Liputan6.com, Jakarta Jimly Asshiddiqie resmi dilantik menjadi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Meski demikian, dia diragukan sejumlah pihak lantaran mendukung Prabowo Subianto.
Diketahui hadirnya MKMK lantaran adanya pelaporan terhadap para hakim MK yang mengabulkan putusan, di mana seseorang meski tak berusia 40 tahun tetapi sudah menjabat sebagai kepala daerah bisa maju sebagai capres-cawapres. Dengan putusan ini, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bisa maju dan kini digandeng oleh Prabowo sebagai cawapresnya.
Jimly pun tak mau ambil pusing dengan kontroversi dirinya. "Independensi itu enggak usah diomongin, dikerjain saja. Nanti you nilai kalau sudah diputus. Daripada retorika 'InsyaAllah saya independen' enggak gitu. Etika itu bukan hanya soal retorika, dikerjain saja," kata dia kepada wartawan usai dilantik jadi anggota MKMK, di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Advertisement
Jimly juga tak masalah jika orang menilainya tak independen sebagai MKMK karena mendukung Prabowo.
"Tidak apa-apa, masing-masing. Ini kan bertiga, sekarang ini kan pendapat umum terbelah tiga. Ada kubu Ganjar, kubu Prabowo, dan kubu AMIN. Biasa saja. Tadi kan sudah ada sumpah jabatan," ungkapnya.
Dia pun mewacanakan sidang etik hakim MK ini akan digelar terbuka.
"Karena ini sudah menjadi informasi milik publik ya, sebaiknya kita sidang terbuka aja. Semua pelapor itu kita beri kesempatan untuk datang, memberi keterangan, bila perlu menunjukkan bukti-bukti apa yang dilanggar, pelangarannya masuk kategori berat atau enggak, nanti kita nilai," pungkasnya.
Jimly Asshiddiqie Tuai Kontroversi
Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) meragukan integritas para anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang baru diumumkan Senin 23 Oktober 2023.
Sebab, komposisi keanggotaan majelis etik MK saat ini mengandung potensi konflik kepentingan dari sebagian anggotanya dengan adanya nama mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
“Jimmly pernah menemui Prabowo pada awal Mei 2023. Dari pertemuan itu, Jimly pernah mengakui dukungannya kepada Prabowo dalam Pilpres 2024. Kemudian, salah seorang anak Jimmly, yaitu Robby Ashiddiqie juga merupakan calon legislator Partai Gerindra pimpinan Prabowo,” kata Direktur Eksekutif PVRI, Yansen Dinata melalui keterangan pers diterima, Selasa (24/10/2023).
Yansen menambahkan, dalam sistem politik ketatanegaraan, MK memiliki kewenangan memutus perselisihan pemilu, termasuk jika ada pelanggaran oleh Presiden yang sedang berkuasa atau peserta Pemilu.
Apalagi pada pekan kemarin, putusan MK yang meloloskan batas usia minimal di bawah 40 tahun bisa menjadi calon presiden atau calon wakil presiden selama pernah menjadi kepala daerah seakan memuluskan langkahGibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi untuk maju berkontestasi di Pilpres 2024 bersama Prabow Subianto.
“Pemilu yang adil memerlukan kekuasaan kehakiman yang berani melakukan check and balances atas penyelenggara negara eksekutif. Dengan kondisi MK saat ini serta komposisi Majelis Kehormatan yang kental konflik kepentingan, sulit berharap adanya putusan yang berkeadilan jika ada sengketa politik peserta Pemilu,” tambah Yansen.
Advertisement
Berpotensi Memicu Konflik
Yansen memperkirakan, Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi memicu konflik politik yang serius dalam Pemilu 2024 dan membuat demokrasi Indonesia berada di ujung tanduk.
Dia menilai, pembentukan komposisi MK itu menambah daftar pelemahan kredibilitas Mahmakah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi di Indonesia.
“Pelemahan demokrasi dan kebebasan sipil membesar jika Pilpres 2024 memenangkan dinasti. Ini bagian dari rentetan peristiwa yang menandai kemunduran demokrasi. Ini juga merupakan bentuk pewajaran praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Publik disuguhi pasangan dinasti era Soeharto dan era Jokowi,” jelas Yansen.
Dalam kesempatan yang sama, pengurus PVRI Anita Wahid menambahkan, penentuan Bacapres yang dimuluskan MK mengabaikan secara terang-terangan etika politik.
“Ini membuat demokrasi Indonesia ada di ujung tanduk. Kondisi saat ini mengkhawatirkan. Rangkap jabatan kembali lumrah. Pembuatan kebijakan terang-terangan mengabaikan masyarakat. Lembaga pemberantas korupsi dilemahkan dengan retorika anti radikalisme.” jelas Anita yang juga merupakan puteri ke-3 Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid.
Reporter: Lydia Fransisca/Merdeka.com