Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi menyoroti dinamika perdebatan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam ranah pelanggaran etik yang sedang berproses di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), terhadap putusan yang mengabulkan batas usia capres dan cawapres.
"Belum terpenuhi adanya pelanggaran etik terhadap Ketua MK, dalam arti Putusan MK tersebut masih dalam koridor terjaganya marwah independesi dan kewenangan MK," tutur Rullyandi saat dikonfirmasi Liputan6.com, Rabu (1/11/2023).
Menurut dia, hal itu menyangkut adanya perdebatan dalam Putusan MK dengan menambah rumusan norma baru, yang sejatinya sah dalam ranah kewenangan MK. Terlebih, keberadaan MK dimaksudkan sebagai lembaga the guardian of constitution, yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam sistem kekuasaan kehakiman pada umumnya.
Advertisement
"Karena itu, putusan MK terhadap pengujian suatu norma undang-undang yang bersifat abstrak tidak dikenal dengan sistem pengujian mengadili suatu fakta hukum atau adanya kepentingan sengketa hukum para pihak yang lazim ditemukan dalam sistem peradilan umum," jelas dia.
"Itu sebabnya Putusan MK dalam pengujian norma suatu undang-undang bersifat final dan wajib mengikat kepada semua warga negara, badan hukum, organ negara, instansi dan pemerintah termasuk presiden," sambungnya.
Rullyandi mengatakan, dalam hukum acara dan praktik pengujian undang-undang, MK dibenarkan tidak hanya menyatakan adanya pertentangan terhadap konstitusi UUD, namun juga dapat menguji suatu norma undang-undang yang sifatnya memerlukan penafsiran keadaan konstitusional bersyarat.
"Untuk menjamin hak konstitusional sebagai norma hukum tertinggi di dalam konstitusi UUD yang melahirkan Putusan MK, dengan berdampak pada amar putusan yang memuat suatu diktum adanya rumusan norma hukum baru," ungkap Rullyandi.
Independensi Hakim MK Masih Terjaga
Dalam kaitan Putusan MK yang mengabulkan tentang batas usia capres dan cawapres, lanjut Rullyandi, tidak dapat dihubungkan adanya dugaan konflik kepentingan terhadap Ketua MK Anwar Usman yang merupakan keluarga Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Karena objek yang diadili MK adalah suatu norma hukum yang bersifat abstrak, yang pada hakikatnya maksud dibentuknya norma tersebut semata-mata merupakan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagai hak konstitusional, bukan untuk dikhususkan terhadap kepentingan satu orang saja, tetapi merupakan hak setiap warga negara yang hendak mencalonkan diri menjadi calon presiden atau wakil presiden," kata dia.
Rullyandi menyatakan, lahirnya Putusan MK tersebut perlu dicermati pada bagian pertimbangan hukum yang menerima permohonan dengan mengabulkan.
"Namun tidak ditemukan adanya kalimat intervensi di antara hakim yang mayoritas menerima mengabulkan dalam amar putusan, sehingga prinsip independensi hakim MK masih terjaga murni dalam bingkai kekuasaan kehakiman yang merdeka," Rullyandi menandaskan.
Advertisement
MKMK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Anwar Usman 31 Oktober 2023
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi mulai Selasa (31/10/2023).
Ketua MKMK Jimly Asshiddique mengatakan, hakim konstitusi yang akan disidang pertama kali yakni Ketua MK Anwar Usman. Sidang ini akan digelar secara tertutup.
"Kalau yang malam (hari ini) dengan hakim Anwar Usman, itu tertutup," kata Jimly di Gedung MK, dikutip Selasa (31/10/2023).
Tak hanya Anwar, lanjut Jimly, hakim konstitusi Saldi Isra juga kemungkinan akan disidang MKMK. Namun, sidang Saldi ini masih bersifat tentatif.
Meski demikian, Jimly memastikan semua hakim akan dihadirkan dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik.
"Mungkin itu dua, sesudah Anwar Usman dan Pak Saldi. Baru nanti, besok lagi. Pokoknya semua dapat giliran," tambah Jimly.
Lebih lanjut, Jimly pun menyebutkan alasan sidang ini dilaksanakan secara tertutup. Jimly menjelaskan, ketentuan sidang hakim konstitusi sudah diatur dalam Peraturan MK (PMK).
"Ya jangan karena di peraturan PMK-nya, itu tertutup. Hukum acaranya itu bilang tertutup, tertutup sepanjang menyangkut hakimnya," kata Jimly.
MKMK Sebut Ada 18 Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi, Paling Banyak Anwar Usman
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK Jimly Asshiddique mengimbau masyarakat untuk tak lagi melaporkan dugaan pelanggaran etik para hakim konstitusi dalam putusan syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Sebab, kata Jimly, laporan yang masuk memiliki substansi yang mirip dan bahkan sama. Maka dari itu, ia mengimbau masyarakat untuk tak lagi mengajukan laporan baru.
"Saya ingin menyampaikan imbauan kepada seluruh masyarakat karena pertimbangan substansi laporannya mirip-mirip bahkan bisa dikatakan sama, maka kalau bisa jangan lagi mengajukan laporan baru," kata Jimly di Gedung MK, dikutip Selasa (31/10/2023).
Meski demikian, Jimly menegaskan hal itu merupakan imbuan. Ia pun mempersilakan warga yang masih ingin mengajukan laporan.
"Ini hanya imbauan saja. Kita tidak boleh menutup kemungkinan, ya kan. Itu kan haknya warga. Tapi kalau bisa, paling telat kalau memang ada juga yang mau melapor, kita tunggu hari Rabu," ujar Jimly.
"Nah, Rabu sore itu lah kesempatan terakhir masyarakat warga, siapa saja yang mau menyampaikan laporan sesudah itu, stop. Mohon jangan lagi tapi ini sifatnya imbauan moral untuk praktisnya kita bekerja," sambungnya.
Lebih lanjut, Jimly mengungkapkan bahwa MKMK kini telah menerima 18 aduan dugaan pelanggaran etik. Dari aduan tersebut, diketahui bahwa seluruh hakim MK atau sembilan hakim dilaporkan oleh masyarakat.
"Dari 18 itu, ada enam isu. Kemudian ada sembilan terlapor tapi yang paling pokok, paling utama, paling banyak itu Pak Anwar Usman," rinci Jimly.
Kemudian, tambah Jimly, Saldi Isra menjadi hakim konstitusi kedua yang paling banyak dilaporkan dan ketiga adalah Arief Hidayat.
"Intinya kami tadi sudah menjelaskan, sidang akan diselenggarakan satu per satu dan kemungkinan khusus untuk ketua (Anwar) dua kali," imbuh Jimly.
Advertisement