Liputan6.com, Jakarta Empat orang anak ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di sebuah rumah kontrakan di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/12/2023). Insiden tragis tersebut disinyalir dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antara ayah dan istrinya dan permasalahan ekonomi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun gerak cepat untuk menyambangi lokasi kejadian yang merenggut nyawa empat orang anak itu, yakni (VA) berusia 6 tahun, (SP) berusia 4 tahun, (AR) berusia 3 tahun, dan (AS) berusia 1 tahun.
Baca Juga
"Saya kira hari ini akan dikenang terus menerus dunia perlindungan anak, setelah peristiwa keji (AA), seorang anak yang dipukuli orang tua hingga meninggal, tentu hukuman maksimal menanti pelaku pembunuh 4 anak tersebut," ujar Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra dalam keterangan resmi, Kamis (7/12/2023).
Advertisement
Seperti diketahui, kasus KDRT yang merenggut nyawa anak tidak bersalah tersebut juga dipicu oleh permasalahan ekonomi. Pasalnya, keluarga yang tinggal di sebuah kontrakan itu sudah 7 bulan tidak membayar sewa kontrakan sebesar Rp1,5 juta dan pemilik kontrakan pun sudah berusaha mengusir.
"Kita melihat urusan anak-anak yang sangat tertinggal dalam situasi mengontrak, sangat tertinggal dalam kasus konflik orang tuanya," ujar Jasra.
"Dengan adanya kasus KDRT sebelumnya, bahwa kita tahu, situasi keluarga di Indonesia sangat beragam. Anak-anak hidup dalam berbagai kondisi yang seringkali sebenarnya sudah harus dalam pengawasan negara," jelasnya.
Masalah Ekonomi Picu Masalah Lainnya
Jasra melihat bahwa problem ekonomi yang menjadi persoalan keluarga tersebut menjadi pemicu dari persoalan lainnya, bahkan hingga menghabisi nyawa anak sendiri.
"Karena sering kali dalam konflik orang tua, anak dijadikan jaminan, ancaman dan sasaran dari konflik yang tidak berkesudahan," ujarnya.
Jasra juga mengatakan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak sudah holistik memasukkan isu perlindungan anak-anak dari orang tua yang berkonflik. Ia menyebut, isu tersebut dimasukkan karena seringkali anak dijadikan korban, dijadikan alat ancaman, dipertaruhkan, dan menjadi jaminan semata.
"Sehingga perilaku orang tua tidak bisa terkontrol dan anak-anak selalu menjadi korbannya. Saya kira ini pengulangan yang kesekian kalinya, kita semua gagal dalam melindungi anak-anak," katanya.
"Apalagi sebenarnya ada kasus penyerta sebelum anak-anak tersebut meninggal, yang tidak ada satu pihak pun dapat memastikan kondisi pengasuhan anak, ketika ibunya mengalami KDRT," jelas Jasra.
Ia pun menunggu hasil investigasi dari pihak Kepolisian secara menyeluruh agar mengetahui secara jelas akar persoalan yang menjadi motif sang ayah membunuh keempat anaknya itu.
"Namun saya kira tidak jauh dari persoalan orang tua yang berkonflik sangat tajam dan menganggap KDRT dan membunuh anak sebagai jalan keluar masalah," ucap Jasra.
Advertisement
13 Catatan KPAI
Atas peristiwa tragis tersebut, KPAI pun memberikan 13 catatan:
1. KPAI melihat ada problem dalam memastikan pengasuhan anak yang layak dalam orang tua berkonflik dan status rumah kontrakan.
2. Warga sudah mengetahui konflik mereka sejak lama dari tanggal peristiwa, artinya ada situasi keluarga yang harusnya dapat dilaporkan dan mendapat intervensi, terutama dalam hal ini sebagaimana mandat Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjauhkan anak sementera dari keluarga berkonflik. Namun, masyarakat belum terbiasa merujuk anak-anak ke lembaga yang diberi wewenang menerimanya.
3. Warga mengetahui rumah tersebut sudah tidak beraktivitas sejak Minggu malam, namun tidak ada mekanisme atau seorang pun yang memeriksa, siapakah yang berwenang melakukan atau memastikan kondisi anak.
4. Sabtu (25/12/2023) disampaikan warga ibu dari anak anak tersebut masuk Rumah Sakit akibat KDRT. Sejauh mana penanganannya? Apakah ada proses penahanan pelaku? Kalau tidak ditahan karena alasan apa?
5. Sebagaimana mandat Undang-Undang Perlindungan Anak, bila menemukan anak dalam keluarga berkonflik, maka anak-anak tersebut masuk dalam kategori Perlindungan Khusus Anak. Maka sejauh apa pemahaman masyarakat dan petugas, dalam soal memastikan anak penting untuk dihindarkan sementara dari konflik orang tuanya.
6. Darurat RUU pengasuhan anak. Karena untuk intervensi di dalam keluarga, butuh payung kebijakan komperhensif. Termasuk, ketika ada kekerasan, petugas dapat segera menindaklanjuti kondisi pengasuhan anak yang terancam.
Catatan KPAI Lainnya
7. Yang paling berat lagi dalam kasus ini, sebenarnya melalui ada dan tidaknya anggaran dalam kasus KDRT. Kalau ada anggaran, tentu akan membawa sensitivitas, kepekaan, responsif dan inisiatif di lapangan dalam segera menyelamatkan anak dalam keluarga KDRT. Karena jika terbiasa tidak dianggarkan, maka petugas akan kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugasnya dalam satu kasus saja.
8. Siapa yang paling merasa bertangung jawab, ketika dalam kasus KDRT meninggalkan anak-anak, apalagi anak ditinggalkan dengan pelaku, apakah ada anggaran pengasuhan anak di kepolisian? Atau dalam persoalan sperti KDRT yang menyertakan anak, ada payung kebijakan lintas profesi untuk menyikapinya.
9. Harus memiliki shelter yang ditetapkan, sebagai tempat anak korban KDRT. Yang punya SOP dalam pengembalian anak ke orang tua, kalau kasus penyebab KDRT nya sudah di temukan.
10. Ormas, rumah ibadah, masyarakat peduli anak, RT/RW jadi penting berfungsi sebagai gugus tugas persoalan keluarga.
11. Sebenarnya di TKP perisitiwa, banyak lembaga layanan yang di bentuk dan ada di tengah masyarakat untuk melindungi anak. Namun yang menjadi pertanyaan, adakah sistem deteksi terpadu, yang mampu merespon bersama soal KDRT yang meninggalkan pengasuhan anak.
12. Dalam penanganan kasus KDRT, berbicara berapa lama diprosesnya hingga dapat menyentuh persoalan pengasuhan anak.
13. KPAI selalu mendorong agar Direktorat PPA dan PPO segera terbentuk di Kepolisian agar kewenangan dan anggaran bertambah. Sehingga inisiatif, kepekaan, responsif, payung kebijakan dalam menindaklanjuti persoalan keluarga, terutama anak lebih menyeluruh dalam setiap kasus.
Â
Â
(*)
Advertisement