hapus. Kayaknya banyak yang salah paham menganggap saya merendahkan orang di gambar tersebut," tulisnya.
"Menjadi ibu negara enggak ada hubungannya dengan tampilan fisik. Semua orang tahu itu fakta. Semua ras dan suku bangsa itu setara."
"Justru kebiasaan masyarakat kita yang suka menilai sesuatu dari tampilan fisik. Itu sepatutnya jadi bahan ejekan," pungkasnya.
Advertisement
Edukasi dan Praktik Anti-Kekerasan Fisik dan Non-Fisik Masih Rendah
Mengomentari atau menghina penampilan orang lain atau body shaming seringkali dibungkus dalam bentuk candaan yang dapat memojokkan orang lain.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyatakan berdasarkan hasil studi Indeks Keadaban Digital pada 2021 Indonesia masuk dalam kategori masyarakat paling kasar di Asia Tenggara. Selain itu, kata Devie ada penelitian lain yang menyatakan hal yang sering mendapatkan perlakuan kasar atau perundungan yaitu mengenai penampilan seseorang.
Jika dipersentasekan angka tersebut mencapai 60 persen. Atau diatas permasalahan politik dan agama.
"Penampilan ini kaitannya erat dengan body shaming, nah ini menjadi satu keprihatinan yang tinggi bagi kita semua, udah kita disurvey sebagai negara paling tidak santun se-Asia Tenggara dan ketidaksantunan itu nomor satunya di link set yang lain oleh lembaga lain itu adalah urusan penampilan," kata Devie kepada Liputan6.com.
Menurut Devie, terdapat sejumlah alasan hal tersebut terjadi di Indonesia. Salah satunya dikarenakan kurangnya pendidikan mengenai kekerasan fisik dan nonfisik di Indonesia. Entah melalui media digital maupun non digital.
Edukasi tersebut dari tingkat keluarga hingga sekolah. Sebab anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dibandingkan rumah. Hal terpenting kata Devie, edukasi tersebut disarankan untuk dipraktikan dalam kegiatan sehari-hari.
"Jadi di sekolah itu anak-anak harus lebih dilatih, dan toleransi 0 terhadap praktik bullying. Jadi toleransinya harus 0 sekali, kita sama sekali enggak toleran terhadap apapun praktik-praktik penghinaan termasuk penghinaan fisik," ucapnya.
Lalu kurangnya kesadaran masyarakat mengenai dampak dari perilaku kekerasan kata-kata yang menyasar penampilan seseorang. Yakni adanya potensi munculnya sebuah konflik paska tindakan tersebut dilakukan.
"Karena itu menyinggung dan melukai hati seseorang dan kalo orang itu tersinggung di sosial media itu bisa ditindaklanjuti dengan aksi kekerasan di ruang nyata. Jadi sudah banyak kejadian, saling hina, saling ledek di sosial media kemudian diteruskan dengan kekerasan di ruang nyata," papar dia.
Devie menyatakan terdapat beberapa hal yang mengakibatkan body shaming sering terjadi masyarakat. Pada dasarnya bercanda merupakan hal yang tak terpisahkan dari manusia. Bentuk bercanda pun berbeda-beda. Sedangkan tingkatan paling rendah dari bercanda yaitu melakukan perundungan kepada orang lain berdasarkan penampilan fisiknya.
"Karena sebagian besar banyak yang melakukan itu bukan ingin menyakiti sebenarnya tapi kemudian lebih ke ingin mencairkan suasana namun cara menyairkan sayangnya dengan memperolok fisik orang lain," ujar Devie.
Kemudian adanya persoalan standar ukurana fisik seseorang yang berbeda setiap komunitas hingga negara. Ketika seseorang tidak memenuhi standar tersebut dianggap berbeda. Yaitu dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari menasihati, memojokan orang lain, hingga menyindir dengan harapan seseorang tersebut dapat memenuhi standar yang ada.
Â
Tips Hadapi Teman yang Suka Bercanda dengan Body Shaming
Karena hal itu, Devie mengingatkan agar masyarakat memahami dan sadar mengenai konsekuensi atau dampak dari perilaku penghinaan terhadap orang lain. Sebab ada perangkat hukum yang mengikutinya.
"Prinsipnya adalah itu apapun yang anda komunikasikan, Anda harus siap mempertanggung jawabkannya, baik secara sosial bahwa nanti akan dihujat balik oleh orang karena orang akan merasa bahwa anda tidak santun, anda kok sangat kasar ataupun perangkat hukum, anda harus siap," pungkas Devie.
Adapun tips menghadapin teman atau seseorang yang kerap body shaming, dilansir dari HuffPost sebagai berikut:
- Cari topik pembicaraan lain
Yaitu sebagai pendengar diminta untuk mengalihkan pembicaraan ke keadaan sosial saat ini yang membuat seseorang termakan akan pembicaraan seperti itu. Atau membahas hal lain yang lebih positif, misalnya kesuksesan dalam karir, traveling yang lalu, atau sekedar menanyakan kabar keponakan.
- Jangan ikut menyebutkan ketidakpuasan terhadap anggota tubuh sendiri
Perilaku tersebut hanya memperburuk lingkaran pertemanan dengan pembicaraan negatif tentang tubuh. Dan disarankan untuk membicarakan hal baik selain membahas ukuran atau bentuk tubuh seseorang.
-Â Tidak ikut terlibat
Katakan padanya jika Anda tidak suka dengan percakapan body shaming. Namun cara tersebut hanya berlaku bagi teman deman dekat atau anggota keluarga. Jika teman terlalu berlebihan mengkritisi anggota tubuh orang lain atau dirinya sendiri, sarankan dan yakinkan untuk berkonsultasi ke profesional.
Â
Â
Advertisement
Jangan Komentari Penampilan Fisik Saat Bertemu Orang Lain
Psikolog Universitas Indonesia, Vera Itabiliana menyatakan tindakan mengenai body shaming biasanya bertujuan untuk menjatuhkan, menyakiti, hingga merendahkan tentang penampilan fisik seseorang. Kata dia terdapat sejumlah alasan seseorang melakukan tindakan tersebut.
Salah satunya yaitu adanya kebiasaan masyarakat yang berkomentar mengenai penampilan fisik orang lain ketika saling bertemu.
"Jadi yang dikomentari duluan adalah penampilan fisik. Mungkin kalau mau diubah itu membiasakan diri untuk mengomentari hal lain, misalnya sibuk apa, udah lama enggak ketemu cerita-cerita, keluarga gimana, sehat atau enggak. Jadi tidak melulu soal penampilan fisik," kata Vera kepada Liputan6.com
Lalu, kata dia secara manusiawi masyarakat cenderung mengomentari sesuatu yang berbeda atau tidak sesuai standar tertentu. Mulai dari pakaian yang dikenakan hingga penampilan lainnya.
"Ini juga satu hal yang bisa diubah juga dengan kita lebih menahan diri. Kalau saya ngomong gini akibatnya gimana, dia tersakiti enggak ya, dia tersinggung tidak," ucapnya.
Vera juga menyatakan terdapat dampak yang ditimbulkan dari perilaku body shaming di masyarakat. Ketika seseorang tersakiti dari tindakan tersebut akan menjatuhkan mental, menjadi kurang percaya diri, ataupun konsep diri yang negatif.
Menurut dia, respons setiap orang yang menjadi korban body shaming berbeda-beda. Ada yang lebih masa bodoh ada pula yang langsung terpuruk dan mempengaruhi mentalnya.
"Jadi dia merasa malu mau kemana-mana, jadi menarik diri, males bergaul, males ketemu orang bisa seperti itu. Selalu kalau terlalu berlebihan dan berlangsung berulang kali dia alami bisa menjurus ke gangguan mental yang lebih serius seperti depresi, bisa ke arah sana kalau parah sekali," papar dia.
Vera menegaskan tindakan body shaming merupakan salah satu bentuk dari perundungan. Di mana pelaku merasa memiliki power untuk melakukan atau mengatakan sesuatu kepada korban yang dianggap lemah dan tidak bisa membalas.
"Itu yang perlu diingat sama korbannya bahwa saat kita menerima entah bentuk bully apapun termasuk body shaming ini bukan ada something wrong dengan saya tapi si pelaku ini yang punya kebutuhan untuk dia penuhi saat itu," lanjut Vera.
Selain itu dia mengharapkan agar masyarakat mulai mengubah cara berinteraksi kepada sesama untuk meminimalisir terjadinya perilaku body shaming. Yaitu dengan tidak berkomentar mengenai penampilan fisik seseorang di muka umum.
"Beda halnya jika berdua saja atau secara pribadi, terus saya sampaikan kok kamu kurusan, sakit ya' nah itu bukan body shaming, karena kita melontarkan itu karena care, karena kita khawatir, kamu ini ada apa, ada masalah, sakit kah, dan itu kita sampaikan secara individu, bukan secara terbuka kemana-mana," Vera menandaskan.