Status Gunung Slamet Naik Waspada, PVMBG Rekam 2.096 Kali Gempa Embusan dari 1 sampai 18 Oktober 2023

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status bahaya vulkanik Gunung Slamet di Jawa Tengah, dari sebelumnya level I atau normal menjadi level II atau waspada pada Kamis 19 Oktober 2023.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 20 Okt 2023, 10:29 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2023, 10:28 WIB
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status bahaya vulkanik Gunung Slamet di Jawa Tengah, dari sebelumnya level I atau normal menjadi level II atau waspada pada Kamis 19 Oktober 2023.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status bahaya vulkanik Gunung Slamet di Jawa Tengah, dari sebelumnya level I atau normal menjadi level II atau waspada pada Kamis 19 Oktober 2023. (Foto: Liputan6.com/Perhutani/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status bahaya vulkanik Gunung Slamet di Jawa Tengah, dari sebelumnya level I atau normal menjadi level II atau waspada pada Kamis 19 Oktober 2023.

"Kegempaan yang terekam selama tanggal 1 sampai 18 Oktober 2023 adalah 2.096 kali gempa embusan," ujar Kepala PVMBG Hendra Gunawan dalam keterangan, melansir Antara, Jumat (20/10/2023).

Menurut dia, selain gempa embusan, PVMBG juga merekam ada tiga kali gempa tremor harmonik, dua kali gempa vulkanik dalam, 12 kali gempa tektonik lokal, tujuh kali gempa tektonik jauh, dan gempa tremor menerus dengan amplitudo 0,2 sampai 6 milimeter (dominan 2 milimeter).

"Pada tanggal 1 Oktober 2023, PVMBG merekam peningkatan amplitudo gempa tremor menerus dari 2 milimeter menjadi 3 milimeter," ucap Hendra.

Kemudian, lanjut dia, pada 18 Oktober 2023, terekam gempa tremor harmonik dengan durasi maksimum sekitar 1 jam 18 menit.

"Kegempaan Gunung Slamet ditandai dengan peningkatan amplitudo tremor menerus yang diikuti oleh terekamnya gempa tremor harmonik dalam durasi yang panjang," papar Hendra.

Dia mengatakan, amplitudo gempa tremor menerus menujukan adanya peningkatan pemanasan air tanah dalam tubuh Gunung Slamet pada kedalaman dangkal. Sedangkan, lanjut Hendra, gempa tremor harmonik yang terekam dalam durasi panjang menunjukkan peningkatan embusan dalam tubuh gunung api tersebut.

"PVMBG juga melakukan pengukuran deformasi untuk mengetahui peningkatan tekanan pada tubuh Gunung Slamet," kata dia.

 

Terjadi Tekanan Sebabkan Munculnya Gempa Dangkal

Lereng selatan Gunung Slamet, Baturraden, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Lereng selatan Gunung Slamet, Baturraden, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Hendra menuturkan, dengan adanya inflasi pada Stasiun Tiltmeter Bambangan yang merupakan stasiun tiltmeter terdekat dengan puncak menunjukkan tekanan telah bergerak menuju puncak Gunung Slamet atau berada pada kedalaman yang lebih dangkal dari sebelumnya.

"Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan di bawah tubuh gunung api tersebut yang dapat memicu munculnya baik gempa-gempa dangkal maupun terjadinya erupsi freatik," terang dia.

"Potensi ancaman bahaya Gunung Slamet saat ini adalah erupsi freatik maupun magmatik yang dapat menghasilkan lontaran material pijar yang melanda daerah di sekitar puncak di dalam radius dua kilometer. Hujan abu dapat terjadi di sekitar kawah maupun melanda daerah yang ditentukan oleh arah dan kecepatan angin," jelas Hendra.

Gunung Slamet memiliki ketinggian 3.432 mdpl dan terletak di antara lima kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes.

 

Siklus lima tahunan

Gunung Slamet, Banyumas dilihat dari pesisir Cilacap. Hari tanpa bayangan akan terjadi di Banyumas dan Cilacap dan 12 dan 13 Oktober 2019(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Gunung Slamet, Banyumas dilihat dari pesisir Cilacap. Hari tanpa bayangan akan terjadi di Banyumas dan Cilacap dan 12 dan 13 Oktober 2019(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Peningkatan aktivitas Gunung Slamet sering kali terjadi hampir setiap lima tahun sekali. Hal itu diakui salah seorang tokoh masyarakat Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang Sukedi, yang juga mantan Kepala Pos PGA Slamet di Gambuhan.

Kendati telah memasuki masa pensiun setelah 38 tahun bertugas di Pos PGA Slamet Gambuhan, Sukedi terkadang masih ikut mengamati aktivitas Gunung Slamet karena rumahnya tidak jauh dari pos pengamatan.

Dengan demikian, dia paham jika peningkatan aktivitas Gunung Slamet terjadi hampir setiap lima tahun sekali, dan sering kali oleh masyarakat dikaitkan dengan momentum pemilihan umum, karena hal itu terjadi setiap menjelang pemilu.

Siklus lima tahunan itu terlihat dalam 20 tahun terakhir, karena peningkatan aktivitas Gunung Slamet tercatat pernah terjadi pada tahun 2004-2005, 2008-2009, 2014-2014, 2018-2019, dan pada bulan Oktober 2023 dinaikkan dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada).

Gunung Slamet memiliki sifat dan karakteristik yang tenang, tetapi menghanyutkan.

 

Sifat dan Karakteristik Gunung Slamet

Ilustrasi – Panorama Gunung Slamet dilihat dari Karanglewas, Banyumas. Hari tanpa bayangan Banyumas bakal terjadi pada Sabtu, 12 Oktober 2019. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – Panorama Gunung Slamet dilihat dari Karanglewas, Banyumas. Hari tanpa bayangan Banyumas bakal terjadi pada Sabtu, 12 Oktober 2019. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sifat dan karakteristik Gunung Slamet tersebut harus diketahui serta dipahami oleh semua pihak. Artinya, sepanjang sifat dan karakternya tidak berubah, jika terjadi letusan freatik dan magmatik, letusan Gunung Slamet itu masih sama dengan letusan yang terjadi lima tahun sebelumnya. Tetapi bisa menghanyutkan ketika tingkat aktivitasnya sampai ke Level III atau Siaga.

"Sebab, dapat dipastikan akan ada suara dentuman yang bisa menghebohkan masyarakat sekitar seperti yang terjadi pada tahun 2014. Gunung Slamet besar dan tinggi, maka suara dentumannya menggema dan menggemparkan masyarakat sekitar," kata Sukedi.

Bahkan, pada tahun 1987-1988, Gunung Slamet juga mengeluarkan suara dentuman seperti halnya pada tahun 2014 saat tingkat aktivitasnya dinaikkan ke Level III.

Gunung Slamet merupakan gunung terbesar di Pulau Jawa dan tertinggi kedua di Jawa setelah Gunung Semeru yang berada di Jawa Timur.

Saat tingkat aktivitasnya dinaikkan ke Level III (Siaga) pada bulan Maret-Agustus 2014, peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Slamet diikuti erupsi yang menghasilkan material abu dan lontaran material pijar di sekitar kawah (tipe letusan strombolian). Bahkan, suara dentuman dari Gunung Slamet saat itu dilaporkan terdengar hingga wilayah Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

 

Masyarakat Diimbau Waspada

Hutan lindung di lereng Gunung Slamet. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Hutan lindung di lereng Gunung Slamet. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Terkait dengan kondisi Gunung Slamet itu, masyarakat diimbau tetap tenang dan waspada serta mengikuti arahan dan petunjuk dari PVMBG.

Masyarakat sekitar Gunung Slamet tetap dapat melakukan aktivitas seperti biasa tetapi tidak boleh naik ke puncak dalam radius 2 kilometer dari puncak Gunung Slamet.

Fenomena peningkatan aktivitas yang dialami Gunung Slamet merupakan faktor alam. Tanda awal peningkatan aktivitas Gunung Slamet memang sudah cukup lama, melalui gempa-gempa tremor, gempa-gempa embusan.

Gunung Slamet kini terbangun dari 'tidur' panjangnya untuk sekadar melepaskan energi setelah sekian lama 'tertidur' dalam status Normal atau Level I.

Peningkatan status aktivitas vulkanik Gunung Slamet itu diharapkan hanya sampai di Level II (Waspada) dan tidak sampai ke Level III (Siaga), atau bahkan hingga Level IV (Awas). Meski demikian, semua pihak tetap harus waspada.

Infografis Journal Gunung Krakatau
Gunung Krakatau Purba Juga Hasilkan Ledakan Besar Layaknya Erupsi 1883?. (Abdilah/Liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya