Sidang Tahunan, Bamsoet Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Seperti Masukan Megawati

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, idealnya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. Hal ini disampaikan pria yang akrab disapa Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

oleh Putu Merta Surya PutraDelvira Hutabarat diperbarui 16 Agu 2023, 10:38 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2023, 10:36 WIB
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (Foto: Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden).

Liputan6.com, Jakarta Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, idealnya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. Hal ini disampaikan pria yang akrab disapa Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

Menurut dia, usulan ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri.

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," kata Bamsoet.

Dia menegaskan, hal ini perlu ada lembaga yang bisa mengambil keputusan, jika Pemilu serentak mengalami suatu masalah atau bencana. Diketahui, baik Pileg maupun Pilpres kini dilakukan secara serentak, yang dimulai pada 2024.

"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alamyang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi?," ungkap Bamsoet.

"Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," sambungnya.

Menurut Politikus Golkar ini, dalam kondisi tersebut, timbul pertanyaan besar, yang mempengaruhi konstitusi. "Timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?," kata Bamsoet.

Masalah-masalah seperti di atas, menurut dia, belum ada jalan keluar konstitusional-nya setelah Perubahan UndangUndang Dasar 1945. Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak sebagai warga bangsa.

"Di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakumanpengaturan di dalam konstitusi kita. Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan Ketetapan-Ketetapan yangbersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," jelas Bamsoet.

 


Perlu Perubahan

Karena itu, Bamsoet menegaskan, perlu mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

"Sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat di-atribusikan dengankewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak darisuatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya