"Kalau bisa kampanye program wajib belajar 9 tahun jangan hanya di Jakarta saja, tapi juga di Papua Barat khususnya Distrik Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan."
Liputan6.com, Manokwari Selatan - Harapan itu terucap dari Elarin Saul Wamati, Kepala Kampung Waroser mengingat masih rendahnya kesadaran akan pendidikan di kampungnya.
Jumlah penduduk dari empat rukun tetangga (RT) di Kampung Waroser mencapai 442 jiwa. Dari jumlah tersebut, separuh lebih atau sebanyak 232 jiwa tidak pernah mengenyam pendidikan. Data itu ditempelkan di Kantor Kampung Waroser hingga Jumat, 1 September 2023.
Baca Juga
Padahal sarana dan prasarana dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah berdiri di Kampung Waroser.
Advertisement
"Semua sudah ada di sini, jadi anak-anak dari mulai dari usia dini sudah bisa masuk sekolah," ujar Elarin saat ditemui, Jumat (1/9/2023).
Kepala Kampung dari masa ke masa, termasuk Elarin berulang kali mengupayakan agar anak-anak usia produktif mau menempuh pendidikan formal. Namun, permasalahan begitu kompleks. Ada anak-anak enggan pergi sekolah karena dia pikir tak bisa menghasilkan uang.
Ada juga yang terkendala masalah biaya. Mereka akhirnya memilih putus sekolah ketimbang harus mengeluarkan uang untuk membayar SPP dan kebutuhan belajar.
"Ada yang putus sekolah di SD, SMP dan SMA. Jadi ada yang karena orang tua tidak mampu akhirnya putus," ujar dia.
Elarin menceritakan, suatu ketika mengajak seorang anak yang putus sekolah kembali belajar. Namun, ajakan itu justru ditolak mentah-mentah.
"Kita paksa sekolah lalu dia sampaikan 'ko (pergi) sekolah ko kasih uang sa kah'. Sama saja kayak begitu sama "sa sekolah ko kasi uang'. Mereka merasa percuma karena tidak menghasilkan uang, jadi lebih baik bekerja, kebanyakan jadi pekerja bangunan begitu," ucap dia.
"Kita paksa pun gimana. Kalau dia tidak mau ya begitu," timpalnya lagi.
Terkait hal ini, Elarin kemudian memutar otak agar anak-anak yang tak mampu secara ekonomi tetap bisa bersekolah. Sebagian dana desa dialokasikan untuk kepentingan pendidikan.
Menurut dia, angka putus sekolah menjadi salah satu isu penting yang harus diatasi di Kampung Waroser. "Yang utama itu hanya itu pendidikan dan kesehatan, di kampung kami utamakan," kata dia.
Â
Bikin Program ala KIP
Elarin kemudian membuat program layaknya Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tiap anak sekolah dengan kategori kurang mampu mendapatkan uang Rp200 ribu sampai Rp300 ribu tiap satu tahun sekali. Besarannya tergantung daripada tingkat pendidikan.
"Tidak sampai SMA, karena SMA ada bantuan dari Kabupaten. SMP dan SD saja yang kami bantu pakai dana kampung supaya orangtua dan anak semangat sekolah," ujar dia.
Namun, usahanya tak membuahkan hasil yang signifikan. Nyatanya masih banyak yang menyalahgunakan bantuan. Artinya bukan untuk kepentingan sekolah, melainkan digunakan untuk hal-hal lain.
"Jadi kita di sini sudah buka buku rekening. Tapi mereka ambil bukan untuk sekolah, digunakan untuk hal lain," ujar dia.
Â
Advertisement
Pemerintah Pusat Diminta Turun Tangan
Karenanya, Elarin meminta pemerintah pusat turun tangan. Jangan hanya di Jakarta saja menyampaikan pendidikan itu penting. Orang-orang di Indonesia bagian timur, khususnya Papua Barat juga butuh perhatian.
"Supaya pendidikan di daerah luar Jawa atau Jakarta sama dengan kami di Papua seperti begitu. Kalau bisa jangan hanya bicara di mulut tapi bisa datang ke Kampung Waroser," kata dia.
"Datang ke sini langsung tatap muka dengan kami. Karena kami di Papua sangat butuh pendidikan yang lebih layak supaya kami bisa seperti bapak-bapak di Jakarta," sambung dia.
Elarin kemudian mengungkit keberhasilan USAID Kolaborasi yang telah membantu menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat setempat. Karena, setelah kedatangan Dinas Kesehatan akhirnya berdiri Pukesmas.
"Saya berterima kasih, angkat jempol dan apresiasi sekali dengan USAID Kolaborasi. Kami bisa duduk bareng dengan Dinas Kesehatan. Contohnya saja Puskesmas Kampung setelah kami rembuk bicara sudah jadi. Sementara masih dalam tahap renovasi," ujar dia.