Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin mengingatkan bahwa kebebasan pers berdasaran Undang-Undang Pers tidak boleh terancam dengan adanya revisi atau Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Yang penting itu masalah kebebasan pers sesuai undang-undang yang ada itu, tidak terkendala," kata Ma’ruf saat ditemui di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh, Rabu (29/5/2024).
Baca Juga
Ma’ruf juga meminta pembahasan RUU Penyiaran harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan tidak dibahas secara tergesa-gesa. “Untuk memberi masukan-masukan, supaya tidak terburu-buru di dalam memutuskan ini,“ kata dia.
Advertisement
Terkait salah satu poin yang menjadi polemik dalam revisi UU Penyiaran, yakni pelarangan jurnalistik investigasi, menurut Ma’ruf hal itu adalah hak publik.
"Soal investigasi saya kira itu hak publik, juga hak diberikan kesempatan tentu saja dengan aturan-aturan yang perlu disepakati,” ucap Wapres memungkasi.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyebut bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ditunda.
Menurut Supratman, alasan penundaan tersebut karena pihaknya tidak ingin kemerdekaan pers terganggu.
Dikritik Megawati
Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengkritik soal revisi Undang-Undang MK dan Undang-Undang Penyiaran dalam pidatonya saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP, Jumat (24/5).
Menurut Megawati, prosedur revisi Undang-Undang MK tidak benar karena terkesan tiba-tiba. "Lah bayangkan, dong, pakai revisi Undang-Undang MK, yang menurut saya prosedurnya saja tidak benar. Tiba-tiba, (saat) masa reses," katanya.
Dia mengaku bingung dengan revisi Undang-Undang MK yang tiba-tiba tersebut, sampai bertanya kepada Ketua Fraksi PDIP DPR RI sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto.
"Saya sendiri sampai bertanya kepada Pak Utut. Nah, saya tanya beliau, 'Ini apaan, sih?' Mbak Puan lagi pergi, yang saya bilang ke Meksiko. Kok enak amat, ya?" ucap Megawati.
Selain itu, Presiden Ke-5 RI itu juga menyinggung revisi Undang-Undang Penyiaran yang dinilai melanggar esensi produk jurnalisme investigasi.
"Loh, untuk apa ada media? Makanya saya selalu mengatakan, 'Hei, kamu itu ada Dewan Pers, loh. Lalu, harus mengikuti yang namanya kode etik jurnalistik.' Lah, kok enggak boleh, ya, kalau ada investigasinya? Loh, itu kan artinya pers itu kan apa sih, menurut saya, dia benar-benar turun ke bawah loh," ujarnya.
Advertisement
Draf RUU Penyiaran, Ganggu Kebebasan Pers
Diketahui, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI tengah merevisi Undang-undang penyiaran yang sebelumnya sebagaimana telah disahkan UU no 32 tahun 2002. Sontak revisi yang secara langsung berdampak pada kegiatan jurnalis tersebut menuai banyak kritikan.
Sejumlah pasal yang sedang dibahas di meja perlemen, di antaranya dapat berpotensi menjadi pasal karet. Terlebih secara tidak langsung membatasi kegiatan jurnalis.
Seperti halnya dalam ketentuan pasal 50B yang mengatur tentang pedoman kelayakan isi siaran dan konten siaran.
Pada ayat 2 huruf (c) pasal 50B merinci perihal panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Salah satunya larangan untuk tayangan investigasi.
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." bunyi ayat 2 huruf (c).
Nantinya, apabila ditemukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud, pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan berwenang untuk menindak. Sehingga bukan lagi melalui Dewan Pers.
Pada ayat 3 kemudian merinci sejumlah sanksi administratif yang bakal dilakukan oleh KPI mulai dari teguran tertulis, pengurangan jam tayang.
Hingga paling berat adalah rekomendasi ke pemerintah untuk mencabut Izin Penyelenggara Penyiaran (IPP).
Lebih lanjut lagi, perubahan yang menuai kontroversial, yakni dugaan sengketa terhadap produk jurnalistik yang nantinya dapat dilangsungkan di meja pengadilan.
"Sengeketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku," tulis dalam pasal 51 point E.