Â
Liputan6.com, Jakarta Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo memberikan perintah kepada Bharada Richard Eliezer alias Bharada E untuk menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Perintah tersebut menyebabkan kematian Yosua alias Brigadir J.
Baca Juga
Ahli Filsafat Moral, Franz Magnis Suseno, menilai Sambo memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kasus penembakan itu.
Advertisement
Magnis sendiri dihadirkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh pengacara Bharada EÂ untuk memberikan kesaksian yang dapat meringankan mantan anak buah Sambo tersebut.
Mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan antara yang memerintah dan diperintahkan siapa pidananya lebih berat.
Magnis menjelaskan, yang memerintah tentu lah orang yang kadar pidananya lebih berat.
Dia pun mengaitkan kasus tersebut dengan kejadian pada zaman Nazi di Jerman. Pada saat itu orang-orang kerap menerima perintah dan merasa terancam bila tidak melakukannya.
"Dalam pembicaraan mengenai yang terjadi di zaman Nazi, di Jerman. Di mana berulang kali orang melakukan perintah-perintah karena diperintahkan, mungkin dia juga terancam kalau tidak melaksanakan perintah," ungkap Magnis dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).
Menurut dia, budaya orang yang memberikan perintah kerap kali tidak dididik dan tidak dilatih untuk dapat bertanggung jawab. Mereka hanya tahu memberi perintah tiap saat.
Terlebih dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Sambo selaku orang yang pada berpangkat jenderal bintang dua, memiliki kuasa untuk memberikan perintah kepada Bharada E sekalipun itu perintah jahat. Sementara, Bharada E hanya dapat mematuhi dan bila menolaknya, bakal ada konsekuensi.
"Jadi jelas menurut saya jelas tanggung jawab yang memberi perintah itu, jauh lebih besar. Malah katakan saja yang diperintah itu, itu orang kecil, orang kecil biasa melakukan karena dia juga tahu akibatnya buruk kalau tidak melakukannya,"Â tutur ahli filsafat moral itu.
Romo Magnis juga menambahkan, setiap orang tentu punya kesadaran akan bertindak jahat secara sadar. Sekalipun harus merenggang nyawa orang.
Namun, dia juga tidak membenarkan kejadian penembakan yang dilakukan Bharada E, sekalipun sudah ada perintah dari atasannya.
"Dia menyadari menembak orang tidak bisa dibenarkan sama sekali, sekaligus dia mendapat perintah. Kalau dia ada di bawah pressure, pertama pressure waktu, kedua pressure budaya ketaatan yang dalam kepolisian amat penting. Tidak bisa di situ setiap orang berunding dulu apakah iya atau tidak, apalagi dalam situasi ini dia bisa menjadi sangat bingung. Dan mungkin akhirnya langsung bertindak sesuai secara instingtual, itu keluar," papar Magnis.
Budaya "Laksanakan"
Romo Magnis menegaskan Bharada E sulit akan menolak perintah dari atasannya Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Lantaran dalam suatu budaya kepolisian atas yang dinamakan, 'Laksanakan'.
"Dalam budaya perintah 'laksanakan' berhadapan dengan atasan yang sangat tinggi mungkin ditakuti," ujar Romo Magnis dalam ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12).
Selain budaya perintah 'laksanakan', posisi Bharada E yang pada saat itu juga merupakan bawahan langsung Sambo, secara psikologis tidak dapat memungkinkan untuk melawan. Walaupun, pada akhirnya menerima perintah, Bharada E ada rasa ragu.
"Tetapi sekarang juga lakukan, itu tipe perintah yang amat sulit secara psikologis dilawan, karena siapa dia, mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah sudah biasa laksanakan, meskipun dia ragu-ragu dia bingung," tutur Magnis.
Bharada E juga harus mengalami dilema terkait perintah dari atasannya untuk menembak seseorang. Apalagi menembak mati seseorang bukanlah perkara kecil.
"Nah, secara etis, dalam dilema itu bisa saja kejelasam penilaian yang bersangkutan itu, yang jelas merasa amat sudah karena berhadapan. Di satu pihak, menembak sampai mati baukan hal kecil, setiap orang tahu, dia tahu juga," tutur Magnis.
Â
Â
Reporter: Rahmat Baihaqi
Sumber: Merdeka
Advertisement